Ada beragam metoda menghitung alokasi kursi. Tiga pemilu terakhir -Pemilu 2004, 2009, dan 2014- menggunakan metoda alokasi kursi yang berbeda. Namun, satu hal tidak berubah, yakni perolehan suara tak selalu mendapatkan konversi kursi yang setara. Kok bisa?
Prinsip pertama yang tetap sama dalam tiga pemilu tersebut adalah merekapitulasi perolehan suara di tingkat nasional. Dari rekapitulasi tersebut, akan didapatkan total dan persentase suara sah nasional dari setiap partai politik peserta pemilu.
Pemilu 2004
Pada 2004, semua partai politik yang mendapatkan suara sah akan diikutsertakan dalam penghitungan kursi di daerah pemilihan. Saat itu tidak ada penerapan syarat ambang batas partai politik (parliamentary treshold).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penghitungan kursi pada Pemilu 2004, habis di daerah pemilihan, dengan penggunaan bilangan pembagi pemilih (BPP) untuk penghitungan pembagian kursi pada tahap pertama. Bilangan pembagi pemilih adalah suara sah di suatu daerah pemilihan dibagi dengan alokasi kursi yang diperebutkan.
Sisa suara dan kursi dihitung dalam perhitungan tahap kedua berdasarkan suara terbanyak, dibagi satu per-satu sampai sisa kursi habis.
Hasilnya: Lihat Foto
Hasil perolehan suara dan kursi Pemilu 2004 berdasarkan data KPU.(Kompas.com/Palupi Annisa Auliani/Sumber Data: KPU)
Pemilu 2009
Pemilu 2009, mulai menerapkan ambang batas bagi partai politik yang dapat mengirimkan kadernya ke Senayan. Besaran ambang batas itu adalah 2,5 persen, sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 27 dan Pasal 202 ayat 1 UU 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif.
Alokasi kursi hanya diberikan kepada partai politik yang memenuhi ambang batas tersebut. Pada tahap pertama, kursi dibagi di daerah pemilihan untuk partai politik yang memenuhi bilangan pembagi pemilihDi daerah pemilihan, dibagikan kursi hanya bagi partai yang memenuhi ambang batas ini.
Namun, pembagian sisa suara dan kursi pada Pemilu 2009 dilakukan di tingkat provinsi. Semua sisa suara dan kursi di semua daerah pemilihan di suatu provinsi dikumpulkan. Dari sisa suara dan sisa kursi yang terkumpul, ditentukan BPP baru bagi penghitungan tahap kedua yang dilakukan di provinsi.
Bila masih juga ada sisa suara dan kursi pada pembagian alokasi kursi di tingkat provinsi ini, barulah digunakan penghitungan tahap ketiga. Penghitungan tahap ketiga menggunakan mekanisme urut kacang suara terbanyak di tingkat provinsi. Hasil perolehan suara dan kursi partai politik pada Pemilu 2009 adalah sebagai berikut:
Lihat Foto
Hasil perolehan suara dan kursi Pemilu 2009 berdasarkan data dari KPU.(Kompas.com/Palupi Annisa Auliani/Sumber Data: KPU)
Pelajaran untuk Pemilu 2014
Lalu, pada Pemilu 2014, penghitungan suara kembali ke sistem habis di daerah pemilihan seperti pada Pemilu 2004. Bedanya, Pemilu 2004 menerapkan parliamentary treshold sebesar 3,5 persen sebelum membagikan alokasi kursi seperti pada Pemilu 2009.
Tahap dan cara penghitungan pembagian kursi DPR untuk Pemilu 2014 dapat dibaca pada artikel Punya Persentase Suara Besar, Parpol Jangan “GR” Dulu soal Kursi DPR.
Sekalipun sistem yang dipakai tak ada yang sama persis di antara tiga pemilu ini, data hasil Pemilu 2004 dan Pemilu 2009 dapat menjadi sumber pelajaran agar partai politik menahan diri dan tak terburu-buru terbuai hasil perkiraan perolehan suara.
