Berpikir Linier dalam Bahasa

- Editor

Sabtu, 22 November 2014

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Suatu waktu pernah diperdebatkan mengakibatkan dan menyebabkan yang memiliki makna sama, padahal kata dasarnya berlawanan makna, dan penggantian kata memenangkan dengan memenangi. Ada kesamaan cara berpikir dalam argumen di kedua perdebatan itu: penalaran linier. Cara berpikir ini sering berfokus pada fenomena A ditarik lurus ke fenomena B atau memasukkan hukum pada data. Akibatnya, muncul keartifisialan dan, lebih jauh, bisa mengganggu sistem bahasa.

Kini ada fenomena lagi dalam sistem bahasa Indonesia, berawal dari munculnya pola me(N)- + D-isasi(-kan): menginventarisasi, menggeneralisasikan, mengimunisasi, merealisasikan, merevitalisasi, dan seterusnya. Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa -isasi dianggap serapan (gramatikal) dari -ization yang dipadankan dalam bahasa Indonesia: pe(N)-an sebagaimana dalam peremajaan, pendataan, perampatan, dan seterusnya yang bermakna (gramatikal) ’proses’.

Untuk bentukan me(N)- + D-isasi, ada yang menyatakan tidak gramatikal karena tak ada bentukan me(N)- + pe(N)-an, misalnya, mem+pembunuhan, mem+penutupan, dan seterusnya. Pemikiran itu agaknya berkesan simplistis. Dalam sinonim bahasa serumpun saja terdapat nuansa makna dan perilaku gramatikal yang khas dari setiap kata, apalagi tentunya di antara sinonim yang berasal dari bahasa asing. Pembentukan kata berimbuhan berlangsung otomatis secara intuitif di dalam benak penutur. Tidak ada filter, misalnya, kata A tidak bisa bergabung karena tidak bersinonim dengan B ketika proses pembentukan kata terjadi dalam benak penutur.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Konkretnya, kalau mengikuti jalan pikiran yang linier itu, seorang penutur, misalnya, akan menolak kata bentukan menyudahi karena tidak ada bentuk menelahi (sudah dan telah adalah pasangan sinonimi). Begitu pula, dia akan menolak menggunakan dan membukukan karena tidak ada bentukan memfaedahkan dan mengitabkan. Jika hal itu terjadi, bisa dibayangkan betapa artifisial dan miskinnya sistem bahasa Indonesia.

Pola bentukan me(N)- + -isasi sangat terbuka. Artinya, jika ada kata serapan baru dengan –isasi, pasti kata itu bisa diberi awalan me(N)-(-kan). Sebab itu, ada senarai untuk kata dengan –isasi. Kamus Besar Bahasa Indonesia pun merekam verba menggeneralisasikan, merealisasi(kan), menginventarisasi, dan seterusnya. Alhasil, penganalisisan dapat dengan mantap dilakukan. Makna gramatikal me(N)- dalam bentukan merealisasikan, mengimunisasi, menggeneralisasikan, dan seterusnya adalah ’melakukan D’, yaitu ’melakukan realisasi’, dan seterusnya. Makna ini merupakan salah satu makna gramatikal awalan me(N)- seperti dalam menendang, mengomunikasikan, mengorupsi, dan seterusnya.

Terakhir, bahasa Indonesia menyerap bahasa asing secara leksikal per kata; jadi dengan satu identitas. Unsur gramatikalnya seperti pemarkah jender dan jamak tidak diserap. Kita menyerap data yang jamak, tetapi makna jamaknya tidak. Artinya, unsur –isasi tidak bisa disamakan dengan pe(N)-an. Bagi penutur, tidak ada di benaknya -isasi sama dengan pe(N)-an. Ihwal mengapa me(N)- tidak dapat bergabung dengan pe(N)-D-an justru yang perlu diteliti.

Dengan berpikir secara komprehensif, bahasa Indonesia akan memiliki sistem yang lebih mantap dan lengkap. Penutur membuat bentukan menggeneralisasikan yang bermakna ’melakukan generalisasi’ tentu ada alasannya. Dari ilmu bahasa, hal itu disebut pertautan argumen, seperti mengendarai sepeda–’bersepeda’; memakai sandal-’bersandal’, dan seterusnya.

Yanwardi, Editor Yayasan Obor

Sumber: Kompas, 22 November 2014

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Kincir Angin: Dari Ladang Belanda Hingga Pesisir Nusantara
Surat Panjang dari Pinggir Tata Surya
Ketika Matahari Menggertak Langit: Ledakan, Bintik, dan Gelombang yang Menggetarkan Bumi
Mengalirkan Terang dari Gunung: Kisah Turbin Air dan Mikrohidro yang Menyalakan Indonesia
Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Berita ini 18 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 27 Juli 2025 - 21:58 WIB

Kincir Angin: Dari Ladang Belanda Hingga Pesisir Nusantara

Kamis, 17 Juli 2025 - 21:26 WIB

Surat Panjang dari Pinggir Tata Surya

Selasa, 15 Juli 2025 - 08:43 WIB

Ketika Matahari Menggertak Langit: Ledakan, Bintik, dan Gelombang yang Menggetarkan Bumi

Senin, 14 Juli 2025 - 16:21 WIB

Mengalirkan Terang dari Gunung: Kisah Turbin Air dan Mikrohidro yang Menyalakan Indonesia

Kamis, 10 Juli 2025 - 17:54 WIB

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Berita Terbaru

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tarian Terakhir Merpati Hutan

Sabtu, 18 Okt 2025 - 13:23 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Hutan yang Menolak Mati

Sabtu, 18 Okt 2025 - 12:10 WIB

etika

Cerpen: Lagu dari Koloni Senyap

Kamis, 16 Okt 2025 - 10:46 WIB