Jika kuliah sekadar belajar tanpa dibayangi impitan biaya, mahasiswa-mahasiswi ini tidak perlu repot ”kejar setoran”. Tidak perlu repot membawa dagangan melewati ratusan anak tangga. Meski kalang kabut, demi cita-cita, mereka menolak kalah.
”Mau kue susnya, Kak. Sama pastel satu, ya,” kata seorang mahasiswi berjilbab hijau itu riang disertai senyum.
”Silakan, Dik. Ini cabenya kalau masih kurang ambil aja. Terima kasih, ya,” balas Sri Sugiyarti (21) yang sedang duduk di lantai di koridor lantai 2 Gedung C Kampus Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka), Jakarta. Seusai melayani mahasiswi tersebut, Selasa (3/10), ia segera bangkit dari duduk, bergegas membereskan dagangannya yang terdiri dari aneka kue dan gorengan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Mau ke gedung sebelah. Di sana lebih ramai,” kata Sri, pedagang kue yang juga mahasiswi Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar di Uhamka.
Tujuh susun kotak kue lalu ia junjung di atas kepala. Perlahan, dia menuruni satu per satu anak tangga yang entah sudah berapa kali ia lalui, kemudian berjalan sekitar 100 meter melewati koridor hingga tiba di gedung B.
Sri setiap hari berdagang dari satu gedung ke gedung lain di Uhamka, kecuali gedung A. Pasalnya, di gedung A, adiknya, Bella Selvia (20), menjajakan dagangan yang sama. Mereka menjual rata-rata 200 potong kue sehari dengan harga Rp 2.500 per potong.
KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS–Sri Sugiyarti (21) merapikan dagangan saat berjualan di kampus tempatnya berkuliah di FKIP Universitas Prof DR Hamka, di Pasar Rebo, Jakarta Timur, Selasa (3/4). Berdagang kue basah adalah cara sebagian mahasiswa dari kalangan ekonomi bawah agar tetap bisa berkuliah.
Sri dan Bella selepas azan subuh pergi ke pasar di Bekasi Timur untuk mengambil kue dagangannya. Dari pasar, ayahnya, M Syaftari (54), yang bekerja sebagai sopir tembak, mengantar mereka ke kampus di Pasar Rebo, Jakarta Timur. Mereka tiba selepas pukul 06.00 dan baru pulang pukul 17.00.
Berdagang dan kuliah mereka lakoni dari Senin sampai Jumat hampir empat tahun terakhir ini. Dua kegiatan itu benar-benar menguras tenaga. Namun, hanya itu yang bisa dilakukan Sri dan Bella agar bisa kuliah.
”Dari awal kuliah kami tak pernah minta uang sama orangtua. Ini lagi menabung untuk bayar biaya ujian tengah semester (UTS),” ucap Sri, yang memiliki indeks prestasi kumulatif 3,2.
Tabungan kali ini akan digunakan untuk membayar biaya UTS sang adik, Bella, yang duduk di semester V. Besarnya sekitar Rp 3 juta. Sri sendiri untuk sementara cuti kuliah karena tidak punya cukup dana untuk membayar kuliah. Ia tidak tega meminta uang kepada ayahnya atau ibunya yang hanya seorang tukang urut.
Asisten rumah tangga
Bukan hanya Sri dan Bella, Krisintia (19), mahasiswi FKIP Uhamka lainnya, juga berjuang keras untuk membiayai kuliahnya dengan bekerja sebagai asisten rumah tangga. ”Gaji asisten rumah tangga Rp 800.000 sebulan tidak cukup. Saya harus beli buku, bayar semester, bayar biaya UTS, dan semester,” cerita Krisintia, gadis asal Pemalang, Jawa Tengah, yang orangtuanya petani berpenghasilan minim.
Untuk menutupi kekurangan biaya, ia jualan keripik dan camilan sekitar satu tahun terakhir di lingkungan kampus. Ia mengaku kuliah sambil berdagang sekaligus menjadi asisten rumah tangga sangat berat. Namun, ia tetap menjalani hal itu agar bisa mewujudkan mimpinya menjadi sarjana. ”Pokoknya saya harus lulus (kuliah) dan bisa kerja. Syukur nanti bisa punya food truck,” ujarnya.
Krisintia menambahkan, biaya kuliah di universitas swasta sangat besar untuk orang seperti dirinya. Apalagi, ia tidak mendapat keringanan biaya, subsidi, atau beasiswa. Tidak jarang dia harus berutang saat masa pembayaran kuliah tiba. ”Kalau tunggakan di kampus, sih, tidak ada. Tapi, sama orang lain ada, ha-ha-ha. Masih ada utang sejuta lebih,” tambahnya.
Kisah serupa dituturkan Chandra Nugraha (23), mahasiswa semester VII Fakultas Ekonomi Universitas Garut, Jawa Barat. Untuk membiayai kuliahnya, ia berjualan cilok dengan menggunakan gerobak keliling dua tahun terakhir ini. Dari usahanya, ia memperoleh untung Rp 30.000 per hari.
”Dengan cara seperti ini saya bisa membantu orangtua, terutama untuk membiayai kuliah,” ujar Chandra, yang menjajakan cilok di sela-sela jadwal kuliah yang padat.
Timpang
Pendidikan tinggi memang tidak mudah untuk dijangkau anak muda dari keluarga berpenghasilan rendah. Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik 2016 menunjukkan, angka partisipasi kasar penduduk termiskin dan terkaya di rentang usia 19-23 tahun terus meningkat. Akan tetapi, jumlah penduduk miskin yang bisa kuliah masih tertinggal jauh dibandingkan dengan penduduk berpenghasilan lebih.
Dari kajian lima tahun terakhir terjadi kesenjangan yang tajam antara kelompok mahasiswa dari keluarga kaya dan mahasiswa dari keluarga tak mampu dalam hal akses terhadap perguruan tinggi. Akses ke perguruan tinggi dari 20 persen kelompok terkaya yang kuliah di dalam negeri mencapai 45 persen. Adapun akses kuliah dari 20 persen kelompok termiskin mencapai 14 persen. Lulusan SMA sederajat dari keluarga termiskin yang melanjutkan studi ke perguruan tinggi berkisar 12,7 persen (Kompas, 4/2/2016).
Tanpa upaya ekstra keras, anak muda dari keluarga tak mampu akan sulit mengakses pendidikan tinggi, kecuali jika mereka mendapat beasiswa penuh. Padahal, hanya lewat pendidikanlah anak muda dari keluarga miskin berharap bisa keluar dari lingkaran kemiskinan.
”Ayah dan ibu sudah gagal (menjadi sejahtera). Kamu jangan seperti kami,” begitu pesan orangtua yang terngiang di telinga Sri dan Bella. Pesan itulah yang membuat keduanya berjuang keras untuk bisa kuliah.
SAIFUL RIJAL YUNUS
Sumber: Kompas, 9 Oktober 2017