THOMAS Alva Edison, penemu lampu listrik sekaligus pembangun stasiun pembangkit listrik pertama di dunia pada tahun 1880-an barangkali tak pernah membayangkan temuannya itu bakal menjadi tumpuan utama bagi kehidupan di zaman modern ini.
Hidup tanpa listrik? Dapat terbayang bagaimana merana dan kacaunya kehidupan masa kini tanpanya, terutama di perkotaan dan kawasan industri. Gerak roda perekonomian seketika menjadi mandek dengan terhentinya kegiatan industri karena listrik mati. Itu berarti kerugian yang amat besar.
Padamnya listrik di sebagian jaringan interkoneksi Jawa-Bali-Madura (disebut Sistem Jawa-Bali) pada Minggu lalu (13/4) selama beberapa jam hingga sékitar 12 jam tentu menimbulkan kerugian berarti pada banyak sektor, yang sampai saat ini belum dikeluarkan taksirannya secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut laporan Penyaluran dan Pusat Pengaturan Beban (P3B) Jawa-Bali PLN, sebelum terjadi gangguan total beban atau pasokan listrik di Sistem Jawa-Bali sebesar 4.963 MW, namun setelah gangguan yang terpasok hanya 870 MW. Berarti ada sekitar 4.093 MW (82,5 persen) listrik tidak tersalurkan.
Bagi PLN sendiri padamnya listrik pada Sistem Jawa-Bali yang menyumbang 80 persen pendapatan PLN per tahun, berarti pula hilangnya kesempatan pemasokan energi listrik ke masyarakat. Menurut perkiraan Pimpinan P3B Jawa-Bali Ir Hardiv Harris Situmeang PhD, kehilangan sebesar 22,36 (gWh) gigawatt hour itu nilainya mencapai hampir Rp 3,6 milyar.
Jumlah ini mungkin akan lebih besar lagi bila sampai terjadi padam total (black out) seperti di Malaysia pada Agustus 1996, yang selama 24 jam tidak mendapat suplai listrik. Kerugian besar juga ditanggung AS yang mengalami padamnya aliran listrik serentak di tiga negara bagian yaitu California, Oregon dan Washington, seminggu setelah Malaysia.
Sekarang ini telah 60 persen penduduk yang memanfaatkan energi listrik untuk berbagai keperluan. Peningkatan kebutuhan atau permintaan energi ini 14 persen per tahun.
Selama ini PLN memang terus meningkatkan pasokan listriknya dengan menambah daya terpasang pada Sistem Jawa-Bali. Untuk memenuhi permintaan listrik sebesar 9.228 MW, PLN Sistem Jawa Bali telah meningkatkan daya terpasangnya dari 10.722,8 MW mienjadi 12.008 MW hingga April ini. Sampai Februari 1998 mendatang, menurut Kepala Dinas Perencanaan P3B Jawa-Bali PLN, Ir Muljo Adji, akan beroperasi secara komersial tiga unit pembangkit baru (3 x 600 MW) di PLTU Suralaya. Dengan demikian dari Suralaya –pemasok listrik terbesar pada Sistem Jawa-Bali– tersalur daya total sebesar 3.400 MW.
Sampai sejauh ini tampaknya tak ada masalah dari segi penyediaan listrik, apalagi belakangan ini mulai gencar dikembangkan alternatif pembangkit lain yaitu pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTPB) di berbagai daerah di Pulau Jawa dan Bali.
Penyaluran daya
Namun yang relatif lebih besar kemungkinannya mendapat gangguan dari lingkungan sekitarnya adalah sektor penyaluran listrik, terutama pada transmisi tegangan ekstra tinggi dan tinggi yang menjadi tumpuan utama pasokan listrik bagi saluran percabangan di bawahnya. Pada Sistem Jawa-Bali terdapat 16 GITET (Gardu Induk Tegangan Ekstra Tinggi) dan 324 GI (Gardu Induk) yang terhubung oleh jaringan kabel tegangan tinggi (JTT) dan ekstra tinggi, dengan panjang total sekitar 17.000 kilometer sirkit (kms) atau 17 kali panjang pulau Jawa.
