Pemerintah diminta menerapkan moratorium lobster (famili Nephropidae) demi mengatasi penurunan populasi dan ukuran lobster. Selain itu, perlu ada penindakan pada nelayan yang mengambil anakan atau juvenil lobster besar-besaran di alam.
Menurut Deni Achmad Soeboer, peneliti di Departemen Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Institut Pertanian Bogor, Senin (14/12) di Jakarta, hal itu terkait hasil survei timnya di perairan barat Sumatera.
“Moratorium lobster harus diberlakukan selama setahun mendatang,” ujarnya. Kebijakan itu terutama ditujukan di beberapa daerah dengan penangkapan berlebih, antara lain di selatan Jawa Barat dan pesisir barat Aceh. Moratorium memungkinkan terjadi pemulihan atau kenaikan populasi dan pembesaran ukuran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Saat ini terjadi banyak penangkapan juvenil (anakan) lobster. Kasus tangkap tangan terjadi di Banyuwangi dan Palabuhanratu,” ucap Deni yang juga Ketua Tim Kajian Penyusunan Rencana Zonasi dan Rencana Induk Kabupaten Simeulue, Aceh.
Juvenil diburu nelayan karena harganya mahal. Harga jual di penampung Rp 15.000 per juvenil lobster ukuran 2 sentimeter (cm) atau 2 ons per ekor. Harga jual di pengumpul tiga kali dibandingkan di tingkat nelayan. Dari pengumpul di Tangerang, lobster dijual ke Singapura, Hongkong, dan Taiwan.
Penangkapan krustasea laut itu memakai alat disebut seser. Juvenil lobster mudah ditangkap di perairan saat malam. Karena bersifat fototaksis, lobster naik ke permukaan dan berkumpul di sumber cahaya.
“Itu tindakan ilegal dikaitkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan 2015 yang melarang penangkapan anakan lobster dan kepiting bertelur,” kata Deni. Penegakan hukum perlu aturan sejalan keputusan menteri di pemerintah provinsi dan kabupaten. Direktorat Jenderal Pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan menempatkan perwakilan di pemda.
Hasil survei
Menurut hasil survei, eksploitasi ikan demersal, termasuk lobster di Simeulue, Aceh, 80 persen dari potensinya. Potensi lestari perikanan laut di daerah itu berkapasitas 33.000 ton, 28.000 ton di antaranya adalah pelagis, sisanya ikan demersal.
Penurunan populasi jenis krustasea terkait kerusakan karang akibat gempa dan tsunami Aceh pada 2004, dan pengeboman karang. Menurut hasil survei di 70 titik di utara dan Kepulauan Simeulue, kerusakan terumbu karang hampir 70 persen.
Sejauh ini budidaya lobster belum dapat dikembangkan. Budidaya lobster di Gondol, Bali, misalnya, angka kematian ikan tinggi, yang hidup 5-8 persen. Sebab, belum tercipta lingkungan kolam serupa kondisi di alam.
Untuk itu, Direktur Tata Ruang KKP Subandono Diposaptono menjelaskan, Simeulue perlu jadi kawasan konservasi demi keberlanjutan lobster. Balai benih ikan pantai perlu direvitalisasi demi menghasilkan bibit ikan demersal, dan ditargetkan produksi 200 ton ikan kerapu. Harapannya, warga beralih dari penangkapan lobster. (YUN)
————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Desember 2015, di halaman 13 dengan judul “Berlakukan Moratorium Lobster”.