Kebijakan kesehatan berbasis “big data” menjadi masa depan pencegahan pandemi berikutnya. Melalui ”big data” juga, perancang kebijakan publik dapat mengetahui apa ancaman yang dapat terjadi di masa depan.
Pengembangan vaksin dan obat Covid-19 memang menjadi salah satu cara penting untuk keluar dari pandemi Covid-19. Namun, di saat bersamaan, perlu dirancang bagaimana menghindari terjadinya pandemi semacam ini di masa depan. Kebijakan kesehatan berbasis mahadata atau big data diyakini menjadi masa depan pencegahan pandemi berikutnya.
Chief Health Officer Google Karen DeSalvo, Selasa (29/9/2020), mengatakan, pengambilan kebijakan penanganan kesehatan masyarakat yang tepat harus berbasis pada bukti dan data. Selama ini, berdasarkan pengalamannya, para perancang kebijakan kesehatan selalu mengeluhkan mengenai data lapangan yang membutuhkan waktu lama untuk bisa didapatkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, dengan keberadaan teknologi baru, seperti artificial intelligence atau kecerdasan buatan serta machine learning untuk pengolahan mahadata, DeSalvo meyakini ini akan menjadi masa depan perancangan kebijakan kesehatan publik.
”Masa depan kesehatan masyarakat adalah pengolahan data aktual yang rinci, granular,” kata DeSalvo dalam temu media secara virtual, Selasa (29/9/2020).
Ia mencontohkan mengenai kerja sama Google dan Apple serta puluhan negara di dunia yang menggunakan platform notifikasi kontak Covid-19 yang dikembangkan dua perusahaan teknologi tersebut.
Sistem pelacakan kontak berbasis teknologi tersebut akan menghasilkan data yang besar sekali dan secara instan. Kebijakan untuk mengisolasi mereka yang positif dapat langsung diterapkan otomatis bagi mereka yang terdeteksi.
Oleh karena itu, DeSalvo mengatakan, saat ini akan dibutuhkan sumber daya manusia yang dapat memahami persoalan tersebut, baik dari sisi teknologi maupun aspek kesehatannya. Kolaborasi antara sisi kesehatan dan teknologi yang terjadi akibat dipicu pandemi Covid-19 ini harus diakselerasi seusai pandemi.
Mantan Chief Medical Officer Pemerintah Inggris 2010-2019 Dame Sally Davies juga menyatakan pendapat yang senada. Kolaborasi lintas disiplin akan semakin dibutuhkan untuk memaknai data yang bisa dipanen. Bahkan, dengan data yang beragam, potensi terjadinya pandemi dapat dideteksi dan kemudian dihindari.
KOMPAS/IRENE SARWINDANINGRUM–Sensor dan sistem pemetaan jalan rusak dipamerkan di pameran teknologi NEC IEXPO 2019, Tokyo, Jepang, Rabu (6/11/2019).
Misalnya, analisis terhadap sensor yang dipasang di saluran air limbah bisa mendeteksi virus penyebab Covid-19 jauh sebelum rumah sakit dapat mendeteksi kemunculan sebuah penyakit baru. Melalui data juga, perancang kebijakan dapat mengetahui apa ancaman yang dapat terjadi.
Dari sisi manusianya, data yang selama ini dihasilkan pun dapat dimaknai oleh pakar perilaku untuk merancang kebijakan intervensi yang paling tepat. ”Umat manusia memiliki alat untuk memastikan pandemi, seperti Covid-19, yang telah merusak tatanan dunia dan menghilangkan banyak nyawa, tidak terjadi kembali,” kata Davies, melalui artikel opininya di The Guardian.
Untuk itu, Davies menginisiasi Trinity Challenge sebuah dana hibah sebesar 10 juta dollar AS yang dinamai dari kampus yang dipimpin oleh Davies saat ini, Trinity College, University of Cambridge. Dana hibah ini akan diberikan kepada penelitian yang dapat merancang inovasi dalam proses identifikasi, respons, dan pemulihan suatu pandemi baru di masa depan.
TRINITY CHALLENGE–+Sejumlah sponsor Trinity Challenge, yang diinisiasi oleh Master of Trinity College University of Cambridge Inggris Dame Sally Davies.
Trinity Challenge ini didukung oleh 22 institusi dan perusahaan dari sejumlah perguruan tinggi, seperti University of Cambridge, University of Hong Kong, Imperial College London, dan Northeastern University AS, dan raksasa teknologi Microsoft, Google, serta Tencent.
”Dengan memaknai data yang beragam dan berfokus pada aspek identifikasi, respons, dan pemulihan, Challenge ini mencari langkah inovasi baru yang dapat memprediksi datangnya pandemi baru dan mencegahnya terjadi,” kata Davies yang juga mantan anggota Dewan Eksekutif Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus menyambut baik inisiatif ini. Menurut dia, data yang dihasilkan secara real time dan sistem analisis yang mumpuni menjadi hal yang penting untuk memprediksi, mencegah, dan merespons terjadinya penyebaran penyakit menular.
Oleh karena itu, pada 2019, WHO sudah membuat divisi baru bernama Data, Analytics, and Delivery for Impact yang bertujuan untuk mendukung negara yang tidak memiliki sistem informasi yang memadai untuk memanfaatkan potensi mahadata.
”Data yang lebih baik adalah prioritas untuk WHO. Kami berharap dapat mendukung negara-negara di dunia untuk memanfaatkan kekuatan data dan teknologi untuk melindungi kesehatan masyarakat,” kata Tedros.
Oleh SATRIO PANGARSO WISANGGENI
Editor: KHAERUDIN KHAERUDIN
Sumber: Kompas, 29 September 2020