Kebocoran radiasi di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima Daiichi akibat gempa dan tsunami yang melanda Jepang pada 2011 masih menyisakan banyak masalah. Meski sebagian area sudah dinyatakan bersih dari radiasi berbahaya, masyarakat belum mau kembali.
“Masalah sosial dari dampak psikologis masyarakat akibat kebocoran nuklir lebih sulit diatasi ketimbang persoalan keteknikannya,” kata Tatsuro Matsumura dari Japan Atomic Energy Agency, yang ditemui wartawan Kompas,Ahmad Arif, di Fukushima, Jepang, Senin (9/11).
Menurut Tatsuro, tiga desa di sekitar Fukushima sudah dinyatakan bersih dari kontaminasi radiasi nuklir dan Pemerintah Jepang mengizinkan warganya untuk kembali. “Namun, sedikit warga yang mau pulang, terutama anak muda dan keluarga yang punya anak kecil,” katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Gempa berkekuatan M9 diikuti tsunami melanda pantai timur Jepang pada 11 Maret 2011. Selain menimbulkan kerusakan masif di Tohoku, itu juga memicu kebocoran radiasi nuklir.
Kebocoran radiasi saat itu terutama berupa Yodium131 yang memiliki waktu paruh 8 hari, Sesium134 dengan waktu paruh 2 tahun, dan Sesium137 yang waktu paruhnya 30 tahun. Kebocoran radiasi itu diklasifikasikan International Nuclear Event Scale pada Level 7, yang merupakan tertinggi setelah kebocoran radiasi di Chernobyl pada 1986.
Belakangan, kekhawatiran itu dianggap berlebihan. Riset terbaru dari UNSCEAR (Komite Ilmu tentang Efek Radiasi di Perserikatan Bangsa-Bangsa) tahun 2014 menemukan, jumlah pemancaran radiasi pada warga Fukushima tahun pertama setelah kecelakaan dan perkiraan jumlah selama hidupnya digolongkan rendah atau amat rendah. Jadi, dampak kebocoran radiasi pada kesehatan, seperti kanker, bagi warga Fukushima dinilai kecil.
Trauma berkepanjangan
Namun, dampak sosial dan efek trauma dari bencana itu lebih parah dan sulit diatasi. Data dari Pemerintah Perfektur Fukushima menunjukkan, jumlah korban tewas saat gempa, tsunami, dan kebocoran radiasi di Fukushima 1.828 orang. Adapun jumlah korban meninggal setelah bencana akibat stres dan penurunan kesehatan karena tinggal di pengungsian 2.013 orang.
Korban yang selamat dari bencana hingga kini enggan kembali. Data Pusat Informasi Dekontaminasi Kementerian Lingkungan Hidup Jepang menunjukkan, pada 2013 ada 8,1 juta warga Fukushima masih mengungsi. “Saat ini 7 juta jiwa mengungsi,” kata Saburo Murakami, penasihat teknis di Pusat Informasi Dekontaminasi.
Dari 47 desa di sekitar Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima, dua desa akan dikosongkan permanen karena tingkat pencemaran terlalu tinggi sehingga sulit dibersihkan, yakni Futabachi dan Okumamachi. “Kini, masih diskusi dengan warga soal ganti rugi karena sebagian belum setuju,” ujarnya.
Sementara desa-desa lain secara bertahap akan dibersihkan. Selain di ruang publik dan rumah, pembersihan juga dilakukan di lahan pertanian yang jadi sumber penghidupan warga di kawasan itu. Pencemaran Sesium137 itu jadi perhatian besar karena tanah yang tercemar tak bisa untuk bercocok tanam lagi dalam waktu lama sehingga lapisan tanahnya diambil dan diganti lapisan tanah baru.
“Ada 22 juta karung berisi tanah yang tercemar radiasi. Tanah itu harus ditimbun setidaknya 30 tahun, sesuai lama peluruhan Sesium137,” ucapnya.
Kompleksitas penanganan dampak kebocoran radiasi di Fukushima itu, menurut peneliti dari Pusat Kajian Wilayah Asia Universitas Rikkyo, Yoko Takafuji, bisa menjadi pelajaran bagi Indonesia yang berencana membangun PLTN. Risiko bencana, secara teknis dan sosial, perlu diperhitungkan dengan baik, mengingat Indonesia dan Jepang punya kerentanan gempa.
———————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Mei 2016, di halaman 14 dengan judul “Dampak Sosial Kebocoran Nuklir Sulit Diatasi”.