Karena itu bila jaringan listrik tegangan ekstra tinggi 500 kV dan tinggi 150 kV dan 70 kV di Jawa-Bali yang berpenduduk terpadat di negeri ini mengalami gangguan, akan dirasakan banyak orang di areal yang luas.
Pada jaringan tegangan ekstra tinggi yang terbentang dari barat laut Jabar hingga ke tenggara Jatim itu, diketahui ada beberapa segmennya belum memiliki sirkit cadangan yang secara otomatis akan berfungsi menggantikan sirkit pertama yang mengalami gangguan. Segmen ini jelas merupakan daerah rawan gangguan.
Karena itu PLN hendaknya segera membangun jalur sirkit kedua di segmen itu. Bahkan akan lebih baik lagi bila jalur transmisi SUTET(saluran udara tegangan ekstra tinggi) dari pembangkit utama seperti PLTU Suralaya memiliki tiga jalur SUTET berarti menambah jaringan satu sirkit lagi agar lebih aman, dan kejadian 13 April tidak terulang lagi.
Biaya pembangunan itu mungkin tidak seberapa dibandingkan kemungkinan kerugian akibat black out.
Terbukanya instalasi pembangkit dan transmisi JTT dan JETT pada lingkungan permukiman dan industri yang dijaringnya, memang mengundang banyak faktor pengganggu bagi sistem ini. Menurut Ir Murtaqi Syamsuddin, Deputi Pimpinan PT PLN (Persero) Medan, faktor penyebab gangguan antara lain petir, cabang pohon yang mengenai instalasi, ulah atau kecerobohan manusia, dan juga perawatan dan pemasangan yang kurang baik. ”Di daerah tropis seperti Indonesia, gangguan terbesar adalah cuaca dan vegetasi,” katanya.
Berdasarkan data sejak 10 tahun terakhir, jaringan tegangan tinggi dan ektra tinggi pada Sistem Jawa-Bali hingga kini telah empat kali mengalami gangguan sampai mengakibatkan padamnya listrik di area yang luas. Pada tahun 1989, listrik padam karena keteledoran salah satu kontraktor yang membangun instalasi di PLTU Suralaya.
Sedangkan pada tahun 1992, gangguan terjadi di jaringan tegangan tinggi di Suralaya, yaitu putusnya kawat pengaman karena tersambar petir. Lalu padamnya listrik pada tahun 1994, disebabkan paparan debu pabrik pada isolator jaringan tegangan ekstra tinggi di Gresik. Padamnya listrik 13 April lalu, jelas Hardiv, penyebabnya adalah rusaknya peralatan pengaman utama pada saluran penghantar sirkit 1 antara Suralaya – Gandul.
Mengatasi gangguan
Bila terjadi gangguan di JETT dan JTT, menurut Kepala Sektor Transmisi Tegangan Ekstra Tinggi P3B PLN, Djoko Prasetyo PhD, biasanya dapat segera ditanggulangi karena jaringan itu dilengkapi sistem pengaman otomatis. Ketika terjadi hubungan singkat di transmisi, maka sistem atau relai pengaman akan mendeteksi gangguan dengan cepat dalam ordo 20 – 40 milidetik, kemudian mengirimkan sinyal perintah membuka sirkit pemutus arus (circuit breaker).
Sistem pengaman –yang memantau sinyal tegangan dan arus di saluran penghantar– dapat mengidentifikasi gangguan apakah terjadi di luar atau di dalam kawasan GITET dan Gardu Induk. Sistem pengaman bekerja mengisolasi gangguan yang terjadi hingga tidak meluas.
Dalam pengamanan lokasi-lokasi penting seperti Istana Negara, Kompleks Gedung DPR-MPR, bandar udara dan rumah sakit, PLN telah merancang jaringan back up sumber daya pemasok listrik ke lokasi itu dengan berlapis, maksimal sampai sembilan lapis. Bila terjadi gangguan suplai dari pembangkit pertama, jelas Mulyo Adji maka akan dialihkan pada sambungan dari pembangkit kedua dan seterusnya.
