Di keheningan ruang laboratorium mikrobiologi Cibinong Science Center, Bogor, Jawa Barat, Selasa (5/5), Rini Riffiani (39) bekerja. Di depannya berserak gelas dan tabung lab, isolat, pipet, dan alat kerja khas peneliti mikrobiologi. Ia sedang berburu makhluk hidup supermini, bakteri, dalam potongan hewan laut: spons, dari Pulau Enggano.
Peneliti mikrobiologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Rini Riffiani, mengisolasi bakteri yang hidup dalam spons asal Pulau Enggano, Bengkulu, Selasa (5/5), di Pusat Penelitian Biologi, Cibinong Science Center, Bogor, Jawa Barat. Ia menargetkan mendapatkan bakteri yang bisa membantu pembuatan obat anti kanker dan anti obesitas.—KOMPAS/JOHANES GALUH BIMANTARA
Di siang yang terik, mengenakan kaus lengan panjang, berbalut pelampung, dan bersepatu bot, Rini dan kolega menumpang kapal kayu sewaan bermesin. Bersama tiga peneliti mikrobiologi Lembaga Ilmu
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pengetahuan Indonesia (LIPI) lainnya: Dian Alfian Nurcahyanto, Yeni Yuliani, dan Ria Yuli Yanti, akhir April lalu, mereka menjelajahi perairan sekitar Enggano, salah satu pulau terluar di Samudra Hindia, yang masuk wilayah Bengkulu.
Dari atas perahu, pandangan mereka arahkan ke dasar laut yang jernih. “Itu, itu, Pak, ambilkan,” seru Rini kepada asisten pengemudi perahu sekaligus petugas lapangan yang bergegas mencebur ke laut. Tak lama, spons kuning kemerahan di tangan. Spons itu pula yang kemarin diteliti Rini.
Berperahu di tengah alunan gelombang tidaklah nyaman. Namun, itu mereka jalani demi berburu spons. Apalagi, LIPI belum memiliki spesimen spons dari Enggano.
Pada hewan spons yang dikoleksi, target Rini memperoleh bakteri yang bisa menghasilkan enzim nitrilase. Enzim itu digunakan dalam proses biotransformasi menghasilkan asam mandelat. “Asam mandelat bahan baku obat anti kanker dan anti obesitas (kegemukan),” kata lulusan magister mikrobiologi Institut Teknologi Bandung itu.
Hingga kemarin, tim mikrobiologi sudah membuat 300 isolat bakteri asam laktat. “Itu diperoleh dari 22 sampel asal Enggano, antara lain dari buah salak hutan, pandan, nira kelapa tinggi, dan nira kelapa hibrida,” ujar peneliti mikrobiologi LIPI, Sulistiani. Bakteri itu menghasilkan bermacam enzim, yang bisa ditambahkan pada makanan agar lebih mudah dicerna dan menjadi pengawet alami.
Perburuan dan penelitian lanjutan itu dalam rangka Eksplorasi Bioresources 2015, bagian dari Ekspedisi Widya Nusantara 2015 LIPI. Selain tim mikrobiologi, juga ada tim botani dan zoologi.
Para peneliti berangkat ke Enggano tanpa bayangan jelas karena belum banyak referensi terkait flora, fauna, dan mikroba di sana. Enggano menarik perhatian karena dalam sejarah geologisnya disebut-sebut tak pernah menyatu dengan daratan Pulau Sumatera. Secara keilmuan, pulau itu menjanjikan spesies-spesies unik.
Tak heran jika LIPI berharap banyak. “Kami menargetkan memperoleh 10 spesies baru, kemudian akan kami screening (menapis) spesies yang berpotensi sebagai alternatif pangan, obat, dan energi,” kata Deputi Ilmu Pengetahuan Hayati LIPI Enny Sudarmonowati.
Tentang koleksi
Secara keseluruhan, terdapat 50 awak yang tergabung dalam tim Eksplorasi Bioresources 2015. Salah satu target peneliti zoologi dan botani adalah menemukan spesies endemis dan spesies baru. Untuk itu, medan lapangan yang menantang mereka tembus.
Peneliti ikan air tawar LIPI, Renny Kurnia Hadiaty (55), salah satunya. Ia masih bersemangat menembus rimbunan pepohonan hutan menuju sungai dan anak sungai untuk mengumpulkan berbagai jenis ikan.
Gerak kaki Renny masih lincah menapaki tanah lembab hutan primer di Desa Banjarsari, Enggano.
Padahal, perjalanan dirintangi pohon-pohon tumbang dan batang-batang rotan liar yang siap menancapkan duri tajamnya. Ia hampir terjatuh ketika kakinya terjepit akar dan tanaman rambat yang menjalar di lantai hutan.
