Matematika sudah bergenerasi memiliki predikat ”momok” bagi siswa. Saatnya memutus stigma tersebut yang bisa dimulai dengan memberikan pelatihan secara benar dan tepat bagi guru Matematika.
Mendengar pelajaran Matematika disebut saja, kebanyakan hati orang ketar-ketir. Di media sosial, meme kocak mengenai pelajaran Matematika mudah dijumpai. Sebutlah, ”Peraturan dalam Matematika, kalau lu ngerjainnya gampang berarti jawaban lu salah”, ”Sesuatu yang gampang dibikin susah: Matematika”, dan masih banyak lagi. Ada pula yang mengaitkan dengan kehidupan sehari-hari, seperti meme ”Rindu masa dulu di mana masalah terberat hanya PR Matematika”.
Di balik kocaknya konten-konten teks ataupun gambar yang disematkan di meme berkaitan Matematika sebenarnya menyiratkan satir. Di kancah internasional, kompetensi Matematika siswa amat diperhitungkan. Hasil Program Penilaian Pelajar Internasional (PISA) terakhir, yakni tahun 2018, menjelaskan, dari pengukuran untuk siswa berusia 15 tahun, rata-rata skor siswa Indonesia adalah 371 dalam membaca, Matematika 379, dan Sains 396. Capaian skor tersebut di bawah rata-rata 79 negara peserta PISA, yakni 487 kemampuan membaca dan 489 untuk Matematika dan Sains.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Presidium Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Matematika (Gernas Tastaka) Ahmad Rizali mengatakan, jumlah siswa sekolah dasar dan madrasah 29 juta. Berdasarkan proyeksi PricewaterhouseCoopers (2016), jika 50 persen siswa mengalami buta matematika dan membaca, ongkos yang harus ditanggung negara selama hidupnya adalah Rp 994,25 triliun setiap tahun. Sebaliknya, apabila buta matematika dan membaca dapat diintervensi sejak dini di tingkat sekolah dasar, negara bisa menghemat Rp 662,85 triliun per tahun.
Dalam berbagai program uji kompetensi, siswa Indonesia masuk dalam rapor merah. Sebagai gambaran, uji kompetensi yang dilaksanakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dalam Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (2019) menunjukkan, hampir 80 persen siswa kelas II SMP atau sekitar usia 15 tahun masuk kategori buta matematika dan membaca.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN—Anak-anak bermain sambil belajar pada media pembelajaran yang dibuat dari barang bekas dalam pameran pendidikan dan kebudayaan di Pusdiklat Kemendiknas, Depok, Jawa Barat, Rabu (13/2/2019). Alat peraga pendidikan ini dibuat oleh para siswa SD Deresan, Sleman, Yogyakarta sebagai aplikasi mata pelajaran tematis yang meliputi matematika, ilmu pengetahuan alam, dan pembentukan karakter.
Hasil uji kompetensi Kemendikbud itu selaras dengan hasil uji Programme for International Student Assessment (PISA) pada tahun 2010 yang menunjukkan 78 persen siswa Indonesia di bawah angka 2 alias functionally illiterate atau buta huruf fungsional atau bisa membaca, tapi tak mengerti isi pesan yang dibaca. Laporan Bank Dunia pada 2019 juga menunjukkan hasil serupa.
Ahmad menyampaikan, rapor merah tidak bisa diabaikan begitu saja. Pada faktanya, pembelajaran Matematika masih banyak memakai pendekatan salah kaprah, seperti harus dihapal. Cara guru mengajar pun kurang menarik sehingga menambah langgeng stigma Matematika sebagai mata pelajaran menyeramkan. Alih-alih mendapatkan ilmu, siswa malah trauma.
”Kalau ingin memperbaiki, gurunya harus jadi sasaran utama. Mereka dulunya juga menghadapi masalah yang sama,” katanya.
Guru trauma
Amirudin Miron Wabula, satu dari 40 guru SD peserta kelas training on trainer (TOT) asal Maluku, menceritakan saat masih sekolah dasar, dia pernah mengalami masa hanya sekadar mengerjakan pekerjaan rumah (PR) Matematika.
Benar atau salah jawaban yang dia kerjakan tidak menjadi isu. ”Hal terpenting PR dikumpulkan. Guru juga cuma meminta mengerjakan,” katanya.
