Meski dua pertiga wilayah Indonesia adalah laut, sangat sedikit ekspedisi dan penelitian kelautan yang dilakukan. Sejak era kolonial hingga kini, penggalian kekayaan laut Indonesia justru banyak dilakukan orang asing.
”Persoalan dana selalu menjadi alasan. Riset kelautan selalu dianggap mahal,” ungkap Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Hery Harjono dalam pembukaan Lokakarya Ekspedisi Laut Natuna dan Perairan Kalimantan Selatan di Jakarta, Senin (27/12).
Ketua Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Suharsono mengatakan, biaya riset kelautan diperkirakan 5-10 persen dari total biaya riset Indonesia. Hal ini menunjukkan, riset kelautan belum menjadi prioritas para pengambil kebijakan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kondisi itu ironis mengingat Komite Inovasi Nasional telah menetapkan sistem inovasi nasional untuk mewujudkan Indonesia yang berdaya saing dan maju pada 2025 berbasis pada pembangunan ekonomi benua maritim. Namun, gagasan itu tidak ditopang dengan penelitian yang memadai.
Riset kelautan lebih mahal 3-5 kali lipat dibandingkan riset di darat. Biaya itu utamanya untuk pembelian bahan bakar kapal, penyediaan peralatan penelitian, hingga biaya keselamatan peneliti akibat risiko riset di laut lebih tinggi. ”Meski mahal, revenue (hasil) dari penelitian itu juga tinggi, seperti yang diperoleh Jepang,” ujarnya.
Untuk mengatasi mahalnya biaya riset, Hery mengusulkan riset gabungan antara peneliti Indonesia dan peneliti luar negeri atau antarpeneliti dalam negeri terus dilakukan. Dengan demikian, peralatan yang ada dapat dioptimalkan pemanfaatannya.
Suharsono menambahkan, peran perguruan tinggi negeri (PTN) yang ada di hampir setiap provinsi perlu lebih dioptimalkan. PTN disokong oleh dana pendidikan yang tinggi dan bisa menjalin kerja sama dengan setiap pemerintah provinsi. Pemerintah provinsi perlu didorong untuk lebih peduli dengan pembangunan kelautan karena semua provinsi memiliki wilayah laut. (MZW)
Sumber: Kompas, Selasa, 28 Desember 2010 | 02:33 WIB