Bangsa kita memerlukan energi yang murah yang bisa dipenuhi oleh sebanyak mungkin masyarakat. Salah satu upaya, transformasi mesin penggerak, seperti moda transportasi, dari bahan bakar fosil ke listrik di sektor hilir.
Presiden Joko Widodo meresmikan pengoperasian kereta rel listrik lintas Yogyakarta-Solo pada Senin, 1 Maret 2021. Presiden mengatakan bahwa KRL ini merupakan sebuah moda transportasi massal yang ramah lingkungan, lebih cepat dari kereta api sebelumnya, serta ongkosnya murah.
Kata kuncinya adalah transformasi mesin penggerak, dalam hal ini moda transportasi, dari bahan bakar fosil ke listrik di sektor hilir. Bangsa kita memerlukan energi yang murah yang bisa dipenuhi oleh sebanyak mungkin masyarakat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Data terakhir, konsumsi energi per kapita Indonesia per Agustus 2019 berkisar di angka 1,077 kWh, dengan harga rerata per kWh adalah Rp 1,385. Jika kita kalikan, rerata penggunaan listrik per kapita dalam setahun adalah Rp 1,5 juta. Jika pendapatan per kapita kita adalah Rp 59 juta, komposisi penggunaan listrik kita berkisar di angka 2,5 persen. Masih relatif kecil.
Konversi energi di tingkat terkecil yang sudah kita lakukan adalah konversi dari minyak tanah ke gas cair. Jenis gas cair yang dipilih adalah LPG, atau liquefied petroleum gas, dengan dominasi komponen gas propana dan butana. Jenis gas ini memiliki massa jenis yang lebih besar dari jenis gas cair lain, yakni LNG.
Dalam tabung, LPG berbentuk zat cair, tetapi pada suhu dan tekanan normal, LPG yang keluar dari tabung akan langsung berubah menjadi gas. Tekanan yang dibutuhkan untuk mencairkan gas ini cukup rendah sehingga lebih aman digunakan.
Inilah yang membuat LPG lebih tepat untuk konsumen rumah tangga, karena sifatnya mudah disimpan dan bisa langsung dibakar untuk dimanfaatkan, tanpa perlu infrastruktur khusus.
Kala itu, tahun 2008, pemerintah perlu menyubsidi Rp 5.000 untuk per liter minyak tanah. Untuk mengurangi subsidi minyak tanah tersebut, akhirnya dipilihlah LPG sebagai pengganti minyak tanah secara nasional.
Program ini sukses hingga sekarang, walaupun jika kita membaca harian ini pada 19 November 2020, pemerintah masih menyubsidi LPG sebesar Rp 51 triliun pada APBN 2020. Ternyata besaran subsidi ini tidak terlalu berbeda jika dibandingkan dengan subsidi minyak tanah pada tahun 2008 lampau yang besarannya mencapai Rp 48 triliun.
Transmisi energi
Untuk bisa dimanfaatkan, sumber energi perlu dipindahkan. Pemindahan ini dikenal dengan nama transmisi. Transmisi energi bisa diwujudkan dengan pipa minyak dan pipa gas atau kabel listrik.
Pulau Jawa, Madura, dan Bali, misalnya, memiliki koneksi listrik yang saling tersambung dengan kabel berkapasitas 500 kV, cukup besar untuk mengurangi kehilangan energi ketika berpindah antarpulau. Sementara perpindahan energi dari Pulau Sumatera ke Pulau Jawa terjadi melalui pipa gas dengan diameter 32 inci dan panjang 629 kilometer (km).
Sistem transmisi ini harus dijaga keandalannya. Pernah pada 18 Agustus 2005 pagi, pasokan listrik di Jawa-Bali mendadak putus. Penyebabnya adalah kerusakan jaringan transmisi saluran udara tegangan ekstra tinggi (SUTET) 500 KV Saguling, Cibinong, dan Cilegon. Ini membuat sistem kelistrikan kehilangan pasokan hampir 50 persen. Lalu terjadi lagi pada 4 Agustus 2019, pemadaman karena adanya gangguan di SUTET 500 kV Ungaran-Pemalang.
Target pemerintah untuk memperbanyak sumber energi listrik baru dan terbarukan pun akan membutuhkan sistem transmisi listrik baru yang andal. Eric Larson, peneliti dari Princeton University, di The Economist, 20 Februari 2021, mengatakan bahwa kapasitas SUTET di Amerika harus naik 60 persen dalam waktu sepuluh tahun ke depan untuk mendukung program energi hijau mereka. Terlebih sumber energi baru dan terbarukan ini lokasinya tersebar dan sangat tergantung pada cuaca.