Kenangan lain yang diingatnya adalah jadwal masuk kelas Matematika pada siang hari, seusai jam makan siang. Menurut dia, kelas siang selalu membuat siswa mengantuk dan bosan. Cara gurunya mengajar Matematika tidak menarik sehingga menambah kebosanan.
Ia bersama 39 guru SD dari Maluku dan sekitarnya telah berkumpul di aplikasi pertemuan Zoom sejak pukul 10.00 waktu Indonesia timur (WIT). Mereka adalah peserta kelas TOT Matematika yang diselenggarakan oleh Yayasan Heka Leka dan Gernas Tastaka.
Mereka memakai pakaian rapi. Guru peserta perempuan memakai rias muka seadanya. Rumah mereka yang sederhana menjadi latar Zoo sehingga semua peserta bisa saling melihat. Begitulah rutinitas mereka setiap Sabtu, dari 13 Juni 2020 sampai 13 Juli 2020. Satu kelas berlangsung enam jam.
Saling menceritakan pengalaman masa lalu mengikuti pelajaran Matematika menjadi menu pembuka kelas. Sengaja memang, karena kelas TOT bertujuan membongkar bahwa Matematika beserta stigma yang melekat, seperti yang disampaikan oleh peserta, kendati mereka kini akhirnya menjadi guru SD dan mau tidak mau harus menguasai Matematika untuk semua jenjang kelas.
Dhita Puti Sarasvati, salah seorang pelatih, mengatakan, para guru itu sebelumnya juga diminta menyiapkan gunting, kertas HVS, lem, dan alat tulis, selain unduh aplikasi Google Classroom untuk mengerjakan tugas. Rupanya, gunting, kertas, lem, dan alat tulis dipakai sebagai media peraga belajar.
Ia menyuruh guru membuat permainan donat domino. Kertas HVS dipotong-potong menjadi persegi panjang lebih kecil, lalu diisi dengan gambar donat yang bisa disusun menjadi 12.
Siti Andriyani, pelatih lainnya yang membantu Puti mengajar, menjelaskan tantangan itu mengajak peserta belajar memecahkan masalah. Ketika berhasil, mereka diminta menceritakan mengungkapkan perasaannya.
Menghafal
Di luar TOT bagi guru di Maluku tadi, Narti Harahap, guru Madrasah Ibtidaiyah Negeri 1 Batam, mengatakan, secara pribadi, dia dulunya juga tidak diajarkan proses bernalar. Dia hanya dikenalkan konsep, teori, ataupun rumus-rumus yang harus dihafal.
”Pokoknya hafalkan saja. Saat saya jadi guru, alam bawah sadar saya ternyata mengulangi tindakan itu kepada peserta didik,” katanya.
Karena siswa tidak diajak bernalar, mereka pun tidak tahu bahwa Matematika bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka tahunya, pelajaran Matematika yang paling berguna untuk hidup sehari-hari hanyalah berhitung.
Narti mengikuti kelas TOT Matematika pada Februari 2020 selama enam hari. Kelas itu diselenggarakan secara mandiri oleh guru-guru. Tidak ada bantuan dari pemerintah. Madrasah Ibtidaiyah Negeri 2 Batam menjadi tempat berlatih. Peserta setiap hari pulang balik dari rumah ke lokasi.
Ruslin, guru SD Negeri 2 Tente, Kecamatan Lohadi, Bima, mengaku mulanya dia tidak pernah bermimpi menjadi guru. Setelah lulus SMA, dia ingin melanjutkan kuliah. Pilihan program studi pendidikan guru SD diambil lantaran biaya kuliahnya paling terjangkau.
Dalam ingatannya, dia selalu memiliki guru Matematika yang galak. Sekolahnya hanya punya gambar peraga berhitung. Tidak ada kegiatan belajar-mengajar yang membuat dia tertarik berpikir untuk mendalami Matematika lebih jauh.
Pada masa itu, kebanyakan orangtua sudah mematok anak yang pintar Matematika akan lebih disayangi dibandingkan anak lainnya. Tuntutan seperti ini terus berlangsung sampai sekarang.
”Menambah stres anak, ya. Kebanyakan guru seperti saya juga produk masa lalu. Tidak heran jika ada guru yang sekadar bekerja,” kata Ruslin.
Meskipun dulu tak ada mimpi menjadi guru, dia mengaku rajin mengikuti berbagai pelatihan untuk menambah kompetensi. Ruslin mencontohkan pengalaman menarik ada di sesi pelajaran Geometri.