Menurut Djoko, sebagian besar gangguan di transmisi sifatnya sementara. Ketika terjadi sambaran listrik biasanya yang terkena hanya salah satu fasa kawat dari tiga fasa yang ada. Maka yang akan terbuka hanya sirkit pemutus arus pada satu fasa ini. Namun satu detik kemudian sirkit pemutus arus akan menyambung kembali secara otomatis, hingga saluran transmisi kembali beroperasi.
Meskipun semua sistem pengaman itu bekerja secara otomatis, tidak tertutup kemungkinan peralatan buatan manusia itu membuat kesalahan karena adanya kerusakan. Ini terjadi pada padamnya listrik pada Sistem JawaBali 13 April lalu. Di GITET pada relai pengaman terdapat beberapa modul di antaranya tiga modul atau lempeng rangkaian elektronik yang saling berpengaruh.
Modul pertama disebut starting unit berfungsi mendeteksi adanya gangguan di SUTET. Pada hari Minggu itu, starting unit di relai pengaman SUTET I melaporkan adanya gangguan di saluran penghantar antara Suralaya dan Gandul. Namun berdasarkan rekaman tegangan dan arus yang diteliti PLN setelah itu, ternyata tidak terdeteksi adanya gangguan.
Kesalahan deteksi starting unit ini, jelas Djoko, mestinya terbaca oleh modul kedua yang disebut unit diagnostik. Kenyataannya unit yang berfungsi sebagai watch dog tidak memonitor adanya kerusakan. Unit ini biasanya juga akan mengirimkan sinyal tanda bahaya ke panel kontrol bila terjadi kerusakan.
Karena unit diagnostik juga tidak berfungsi, laporan yang salah dari starting unit itu diterukan ke unit berikutnya yaitu tripping logic yang berfungsi memproses laporan masuk untuk kemudian mengeluarkan perintah buka atau tutup sirkit pemutus arus. Pada kejadian hari Minggu itu tripping logic mengeluarkan perintah tripping atau pemutusan arus karena adanya laporan gangguan itu, sehingga terjadi padamnya arus listrik.
Pemulihan
Namun diakui Djoko, kecepatan pemulihan kembali aliran listrik hingga ke rumah-rumah di tiap area tergantung pada banyak faktor. Antara lain tergantung pada konfigurasi sistem, dan proses sinkronisasi atau penyamaan arus atau pembebanan antara satu area dan area lainnya. Faktor lainnya adalah pengaturan tegangan dan situasi di lapangan, termasuk juga faktor keahlian dan keterampilan petugasnya.
Ketika terjadi gangguan, menurut Murtaqi, ada segi negatif di samping segi positif pada sistem interkoneksi ini. Dilihat dari segi ekonominya, urainya, jaringan ini lebih murah dibandingkan sistem transmisi yang terpisah-pisah. Karena untuk membangun jaringan interkoneksi dapat dipilih pembangkit yang murah. Sistem ini cadangan operasional dan keandalannya lebih tinggi.
Segi negatifnya, bila ada gangguan pada beberapa pembangkit dapat terjadi cascade tripping secara beruntun. Dijelaskannya, untuk mengatasi gangguan tiap pembangkit harus segera melepaskan diri dari interkoneksi, yang disebut islanding. Tujuannya, mencegah meluasnya daerah padam dan mempercepat pemulihan. ”Bila proses islanding tidak berjalan baik, ada kemungkinan seluruh jaringan padam,” katanya. Jika suatu pembangkit sampai padam, untuk menghidupkannya lagi memerlukan waktu penanganan yang relatif lama.
Setelah proses islanding, yang kemudian dilakukan pada jaringan interkoneksi itu adalah membangun atau menghubungkan kembali dan menyinkronisasikan arus antar tiap area dengan tidak menyertakan jaringan yang mengalami gangguan. Kecepatan pemulihan itu tergantung kesiapan tiap area dan pengendali atau pusat komando. Pelaksanaannya, lanjut Murtaqi, tergantung pada kecepatan pengambilan keputusan, dan kesigapan serta keterampilan petugas. (yun/ose)
Sumber: Kompas, Minggu, 20 April 1997