Masyarakat di Sumatera dan Kalimantan yang dikepung kebakaran hutan perlu melindungi diri dari berbagai partikel, senyawa, dan gas berbahaya yang terdapat dalam kabut asap ini.
Paparan asap kebakaran hutan dan lahan terbukti sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Masyarakat di Sumatera dan Kalimantan yang dikepung kebakaran hutan dituntut melindungi diri dari berbagai partikel, senyawa, dan gas berbahaya yang terdapat dalam kabut asap ini.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO–Jembatan Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah atau yang lebih populer dengan nama Jembatan Siak IV di Kota Pekanbaru, Riau, terlihat samar akibat kabut asap, Jumat (20/9/2019), sekitar pukul 08.30 WIB. Kabut asap terjadi karena kebakaran lahan dan hutan yang tidak kunjung padam. Tebalnya asap membuat aktivitas warga terganggu. Kegiatan belajar mengajar di sekolah terhenti sekitar dua minggu.Kompas/Heru Sri Kumoro20-09-2019
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kematian bayi usia tiga hari di Riau pada Rabu (18/9/2019) lalu, merupakan alarm, yang mesti disikapi serius. Sebelum meninggal, bayi dari pasangan Evan Zebdrato dan Lismayani Zega dari Kelurahan Kulim, Kecamatan Tenayan Raya, Pekanabaru ini mengalami sesak napas, batuk dan demam.
Sebelumnya, bayi usia empat bulan anak Ngadirun (34) dan Ita Septiana (27) dari Banyuasin, Sumatera Selatan, juga meninggal, Minggu (16/9), dengan diagnosa infeksi saluran pernapasan bawah dan radang selaput otak. Ironisnya, hampir tiga tahun lalu, anak pertama Ngadirun juga meninggal karena asap (Kompas, 17/9/2019).
Kualitas udara di beberapa kota di Sumatera dan Kalimantan memang sangat membahayakan kesehatan. Data rekapitulasi Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), selama sepekan kualitas udara di hampir seluruh Provinsi Riau d jauh melebihi nilai ambang aman. Rumbai dan Minas tercatat memiliki konsentrasi tertiggi, masing-masing 846 dan 877.
Kondisi serupa juga terekam di beberapa daerah di Kalimantan, seperti Palangkaraya dan Sampit. Misalnya, a pada hari Minggu (15/9/2019) dan Senin (16/9/2019), ISPU di Palangkaraya melampaui angka 900.
Kualitas udara dikategorikan baik jika konsentrasi pencemarnya berkisar 0-50, sedang 51-100, tidak sehat jika nilainya 101-199, sangat tidak sehat 200-299, dan berbahaya jika di atas 300. ISPU ini ditetapkan berdasarkan lima pencemar utama, yaitu karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida (NO2), dan Ozon (O3). Kualitas udara juga diukur dengan menghitung particulate matter atau partikel halus, yaitu PM2,5 (berukuran 2,5 mikron) dan PM10 (berukuran 10 mikron).
Daerah-darah yang terpapar asap kebakaran mengalami peningkatan penderita infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Berdasarkan data Pusat Penanggulangan Krisis (PPK), Kementerian Kesehatan, rekapitulasi data penyakit ISPA 2019 di beberapa provinsi sebagai berikut, Provinsi Riau periode Februari – September tercatat sejumlah 268.591 jiwa, sedangkan di Provinsi Jambi pada periode Juli – Agustus sejumlah 63.554 orang.
Pada Provinsi Sumatera Selatan, jumlah terpapar ISPA periode Maret – September tercatat 291.807 pasien. Di Kalimantan Barat, periode Februari – September, data tercatat sejumlah 163.662 orang, kemudian Kalimantan Tengah pada periode Mei – September sejumlah 36.419 orangdan Kalimantan Selatan pada periode Juni – Agustus sejumlah 60.993 penduduk.
“Balita, anak-anak, lanjut usia, dan seseorang yang sensitif terhadap bahan-bahan kimia dan berbagai partikel di dalam kabut asap merupakan kelompok rentan,” kata Fatma Lestari, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.
Di antara berbagai kandungan berbahaya dalam kabut asap, keberadaan PM 2,5, yang berukuran jauh lebih kecil dari rambut sehingga bisa menerobos ke dalam jaringan tubuh, termasuk yang paling berbahaya.