Pada Pemilu 2004 yang pembagian kursi habis di daerah pemilihan sebagaimana yang berlaku untuk Pemilu 2014, pelajaran ekstrem dapat dipetik dari data milik Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Keadilan Sejahtera.
Dari tiga partai tersebut, suara PAN adalah yang terendah, dengan persentase 6,41 persen. Adapun PKB mengantongi suara 10,61 persen, dan PKS 7,2 persen.
Namun, hasil konversi kursinya justru menempatkan PAN di posisi perolehan terbanyak dengan 53 kursi (9,64 persen kursi) pada saat PKB mendapatkan 52 kursi (9,455 persen kursi) dan PKS 45 kursi (8,182 persen kursi).
Adapun untuk data Pemilu 2009, cukup disimak data dari Partai Golongan Karya dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Saat itu, Partai Golkar mengantongi suara 14,45 persen dan PDI-P mendapatkan 14,01 persen suara.
Meski perolehan suara kedua partai terlihat beda tipis-tipis saja, Pemilu 2009 memperlihatkan bahwa konversi kursi DPR dari kedua partai itu tak berselisih sesedikit persentase suara di antara mereka. Partai Golkar mendapatkan 106 kursi yang setara 18,929 persen kursi DPR, dan PDI-P mendapatkan 94 kursi atau 16,786 persen.
Ini kuncinya
“Kuncinya sebaran suara di semua daerah pemilihan lalu mendapatkan kursi di perhitungan sisa suara dan kursi,” kata Wakil Ketua Umum PAN Dradjad Hari Wibowo soal “keajaiban” angka-angka tersebut, Kamis (17/4/2014).
Partai dengan perolehan suara jauh lebih sedikit bisa jadi sama-sama mendapatkan satu kursi dengan partai yang suaranya melambung. (Simulasi juga bisa dipelajari di sini).
Menurut Dradjad, partai politik memang tak boleh terlalu besar kepala dengan perolehan suara baik real count apalagi sekadar quick count. Apalagi, ujar dia, pada praktiknya kelak perolehan kursi di DPR lebih penting daripada persentase suara hasil pemilu legislatif. “Di DPR, yang berperan itu (perolehan) kursi bukan suara,” ujar dia.
Karenanya, imbuh Dradjad, “Partai memang tidak boleh gembelengan karena popular vote-nya unggul.” Popular vote adalah istilah asing untuk perolehan suara. Adapun perolehan kursi kerap disebut pula dengan electoral vote.
“Celah” kesenjangan dukungan suara dan hasil konversi kursi ini diakui pula oleh mantan Ketua Pansus RUU Pemilu di DPR, Arif Wibowo. Dia pun tak menampik “keuntungan” akan lebih banyak dinikmati oleh partai tengah yang lebih punya peluang berbagi kursi di perhitungan tahap dua.
“Partai dengan suara besar yang dapat BPP, biasanya hanya punya sisa suara sedikit setelah dikurangi suara sejumlah kursi yang didapat di tahap pertama,” kata Arif, Kamis. Kelemahan lain sistem ini bila perolehan suara tak merata, aku dia, adalah harga kursi sisa yang jauh lebih murah dibandingkan harga kursi 100 persen BPP.
Bagi partai dengan kecenderungan suara besar dan sisa suara sedikit tetapi menyebar merata, kata Arif, sistem pembagian kursi pada Pemilu 2009 akan lebih menguntungkan. Sebaliknya, metoda pembagian kursi habis di dapil seperti pada Pemilu 2014 akan lebih memberikan peluang bagi partai menengah menikmati pembagian sisa kursi dari urut kacang sisa suara terbesar suara terbanyak di masing-masing. Nah.
Penulis: Palupi Annisa Auliani
Sumber: Kompas.com – 18/04/2014