Saat anak pertamanya yang berusia tujuh bulan mengalami batuk, demam, dan muntah, Ayu (34) segera membawanya ke dokter. Dokter mendiagnosis putri Ayu terkena infeksi saluran pernapasan akut. Dokter lantas meresepkan sirup penurun panas dan antibiotik amoksisilin.
Begitu pula saat berusia satu tahun, putri Ayu kena diare selama empat hari. Lagi-lagi dokter meresepkan antibiotik. Resep antibiotik kembali diberikan setiap anak batuk pilek, demikian Ayu yang menyimpan rapi catatan kesehatan putrinya menuturkan.
Tetapi, lama-kelamaan Ayu melihat putrinya kian mudah sakit. ”Hampir tiap bulan ke dokter,” ujarnya. Ayu lalu mencari tahu tentang masalah kesehatan anak lewat internet dan mendapat banyak informasi terkait penggunaan antibiotik. ”Saya baru tahu, ternyata common cold pada anak umumnya disebabkan virus. Pemberian antibiotik malah sia-sia dan anak menjadi rentan sakit,” katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Mita (bukan nama sebenarnya) mengalami hal serupa. ”Dulu, saya sering panik kalau anak sakit. Kadang saya sendiri yang minta dokter meresepkan antibiotik,” katanya.
Suatu kali anaknya mengalami bisul di kemaluan. Setelah pemeriksaan laboratorium, dipastikan anaknya perlu antibiotik. Namun, Mita terkejut saat dokter menyatakan, kuman yang menyerang anaknya sudah resisten terhadap banyak antibiotik. ”Dokter bilang tidak mudah mencari antibiotik untuk kuman itu dan harga obat sangat mahal,” kata Mita.
Tak rasional
Penggunaan antibiotik yang tidak rasional makin meresahkan. Karena itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengangkat tema ”Use Antibiotics Rationally” dalam peringatan Hari Kesehatan Dunia ke-60 pada 7 April.
Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh bakteri yang dapat menghambat atau membunuh bakteri jenis lain.
Dokter spesialis anak sekaligus pendiri dan pembina Milis Sehat yang aktif mengedukasi masyarakat tentang penggunaan obat rasional,
Purnamawati S Pujiarto, mengatakan, antibiotik tidak berguna untuk penyakit yang disebabkan virus. Antibiotik spektrum luas, contohnya tetrasiklin, efektif terhadap berbagai jenis bakteri, baik bakteri gram positif maupun bakteri gram negatif. Adapun antibiotik spektrum sempit, misalnya penisilin dan isoniazid, efektif hanya pada bakteri tertentu.
Guru Besar Farmakologi Universitas Gadjah Mada Iwan Dwi Prahasto, dalam sebuah lokakarya pekan lalu, mengkhawatirkan ketidakrasionalan penggunaan antibiotik. Ketidakrasionalan itu beragam, mulai dari menggunakan antibiotik dengan jenis tidak tepat, dosis tidak tepat, frekuensi keliru, hingga waktu konsumsi terlalu lama atau cepat, mengurangi efikasi antibiotik sebagai pembunuh bakteri.
Purnamawati menyatakan, anak merupakan populasi yang paling sering terpapar antibiotik tidak rasional, misalnya saat demam, radang tenggorokan, dan diare akut. Padahal, ketiga kondisi itu umumnya ringan, bisa sembuh sendiri, dan tidak membutuhkan antibiotik jika akibat virus.
Antibiotik dapat digunakan pada infeksi bakteri, seperti radang telinga, radang paru, infeksi saluran kemih, dan meningitis.
Resistensi
Iwan serta Guru Besar Ilmu Ekonomi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Ascobat Gani menyatakan, terapi antibiotik yang tidak efektif menimbulkan masalah resistensi (kekebalan) kuman serius. Bakteri mampu bermutasi sehingga tahan terhadap antibiotik. Resistensi memunculkan superbug, yaitu bakteri yang tidak dapat dibunuh oleh antibiotik paling mutakhir.
Pada gilirannya, banyak penyakit infeksi yang tidak dapat disembuhkan sehingga membahayakan kesehatan masyarakat. Kuman yang sudah resisten dapat menginfeksi siapa pun dan menyebabkan sakit lebih berat, lebih lama, serta memperbesar risiko kematian. Untuk membasmi kuman ini, perlu antibiotik lebih kuat dan harganya tentu jauh lebih mahal.
Di sisi lain, pengembangan antibiotik baru tidak selalu cepat. ”Pengembangan antibiotik terakhir tahun 2007. Kita berlomba dengan kuman resisten,” kata Iwan.
Perwakilan dari WHO, Dr Sharad Adhikary, mencontohkan, Carbapenem (antibiotik paling mutakhir) tidak dapat lagi membunuh bakteri NDM-1 (New Delhi metallo-beta-laktamase-1) yang dapat menyebabkan infeksi berat dan kematian.
Beberapa kuman lain yang kebal terhadap antibiotik adalah methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA), vancomycin-resistant enterococci (VRE), dan Klebsiella pneumoniae yang menghasilkan extended-spectrum beta-lactamase (ESBL).
Purnamawati berpendapat, masyarakat perlu menyadari bahwa yang paling bertanggung jawab atas kesehatannya adalah diri mereka sendiri dan jangan menyerahkan semua kepada tenaga kesehatan. ”Untuk setiap obat, tanyakan kandungan aktif obat, cara kerjanya, kondisi yang mengindikasikan harus mengonsumsi obat itu, cara pakai, dan risiko efek samping serta kondisi yang merupakan kontraindikasi obat itu, termasuk saat diresepkan antibiotik,” katanya. [Indira Permanasari]
Sumber: Kompas, 5 April 2011