Ketergantungan yang tinggi terhadap beras sebagai pangan pokok di Indonesia mendorong pembuatan beras tiruan dari sumber karbohidrat lain. Upaya ini menjadi solusi pemenuhan kebutuhan beras sekaligus meningkatkan ketahanan pangan.
Pembuatan beras tiruan yang diperkaya bahan nutrisi telah lama dikenal di dunia. Teknik pembuatannya dipatenkan di Amerika Serikat pada 1993 atas nama Hideo Kurachi. Adapun metode manufaktur pembuatan beras tiruan di industri dipatenkan Daryamehr Keshani pada 2012 di AS.
Beras tiruan mungkin mengandung campuran tepung polivinil klorida. Agar lentur, ditambahkan bahan bersifat plasticizer seperti benzyl butyl phthalate atau diethyl hexyl phthalate atau diisononyl phthalate. Penggunaan resin plastik dicampur kentang dan ubi menjadi beras dilaporkan di Hongkong dan Vietnam seperti diberitakan naturenews.com.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Isu beras mengandung plastik belakangan ini mengingatkan kita kembali akan adanya beras tiruan, selain beras alami yang diolah dari padi.
Sebenarnya, beras tiruan bukan hal baru di Indonesia. Pada 1970-an, pemerintah pernah memproduksi beras tekad, yang merupakan akronim ketela, kacang, dan djagung (ejaan lama) yang menjadi bahan baku. Beras itu dibuat pemerintah saat krisis beras.
Munculnya beras tekad terkait Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1974 dan Inpres No 20/1979 tentang Diversifikasi Pangan untuk Mengatasi Rawan Pangan yang mengampanyekan keragaman makanan pokok. Namun, desain pertanian terfokus mengejar swasembada beras, yang lalu tercapai pada 1984.
Peningkatan produksi beras itu membuat ketergantungan masyarakat terhadap beras tetap besar, bahkan kian tinggi tingkat kebutuhannya. Pada 1954, pangsa beras di Indonesia hanya 53,5 persen, separuhnya adalah nonberas. Pada 1987, angka itu melonjak menjadi 81,1 persen.
Swasembada beras
Program swasembada beras kembali digulirkan pemerintahan periode sebelumnya dan saat ini. Untuk meningkatkan ketahanan pangan berbasis beras, dirintis pembuatan beras dari bahan nonberas yang disebut beras analog. Pembuatan beras analog meliputi pencampuran bahan-bahan baku, pengadonan, pragelatinasi, pencetakan atau ekstruksi, dan pengeringan.
content
Institusi yang mengembangkan teknik pembuatan beras analog antara lain Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi serta Institut Pertanian Bogor.
Di BPPT, menurut Nenie Yustiningsih, Direktur Pusat Teknologi Agroindustri BPPT, teknik pembuatan beras analog dimulai 2013. Untuk membuat beras tiruan, dilakukan modifikasi mesin yang selama ini untuk membuat mi dan makaroni.
Beras yang dicetak berupa bulat memakai teknik granular dan yang lonjong dihasilkan dari teknik ekstruder atau pencetakan. Mesin ekstruder dikembangkan dalam tiga kapasitas, yakni 20 kilogram, 200 kilogram, dan 500 kilogram per hari. Lama operasi 8 jam per hari.
Pembuatan beras tiruan terdiri atas delapan tahap, mulai dari pencampuran, pengadukan, pengulenan atau pengadonan, pendinginan, pencetakan, pengeringan dengan oven, pendinginan dengan udara, dan terakhir dipoles atau digosok agar permukaan beras halus.
Selain proses yang umum digunakan, menurut Agus Tri Putranto, Kepala Bidang Teknologi Pangan dan Hortikultura Pusat BPPT, timnya memperkenalkan proses pra-gelatinasi, yakni agar produk nonberas atau nonterigu, seperti jagung, sagu, dan singkong, tergelatinasi. Pengubahan menjadi gelatin mempermudah pembentukannya saat dicetak jadi beras.
Kini pengembangan mesin ekstruder di BPPT dilakukan untuk meningkatkan rendemen yang masih rendah, sekitar 30 persen, menjadi 60 persen.
Desiminasi teknologi
Saat ini ada tujuh kabupaten yang jadi binaan BPPT untuk pembuatan beras analog, yaitu Grobogan, Temanggung, Wonogiri, Yogyakarta, Kebumen, Indramayu, dan Pati. Grobogan berbasis jagung, sedangkan Wonogiri berbasis singkong. Kajian teknologi produksi besar analog dimulai pada 2012, yang awalnya untuk memproduksi mi berbahan baku lokal, seperti jagung, sagu dan singkong.
Pada 2013, dilakukan diseminasi teknologi pembuatan beras analog di empat kabupaten di Jawa Tengah. Khusus untuk Wonogiri, dibuat mi dari singkong, sedangkan pembuatan beras berbasis sagu dilakukan di Kepulauan Meranti (Riau) dan Sorong Selatan (Papua Barat).
Dari Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, saat ini ada sekitar 50 usaha kecil menengah di daerah yang akan dibantu untuk pembuatan alat. Pengolahan sagu belum terbukti baik karena masih lengket. Untuk itu, pemanasannya dikurangi. Di Universitas Semarang, sagu dicampur dengan kacang merah.
Beras dari sagu akan dikembangkan karena potensi sagu yang melimpah atau nomor tiga terbesar dunia dan punya indeks glikemik rendah atau pelepasannya jadi gula darah. Beras dari padi IG 70-80, jagung dan singkong 35-40 IG, sedangkan sagu 28 IG. Penggunaan sagu berwarna putih saat dicetak lebih menyerupai beras.
Untuk fortifikasi beras, bisa ditambahkan tepung ikan demi meningkatkan kadar protein. Tujuannya, agar bisa langsung dimasak jadi nasi gurih.–YUNI IKAWATI
———————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Juni 2015, di halaman 14 dengan judul “Beras Tiruan Pun Ambil Peran”.