Pada perjalanan mengelilingi Matahari, Bumi melintasi bekas aliran Komet Halley setiap pertengahan hingga akhir Oktober. Di daerah itu banyak debu sisa komet yang terbakar saat bersinggungan dengan atmosfer Bumi hingga menimbulkan hujan meteor.
Oleh karena hujan meteor itu seolah-olah memancar dari rasi Orion, peristiwa itu disebut hujan meteor Orionid. Puncaknya terjadi pada Selasa (21/10) dini hari. ”Diperkirakan 20 meteor terlihat setiap jamnya,” kata Kepala Kantor Lingkungan Meteoroid Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) Bill Cooke, akhir pekan lalu.
Potensi melihat hujan meteor Orionid tahun ini cukup besar mengingat Bulan sedang memasuki fase Bulan tua sehingga cahayanya takkan terlalu mengganggu pengamatan. Di Jakarta, Bulan akan terbit pukul 03.25. Selain itu, sebagian besar wilayah Indonesia sedang pada puncak musim kemarau sehingga potensi gangguan keberadaan awan juga kecil.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Manajer Program Obyek Dekat Bumi NASA Don Yeomans menambahkan, ukuran debu yang kecil seukuran pasir akan membuat sebagian besar meteoroid itu habis terbakar di atmosfer bagian atas, tidak sampai jatuh ke permukaan Bumi. Meteor itu memasuki atmosfer Bumi dengan kecepatan 66 kilometer per detik.
Hujan meteor ini bisa disaksikan di seluruh belahan Bumi. Waktu pengamatan terbaik adalah dini hari, setelah lewat tengah malam hingga menjelang fajar.
Untuk mengamati, hanya perlu pergi ke daerah yang jauh dari cahaya kota. Selanjutnya, untuk pengamatan di Indonesia, arahkan pandangan ke timur, yakni ke arah rasi Orion atau Lintang Luku.
”Hujan meteor Orionid bukanlah hujan meteor terbesar, tetapi termasuk salah satu yang terindah,” kata Cooke. (NASA/UNIVERSTODAY/MZW)
Sumber: Kompas, 20 Oktober 2014