Lokasi pembangunan ibu kota negara baru di Kalimantan Timur berada di daerah sensitif. Pembangunan agar dilakukan secara hati-hati mengedepankan aspek lingkungan, sosial, dan budaya.
Lokasi rencana pembangunan ibu kota negara baru di wilayah Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, berada di daerah sensitif, baik ekosistem maupun modal sosial setempat. Pemerintah agar mengedepankan prinsip kehati-hatian melalui kajian lingkungan dan sosial yang matang agar tak menimbulkan permasalahan baru di masa mendatang.
Peneliti Senior Pusat Penelitian Biologi LIPI Joeni Setijo Rahajoe mengatakan, di lokasi pembangunan ibu kota negara (IKN) baru terdapat ekosistem mangrove, karst, riparian, sungai, dan hutan dipterokarpa (meranti-merantian) campuran. Diperkirakan di lokasi tersebut terdapat 34 jenis mangrove dan 527 jenis tumbuhan bermanfaat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ekosistem esensial setempat seperti mangrove harus tetap dijaga karena merupakan habitat fauna yang bernilai tinggi seperti udang air tawar. Mangrove juga berguna untuk tempat pemijah dan penahan abrasi air laut serta erosi.
Selain itu, lokasi IKN juga diperkirakan menjadi daerah jelajah fauna penting dan dilindungi seperti bekantan, orangutan, pesut, dugong, beruang hitam, lumba-lumba, dan penyu hijau. Bahkan, daerah tersebut kemungkinan menjadi habitat bekantan karena satwa ini hidup di hutan yang masih dipengaruhi pasang surut air laut sampai bukit tepi sungai.
”Daerah jelajah satwa ini sangat luas dan harus diperhatikan ketersedian pakan untuk mereka. Jadi, pembangunan tidak hanya memikirkan aspek untuk manusia, tetapi juga dari satwanya,” ujar Joeni dalam webinar bertajuk ”Ibu Kota Negara yang Inklusif”, Kamis (9/7/2020).
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO—Presiden Joko Widodo bersama Gubernur Kalimantan Timur Isran Noor meninjau lokasi calon ibu kota negara di kawasan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Selasa (17/12/2019). Presiden berharap pemindahan ibu kota tidak sekadar memindahkan fisik kantor atau gedung pemerintahan dari Jakarta.
Melihat keanekaragaman hayati di lokasi tersebut, Joeni menegaskan bahwa pembangunan IKN harus memperhatikan aspek lingkungan secara detail. Selain merusak ekosistem, pembangunan yang tidak memperhatikan aspek lingkungan akan membuat IKN mengalami dampak erosi tanah, sedimentasi, hingga pencemaran dan penurunan kualitas air sungai.
Strategi mengembangkan kawasan hijau dan lestari dapat dilakukan dengan membuat 75 persen lokasi IKN menjadi daerah penyangga. Kawasan yang akan diperuntukkan sebagai daerah penyangga merupakan kawasan perluasan seluas 256.124 hektar yang berada di luar area inti pusat pemerintahan.
Sementara pada area inti seluas 56.180 hektar juga perlu diperbanyak ruang terbuka hijau (RTH) minimal 50 persen dari total kawasan. RTH dapat berupa cagar alam, koridor ekologis, koridor hijau, taman hutan rakyat, atau kebun raya.
Konflik sosial
Kepala Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Herry Yogaswara menyatakan, pembangunan IKN memiliki risiko masalah sosial seperti tumpang tindih kepemilikan dan batas tata guna tanah, hilangnya identitas masyarakat asli dan kesempatan kerja. Masalah tersebut pada akhirnya berpotensi menciptakan konflik sosial meski titik lokasi pembangunan IKN baru sudah jelas dan ditentukan.
KOMPAS/SUCIPTO—Pemandangan di kawasan hutan tanaman industri PT ITCI Hutani Manunggal di Kelurahan Pemaluan, Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Sabtu (22/2/2020). Ibu kota negara baru direncanakan akan dibangun di sekitar wilayah ini.
Konflik sosial berpotensi semakin tinggi karena di wilayah tersebut terdapat keragaman etnis hingga klaim-klaim kesultanan. Klaim organisasi berbasis etnis dan agama itu dilakukan untuk mendapatkan posisi-posisi penting atau keuntungan dari proyek pembangunan IKN.
Guna mengurangi potensi konflik sosial, Herry menilai, pembangunan IKN baru harus memastikan hak-hak masyarakat lokal terkait sumber daya alamnya dan status legal tanah yang akan digunakan. Pembangunan juga perlu mempersempit ruang kelompok yang mengatasnamakan identitas etnis atau agamanya dari klaim penguasaan atas ruang hidup.
”Perlu ada ruang yang lebih besar untuk dialog dengan kelompok masyarakat adat atau perempuan dan kelompok lain yang selama ini suaranya mungkin belum terwakilkan,” ujarnya.
Hal senada diungkapkan Peneliti Senior Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) IPB University Ernan Rustiadi. Selain memberikan keberpihakan kepada masyarakat lokal, dalam mencegah terjadinya konfik sosial juga perlu menguatkan pendekatan advokasi.
KOMPAS/SUCIPTO—Ilustrasi. Suku Dayak Bahau Umaq Lakuwe sedang mengumpulkan kayu bakar untuk kegiatan makan bersama di tepi Sungai Danum Usan, anak Sungai Mahakam, di Desa Liu Mulang, Kecamatan Long Pahangai, Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur, Selasa (10/12/2019).
Direktur Tata Ruang dan Pertanahan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Uke Mohammad Hussein menyatakan, konflik sosial memang berpotensi terjadi seiring perpindahan penduduk dalam jumlah besar ke wilayah IKN baru. Hal ini dapat menyebabkan perubahan penggunaan lahan secara cepat dan masif.
Dalam memitigasi konflik sosial ini, menurut Uke, di lokasi IKN telah dilakukan pemetaan potensi konflik pertanahan dan membuat inventarisasi penguasaan, kepemilikan, penggunaan, serta pemanfaatan tanah. Upaya tersebut diperkuat dengan menjamin kepastian hukum hak atas tanah masyarakat.
”Instrumen memitigasi konflik pertanahan ini adalah dengan pemberian sertifikat tanah dan reforma agraria. Instrumen lainnya ialah membentuk lembaga penyediaan tanah untuk menghindari spekulan tanah,” ungkapnya.
Oleh PRADIPTA PANDU
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 9 Juli 2020