Namun, ia pantang menyerah. Motivasinya kuat dan jelas. “Saya gemas. Kita berpacu dengan perusakan lingkungan yang bisa menghilangkan spesies-spesies yang belum terdata,” kata ibu dua anak itu.
Oleh karena itu pula ia selalu ikut setiap ekspedisi. Sekitar 50 spesies baru ikan air tawar Indonesia sudah ia temukan dan koleksi selama mengabdi di LIPI. Dari Enggano, Renny mengoleksi 26 spesies yang masuk dalam 11 familia dan 4 ordo.
Ia menduga salah satu jenis ikan merupakan spesies baru. Lebih dari itu, semua spesimen ikan yang diperoleh merupakan catatan baru mengingat belum pernah ada catatan informasi sebelumnya tentang jenis ikan air tawar di Enggano.
Kelompok botani seperti tak mau kalah. Mereka mengejar spesies endemis dan spesies baru tumbuhan hingga ke Hutan Lindung Koho Buwa-buwa, hutan primer dengan kontur berbukit-bukit. Selama empat hari (23-26 April), kelompok botani menginap di hutan itu. Mereka berjalan kaki dari Desa Meok, menempuh jarak 12 kilometer dan waktu 4 jam untuk mencapai area hutan yang dituju.
Tak melulu mengidentifikasi spesies, kelompok zoologi dan botani juga ingin melihat potensi manfaat dari spesimen-spesimen yang dibawa dari Enggano. Kandungan senyawa aktif yang berpotensi sebagai alternatif pangan, obat, dan energi juga akan dipastikan.
Wajah Indonesia
Apa yang ditemui di Enggano adalah wajah Indonesia. Keanekaragaman hayati Indonesia saat ini terbesar ketiga di dunia setelah Brasil dan Kongo. Namun, kekayaan hayati Tanah Air ini nomor satu di dunia ketika memasukkan kekayaan dari perairan lautnya.
Sayangnya, kebijakan para pemimpin negeri ini belum berpihak pada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Anggaran riset nasional masih di bawah 0,1 persen dari produk domestik bruto.
Sementara kekayaan hayatinya terus digerus alih fungsi lahan mengatasnamakan pembangunan.
Dalam beberapa kesempatan, mantan Menteri Lingkungan Hidup yang juga ekonom senior Emil Salim menegaskan, betapa potensi hayati Indonesia yang melimpah ini tak dikelola dengan baik. Akhirnya, bangsa asinglah yang memanfaatkan.
Berdasarkan data Kementerian Riset dan Teknologi 2014, setiap tahun ratusan proposal penelitian asing masuk dan terus bertambah sejak 2009. Mayoritas proposal berisi pengajuan penelitian di bidang hayati, seperti biologi, ekologi, oseanografi, dan primatologi. Secara berturut-turut, lima besar negara asal pengaju proposal adalah Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Perancis, dan Inggris.
Ekspansi riset para peneliti asing itu berbeda dengan kondisi para peneliti Indonesia. Anggaran mereka sangat terbatas, bahkan kurang.
Koordinator utama Eksplorasi Bioresources 2015, Amir Hamidy, mencontohkan, biaya ekspedisi ke Enggano mengacu pada biaya perjalanan dinas ke Bengkulu. Padahal, biaya kebutuhan di pulau tersebut beberapa kali lipat lebih tinggi, seperti harga bensin yang secara resmi Rp 6.800 per liter menjadi Rp 15.000 per liter.
Sejumlah peneliti pun sempat ketar-ketir menyelamatkan spesimen di lapangan karena tak membawa alat pendingin. Pakar mikrobiologi pangan LIPI, Tatik Kusniati, misalnya, sempat ragu bisa menyelamatkan tumbuhan segar dari kebusukan.
Beruntung, dua warga menyisihkan tempat di kulkas untuk membekukan ice gel yang dibawa Tatik.
“Ice gel dimasukkan kulkas malam hari, lalu pagi hingga sore digunakan menjaga suhu dingin di kotak penyimpanan spesimen,” ujarnya.
Di tengah berbagai keterbatasan itu, para peneliti Tanah Air sangat bergairah terjun ke lapangan dan kembali ke laboratorium untuk melanjutkan kerja berikutnya. Itulah proses jamak yang dilakukan para peneliti di dunia sebelum menghasilkan berbagai obat, energi, kosmetika, dan pangan untuk mendukung keberlanjutan hidup di Bumi.
Sejauh ini, Indonesia adalah surga bahan mentah penelitian lanjutan yang tak hanya menjanjikan penghasilan besar, tetapi juga bermanfaat bagi manusia. Semua berawal dari langkah awal, seperti dilakukan Rini di Enggano yang berlanjut dalam keheningan laboratorium memburu bakteri baik.–J Galuh Bimantara
———————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 Mei 2015, di halaman 1 dengan judul “Berburu Wasiat Hayati Enggano”.