Dia yang selama ini hafal rumus, kini jadi mampu bernalar mengukur luas bangun. Alat peraga tak harus mahal, bisa dari bahan sederhana dan mudah diperoleh. ”Saya tidak ingin siswa mengalami apa yang dulu saya alami,” imbuhnya.
Didampingi
Hana Sofiyana, pengajar HiScope Indonesia, mengakui tantangan terbesar adalah mengubah pola pikir terhadap Matematika. Para guru kebanyakan sudah punya fondasi pengetahuan yang kuat, tetapi kurang punya kemampuan abstraksi dan bernalar. Dua kemampuan ini tak kalah penting menjadi fondasi.
Selama melatih, dia selalu memakai konten yang sederhana serta kontekstual sehingga mudah mengasah kemampuan abstraksi dan bernalar. Penalaran spasial, misalnya. Apabila kemampuan ini sudah terasah, saat membeli barang untuk ditaruh di lemari es, guru bisa memprediksi jumlah ataupun besar wujudnya agar muat.
”Jadi, mengasah kepekaan terhadap angka pula,” katanya.
Hana berpendapat, guru hanya butuh selalu disemangati dan didampingi agar terus mau berkembang. Sumber buku paket berbahasa Indonesia yang terbatas diharapkan tidak memutuskan semangat mereka.
Mengutip The Conversation, hasil studi Research on Improving Systems of Education tahun 2018 menemukan, hanya 12,43 persen guru sekolah dasar yang menganggap dirinya menguasai pengajaran literasi baca tulis. Sekitar 21,27 persen menganggap dirinya menguasai materi pengajaran Matematika.
Studi itu menyurvei persepsi diri 360 guru kelas sekolah dasar lulusan S-1 pendidikan guru sekolah dasar. Mereka sudah mengikuti program pendidikan profesi guru selama setahun secara tatap muka di tujuh universitas penyelenggara pendidikan keguruan di Pulau Jawa. Mereka memiliki pengalaman mengajar enam bulan hingga lima tahun.
Peneliti SMERU Research Institute, Shintia Revina, saat dihubungi terpisah, berpendapat, pelatihan guru yang ada sejauh ini belum efektif. Misalnya, pelatihan guru Matematika saat ini masih menitikberatkan penguasaan higher order thinking skills (HOTS) seperti yang diujikan pada soal PISA. Namun, dalam pembelajaran yang guru lakukan sehari-hari, belum mampu memfasilitasi siswa belajar keterampilan dasar Matematika.
Memberikan pelatihan guru untuk menguasai metode pengajaran yang memfasilitasi penguasaan HOTS bagaikan mengajarkan sesuatu yang jauh dari keseharian yang mereka temui. Hasil pelatihan pada akhirnya tidak aplikatif. Di saat bersamaan, guru sering kali hanya memenuhi penugasan untuk mengikuti pelatihan.
”Kehadiran guru itu wajib, tapi belajar dari pelatihan itu, tidak. Pelatihan yang ada saat ini belum memberikan kesempatan kepada guru untuk reflektif, yakni mereka seharusnya memulai dari masalah yang mereka temui di kelasnya,” katanya.
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR—Guru-guru dari TK dan SD Yasporbi menyusun kartu-kartu berisi cip untuk memerintahkan sebuah robot kecil agar bergerak sesuai pola yang diinginkan dalam pelatihan koding untuk guru-guru PAUD oleh Rumah Edukasi di Universitas Tarumanagara, Jakarta, Sabtu (23/2/2019).
Ada pula kecenderungan guru mengikuti panduan buku guru secara terperinci. Dengan demikian, apa pun isi pelatihan yang diberikan, guru akan kembali mengajar dengan mengikuti buku panduan yang ada. Jika keadaan seperti itu berlanjut, pelatihan guru yang ada sepertinya tidak akan dapat banyak berperan terhadap hasil belajar siswa, termasuk skor siswa dalam PISA.
Direktur Guru dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Dasar Kemendikbud Rachmadi Widdiharto, dalam pernyataan resmi 30 Juli 2020, berpendapat, pendidikan di Indonesia masih lemah. Indikatornya dapat dilihat dari prestasi belajar siswa yang belum banyak muncul atau terlihat di berbagai kompetisi pendidikan secara regional ataupun internasional.
”Meningkatkan pendidikan memerlukan inovasi yang melibatkan semua pihak, termasuk organisasi atau lembaga nonpemerintah,” ujarnya.
Oleh MEDIANA
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 12 Agustus 2020