Keanekaragaman hayati atau biodiversitas secara sistematis dilemahkan sejak lama, terutama ketika salah satu cabang ilmu biologi, yaitu taksonomi, sebagai mata kuliah di perguruan tinggi mulai ditiadakan. Padahal, potensi flora-fauna Indonesia banyak yang belum terungkap.
”Keanekaragaman hayati terus menyusut karena tidak pernah dikembangkan taksonominya untuk mengetahui identifikasi serta menggali manfaatnya,” kata pakar taksonomi Yayuk R Suhardjono dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam diskusi panel ”Keanekaragaman Hayati bagi Kemajuan Bangsa: Sejarah Penelitian Hayati Nusantara”, Selasa (25/5) di Pusat Sains Cibinong, Jawa Barat.
Yayuk menyebutkan, selama 30 tahun terakhir, keanekaragaman hayati Sungai Ciliwung dan Cisadane menyusut drastis. Akan tetapi, siapa pun tidak pernah peduli, termasuk pemerintah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di Sungai Ciliwung dan Cisadane, spesies ikan menyusut sampai 80 persen dan spesies udang sampai 90 persen. Menghilangnya spesies lain yang menjadi indikator suatu kondisi lingkungan juga tidak pernah diperhatikan.
Seperti capung, menurut Yayuk, sekarang hampir punah. Padahal, capung menjadi salah satu fauna indikator adanya kualitas air bersih. ”Seperti juga lebah, sampai sekarang kita tidak pernah tahu berapa spesies yang tersisa. Padahal, lebah bisa meningkatkan penyerbukan hingga bisa panen tiga kali lipat,” kata Yayuk.
Biodiversitas absurd
Deputi Bidang Ilmu Hayati LIPI Endang Sukara dalam sambutan pada diskusi panel tersebut mengatakan, adalah absurd bila keanekaragaman hayati ini dilepas tanpa peran taksonomi.
”Keunikan karakter spesies yang diketahui, memberikan peluang berkembangnya bioteknologi untuk meningkatkan nilai ekonomi dan budaya,” katanya.
Kepala Pusat Penelitian Biologi LIPI Siti Nuramaliati Prijono mengakui, ahli taksonomi saat ini jumlahnya sangat sedikit. ”Untuk memberikan mata kuliah taksonomi, perguruan tinggi seperti Institut Pertanian Bogor (IPB) masih kerap meminta ahli dari LIPI,” kata Siti.
Menurut dia, jumlah peneliti pada Pusat Penelitian Biologi hanya 208 orang. Jumlah ahli taksonominya tergolong paling sedikit.
Seperti diungkap Endang Sukara, keahlian taksonomi sangat dibutuhkan untuk pengembangan bioteknologi, yaitu menemukan manfaat dari unsur alami untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Tetapi, proses ini tidak terwujud baik. Ironisnya, Indonesia sejak 1994 menandatangani konvensi penyelamatan keanekaragaman hayati yang tertuang dalam dokumen Convention on Biological Diversity (CBD).
Tanpa riset
Budayawan Sardono W Kusumo turut diundang sebagai salah satu panelis. Ia memaparkan subtema ”Sejarah Interaksi Seni dan Ilmu Hayati; Dari Zaman Belanda sampai Indonesia Merdeka”.
Sardono mengatakan, keanekaragaman budaya yang dimiliki Indonesia bisa untuk melihat keanekaragaman hayati yang ada. Tetapi, kebijakan pemerintah untuk mengembangkan keanekaragaman hayati kerap tidak disertai riset ilmiah.
”Contohnya, pemerintah mengembangkan spesies dari negara lain, seperti lamtoro gung, yang pada akhirnya mengganggu spesies milik sendiri,” katanya.
Narasumber lainnya adalah para ahli di bidang masing-masing, yaitu pakar ekologi hutan Kuswata Kartawinata dan pakar ekologi manusia Herwasono Soedjito, keduanya dari LIPI, pakar sejarah Harto Juwono dari Universitas Indonesia.
Kuswata mengatakan, pemahaman keanekaragaman hayati memang tidak mudah. Salah satu penyebabnya adalah sangat kurangnya peminat untuk mempelajari sejarah suatu ilmu.
Sebagai ahli sejarah, Harto membuat suatu makalah terkait dengan dominasi militer dalam penelitian biologi terkait kajian laboratorium kuda di awal abad XX. Hal itu merupakan fenomena besarnya perhatian petinggi pemerintah pada riset. (NAW)
Sumber: Kompas, Rabu, 26 Mei 2010 | 04:09 WIB