Menurut Fatma, PM 2,5 yang terdapat dalam kabut asap bisa menyebabkan penyakit jantung dan gangguan pernafasan. Untuk penyakit jantung, bisa dipicu oleh gangguan pernapasan, tekanan darah tinggi, dan gagal jantung. Sementara gangguan pernapasan memicu penyakit paru obstrutif kronik dan kanker paru.
Laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO) 2013 dan UNICEF pada 2017 menyebutkan, paparan jangka panjang PM 2,5 juga kerap dikaitkan dengan kelahiran bermasalah, penyakit pernapasan pada masa kanak-kanak, kemungkinan gangguan perkembangan saraf dan fungsi kognitif, serta diabetes.
Penelitian Jayarathine di jurnal Atmospheric Chemistry and Physics (2018) menyebutkan, kompisisi kimia asap dari kebakaran lahan gambut di Kalimantan pada 2015 mengandung berbagai bahan berbahaya, di antaranya Polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH). Zat ini diketahui bersifat karsinogenik, atau menyebabkan kanker.
Studi oleh peneliti dari Universitas Harvard dan Columbia, Amerika yang dipublikasikan di jurnal Environmental Research Letters (2016) mengkalkulasi, setidaknya 90.000 orang di Indonesia mengalami kematian dini akibat kabut asap kebakaran hutan tahun 2015. Adapun kematian dini di Singapura dan Malaysia yang terdampak kabut asap kiriman dari Indonesia 10.000 orang.
Mitigasi bahaya
Menurut Fatma, untuk melindungi diri dari PM 2,5 tidak cukup dengan masker biasa. “Untuk partikel di bawah 5 mikron harus pakai masker N95. Sedangkan untuk melindungi dari gas berbagaya yang terdapat dalam kabut asap ini haru pakai respirator,” katanya.
Perlindungan diri dari kabut asap memang tidak mudah. Oleh karena itu, masyarakat yang berada di area kabut asap disarankan untuk mengurangi aktivitas di luar ruangan. “Harusnya ada perlindungan ruang aman sementara yang bisa menampun banyak orang dan menginstall air purifier,” ujarnya.
Dengan berbagai kesulitan untuk mengatasi dampaknya, harusnya pemerintah mengambil tindakan tegas dan hukuman seberat-beratnya terhadap pelaku pembakaran hutan. “Pembakar hutan adalah teroris lingkungan. Pelakunya harus dibuka dan dihukum seberat-beratnya. Harus ada solusi jangka panjang dan permanen. Gambut harus kembali dibasahi. Penegakan hukum harus dilakukan untuk membela kepentingan publik,” kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo.
Kepala Departemen Kajian dan Penggalangan Sumber Daya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Khalisah Khalid menegaskan, bencana kabut asap kali ini harusnya bisa diminimalkan jika Presiden mau patuh pada putusan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa negara bersalah dalam kasus kebakaran hutan di Kalimantan pada 2015.
Putusan pengadilan telah memerintahkan Presiden menerbitkan peraturan pemerintah atau peraturan presiden tentang pembentukan tim gabungan pemerintah untuk meninjau ulang dan merevisi izin usaha pengelolaan hutan dan perkebunan serta menegakkan hukum lingkungan perdata, pidana, maupun administrasi terhadap perusahaan-perusahaan yang lahannya terbakar. Negara juga diharuskan membuat peta jalan pencegahan dini, penanggulangan, dan pemulihan korban kebakaran hutan.
Selain itu, Pesiden, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Agraria dan Tata Ruang, serta Menteri Kesehatan, diperintahkan segera mendirikan rumah sakit di Kalimantan Tengah yang khusus menangani penyakit paru dan penyakit lain akibat asap yang bisa diakses gratis oleh korban. Mereka juga diperintahkan segera membuat tempat evakuasi yang bebas pencemaran guna mengantisipasi potensi kebakaran berikutnya.
Untuk pertanggungjawaban kepada publik, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Menteri Agraria dan Tata Ruang diperintahkan pengadilan untuk mempublikasikan lahan yang terbakar dan perusahaan pemegang izinnya, mengembangkan sistem keterbukaan informasi kebakaran hutan dan perkebunan di Kalimantan Tengah, dan mengumumkan dana investasi pelestarian hutan dari perusahaan-perusahaan pemegang izin kehutanan.
Namun, bukannya mematuhi putusan pengadilan, Presiden justru mengajukan Peninjauan Kembali. “Ini menjadi preseden buruk, karena seolah pemerintah tidak sungguh-sungguh mau mengatasi persoalan ini…,” kata Khalisah.
Oleh AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 21 September 2019