Dampak perubahan iklim pada keanekaragaman hayati akan sangat signifikan. Meski demikian, riset terkait hal itu masih minim. Antisipasi serta langkah adaptasi yang diperlukan pun belum terlihat.
Indonesia yang disebut sebagai negara megabiodiversitas atau memiliki keanekaragaman hayati tertinggi akan sangat dirugikan jika kehilangan kekayaan berbagai jenis tumbuhan, satwa, dan makhluk renik. Substansi biodiversitas dalam negosiasi perubahan iklim saat konferensi tahunan diharapkan mendapatkan perhatian utama.
“Dalam Konferensi Perubahan Iklim, bahasan utamanya adalah soal mitigasi, soal penurunan karbon. Soal adaptasi maupun dampak pada biodiversitas bukan utama,” kata Ani Mardiastuti, Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Kamis (14/2/2019) di sela-sela diskusi Pojok Iklim di Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN–Perubahan iklim telah memicu serangan jamur pada tanaman duku (lancium domesticum) Jambi. Serangan yang mematikan tanaman itu menyebar di hampir seluruh wilayah kabupaten mulai dari tengah hingga hilir Jambi, memerlukan antisipasi segera. Petani Desa Jabi Tulo, Kecamatan Maro Sebo, tengah memanen duku, 5 Desember 2018.
Padahal, di saat para pakar maupun peserta konferensi membicarakan upaya penurunan emisi, lanjut dia, dampak penghangatan global terus dirasakan satwa dan tumbuhan. Bila ini terus berlanjut, berbagai jenis satwa akan menghilang akibat tak bisa beradaptasi dengan lingkungan yang berubah.
Pakar satwa liar tersebut mencontohkan keberadaan burung bluwok (Mycteria cineria) yang ditelitinya sejak tahun 1989 di Pulau Rambut, Kepulauan Seribu, Jakarta. Pada saat itu, burung yang diduga berasal dari pantai timur Sumatera tersebut setiap bulan Oktober rutin datang ke Pulau Rambut.
Di pepohonan pulau tersebut, burung mirip bangau tersebut membuat sarang dan kawin. Pada bulan April-Mei, burung tersebut keluar dari Pulau Rambut bersama anaknya yang sudah cukup kuat untuk terbang jauh.
Namun sejak beberapa periode terakhir, pada bulan Januari pun ia tak menjumpai rombongan besar bluwok datang ke Rambut. Januari lalu, laporan petugas setempat menyebutkan baru terdapat 14 ekor burung bluwok dan sedang memasuki tahap membuat sarang.
“Mungkin dia (bluwok) bingung. Ingin saat anak lahir pada cuaca bagus, ikan banyak, dan air banyak,” kata dia yang juga Ketua Dewan Yayasan Burung Indonesia. Bila ini terus berlanjut, produktivitas bluwok akan turun yang berdampak pada penurunan populasi.
Contoh lain, ia menunjukkan perbandingan ukuran tubuh katak dewasa di Gunung Kinabalu, Malaysia yang menyusut drastis. Pada tahun 1980-an, ukuran katak bisa mencapai 5 cm dan tahun 2008 hanya 3,5 cm. Perkiraannya, suhu semakin menghangat sehingga katak itu tak lagi mengonsumsi pangan terlalu tinggi.
Hewan amfibi seperti ini beserta ikan dan moluska memiliki kerentantan tinggi terhadap perubahan iklim. Jenis-jenis fauna ini sensitive terhadap perubahan suhu serta memiliki pergerakan terbatas.
Kehilangan spesies
Dalam Laporan Khusus panel ahli perubahan iklim antarpemerintah Oktober 2018, para pakar menyatakan kenaikan suhu global 1,5 derajat celsius akan mengakibatkan kehilangan 6 persen spesies serangga, 8 persen tanaman, dan 4 persen vertebrata. Bila kenaikan suhu mencapai 2 derajat celsius, Bumi lebih dirugikan karena kehilangan 18 persen serangga, 16 persen tanaman, dan 8 persen vertebrata.
Peneliti Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Muhammad Zahrul Muttaqin menyebutkan, stok karbon pada ekosistem terkait dengan jasa lingkungan seperti air, keindahan bentang alam, dan biodiversitas. Pada suatu ekosistem yang sama, kata dia, bisa saja stok karbon pada daerah konservasi dan hutan produksi bernilai sama.
“Tapi bagaimana dengan keindahan, air, dan biodiversitasnya,” katanya. Karena itu, upaya konservasi suatu areal hutan tak bisa hanya diukur dari potensi kehilangan stok karbon namun juga jasa lingkungannya.–Oleh ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 15 Februari 2019