Jika rute baru KRL yang akan dioperasikan untuk mengakomodasi keperluan masyarakat dan kendaraan listrik yang digunakan oleh rakyat Indonesia semakin banyak, keandalan sistem kelistrikan harus tinggi, di samping pembangkit dan sumber energinya juga harus bisa terjaga kesinambungannya.
Produksi gas untuk listrik
Bagaimana dengan sumber energi untuk pembangkit listrik? Dari gambaran kondisi geografis, transmisi energi dalam bentuk pipa gas terbesar di Indonesia berasal dari Pulau Sumatera.
Dari Pulau Sumatera, selain seperti yang tadi dituliskan, gas mengalir melalui pipa Sumatera Selatan-Jawa Barat. Terdapat juga dua pipa gas besar, yakni dari Sumatera Selatan ke Duri dan Dumai (Riau) dengan diameter 28 inci dan panjang 536 km serta dari Sumatera Selatan ke batas negara Singapura dengan diameter 28 inci dan panjang 468 km.
Konsep pipa-pipa gas dengan diameter besar dan berjarak jauh ini menunjukkan bahwa ketersediaan gas untuk kelistrikan di Indonesia ini cukup besar dan siap menjadi pendukung percepatan produksi listrik dari sumber energi baru dan terbarukan yang sifatnya berselang karena ketergantungannya pada cuaca dan memerlukan buffer yang siap mengambil posisi pasokan listrik setiap saat.
Pipa gas dengan diameter besar dan panjang bisa dipakai sebagai buffer ini karena jika dibandingkan dengan menggunakan baterai saat ini tentu masih belum cost-effective.
Negara listrik
Kombinasi dari fakta di atas, yakni masih kecilnya komposisi pengeluaran untuk listrik dibandingkan dengan total pendapatan per kapita, masih besarnya subsidi LPG, pentingnya keandalan transmisi listrik dan perlunya penambahan kapasitas, serta besarnya lumbung energi di Pulau Sumatera yang belum tersalurkan ke wilayah lain yang memiliki konsumen listrik lebih besar, memerlukan terobosan-terobosan baru yang bisa mendukung upaya kita menjadi negara listrik.
Misalnya saja, di tingkat rumah tangga, untuk memperkecil subsidi LPG, perlu dirancang satu program penggantian kompor gas menjadi kompor listrik dengan beban finansial minimum yang dilimpahkan kepada masyarakat.
Di sektor transportasi, perlu diciptakan satu terobosan yang akan membuat peralihan dari kendaraan konvensional ke kendaraan listrik yang nantinya bukan hanya tren sesaat, melainkan menjadi tujuan jangka panjang para pengguna kendaraan.
Di tingkat keterhubungan antarkota, dengan suksesnya pembukaan rute baru kereta listrik yang menghubungkan kota Yogyakarta dan Solo, hal itu harus berimbas dan bisa diterapkan di kota-kota lain dengan sarana infrastruktur yang mendukung.
Menghubungkan Pulau Sumatera dan Pulau Jawa, yang dalam hal ini sebagai pulau terpadat dengan kebutuhan listrik tertinggi di negara kita, dengan kabel listrik sepanjang 40 km, tentunya sudah harus dilakukan.
Dengan demikian, produksi gas di Sumatera bisa ditingkatkan, terjadi pembangunan pembangkit listrik baru di Pulau Sumatera yang tentunya akan merangsang pertumbuhan sektor industri.
Transmisi listrik antarpulau ini juga menjadi salah satu alternatif cara untuk mengurangi potensi pemadaman listrik akibat gangguan sistem transmisi yang telah ada dan matinya pembangkit listrik tertentu sehingga masyarakat lebih nyaman untuk memindahkan konsumsi energinya ke listrik.
Di atas semua itu, tentu masih banyak inovasi lain yang bangsa kita bisa kembangkan jika kita ingin menjadi ”negara listrik” sekaligus negara kepulauan yang saling terhubung menjadi satu sistem ketahanan energi.
Amrullah Hakim, Praktisi Migas; Lulus Sarjana Teknik Fisika ITB dan MM-MBA dari UI – IAE Grenoble, Perancis
Editor: YOHANES KRISNAWAN
Sumber: Kompas, 12 Maret 2021