Satwa liar seperti kelelawar menjadi inang alami bagi virus. Peneliti IPB University menemukan belasan virus pada kelelawar dan tikus liar di empat provinsi di Sulawesi, termasuk virus korona.
Belasan virus, baik yang sudah dikenali sebelumnya maupun jenis virus yang baru, ditemukan pada kelelawar dan tikus liar di empat provinsi di Sulawesi, termasuk di antaranya virus korona. Belajar dari infeksi virus korona baru dari Wuhan, China, masyarakat disarankan untuk membatasi interaksi dengan satwa liar dan tidak mengganggu habitat alaminya.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA–Kelelawar atau paniki yang telah dibakar dan dijual untuk diolah kembali di Pasar Beriman, Kota Tomohon, Sulawesi Utara, Sabtu (10/8/2019). Penelitian menemukan, kelelawar menjadi inang alami berbagai virus yang bisa berbahaya bagi manusia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Satwa liar seperti kelelawar menjadi reservoar atau inang alami bagi virus. Hewan ini sekalipun terinfeksi virus secara alami, tidak menunjukkan gejala klinis karena memiliki mekanisme kekebalan yang menyebabkan toleransi. Meski demikian, virusnya bisa saja menjadi berbahaya pada manusia atau hewan lain,” kata peneliti Pusat Studi Satwa Primata Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat IPB University, Joko Pamungkas, dalam diskusi di Bogor, Jumat (31/1/2020).
Joko yang menjadi Koordinator PREDICT-Indonesia 2014-2019 telah melakukan sampling terhadap kelelawar dan rodensia (tikus liar) di Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Barat dari tahun 2016 hingga 2018. Dalam survei ini ditemukan 13 virus baru dan 17 virus yang ditemukan dalam survei periode sebelumnya.
Adapun sampling yang dilakukan pada 2012-2013 terhadap lebih dari 400 satwa liar dari 3 taxa, yaitu satwa primata, rodensia, dan kelelawar, menemukan 14 virus baru dan 6 virus yang telah diketahui sebelumnya. Beberapa virus tersebut, di antaranya Paramyxoviruses, Coronaviruses, Astroviruses, Rhabdoviruses, dan Herpesviruses.
”Virus korona yang ditemukan di kelelawar di Indonesia ini tidak sama dengan yang di China. Pohon kekerabatannya juga masih jauh dari yang menginfeksi manusia. Tetapi potensinya tidak bisa dikesampingkan dan tetap ada. Tentu kita berharap tidak terjadi, tetapi karena virus bisa bermutasi, sangat mungkin di saat lain bisa ditemukan virus yang berbahaya bagi manusia,” tuturnya.
Interaksi yang intens dengan satwa liar, khususnya kelelawar, bisa meningkatkan risiko kasus zoonosis, yaitu penularan virus yang menginfeksi binatang ke manusia. ”Kalau bersinggungannya dengan daging (satwa) yang sudah masak, mungkin aman. Namun, sebelum itu, dari pemburuan, pengepul di dekat rumah bisa membahayakan keluarga dan tetangga, transportasi, hingga pasar akan meningkatkan risiko penularan virus,” ujarnya.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA–Kesibukan berbelanja berbagai macam daging eksotis, seperti kelelawar, ular, tikus dan babi, menjelang perayaan Pengucapan Syukur di Pasar Beriman, Kota Tomohon, Sulawesi Utara, Sabtu (10/8/2019). Semakin langka jenis gading yang dimasak menjadi keunikan dan buruan tamu yang datang saat pesta.
Hal senada juga disampaikan oleh Kepala Divisi Patologi Fakultas Kedokteran Hewan dan Peneliti Pusat Studi Biofarmaka Tropika IPB University Bambang Pontjo Priosoeryanto. ”Merebaknya kasus 2019-nCoV mengindikasikan bahwa peran hewan sebagai salah satu sumber virus menjadi hal yang sangat penting untuk mencegah infeksi penyakit menular,” ujarnya.
Dia menambahkan, 60 persen dari penyakit patogen bersifat zoonotik yang ditularkan dari hewan dan 80 persen adalah multi-host, bisa menjangkiti manusia atau hewan. Selain itu, 75 persen dari penyakit-penyakit yang baru muncul berawal dari hewan.
”Sejak tahun 1940 ditemukan 335 penyakit baru, di mana 60,3 persen merupakan zoonosis dan 71,8 persen berawal dari satwa liar,” ujarnya.
Menurut Bambang, eksploitasi alam yang berlebihan sehingga menimbulkan ketidakseimbangan lingkungan akan meningkatkan risiko penularan penyakit berbahaya. ”Hutan dan lahan yang tadinya tidak bersentuhan dengan kehidupan manusia menjadi sangat terbuka sehingga hewan, termasuk mikroba yang menginfeksinya dan mikroba nonpatogen, memiliki kesempatan untuk berubah menjadi sangat patogen. Dampaknya bisa menimbulkan penyakit serius, baik pada manusia maupun pada hewan lain,” ujarnya.
Pencegahan dini
Sebagai negara yang memiliki keragaman hayati tinggi, populasi virus pada satwa liar di Indonesia juga sangat tinggi. Oleh karena itu, Joko menyarankan pemerintah melakukan surveilans, baik pada manusia maupun pada satwa liar secara periodik. Hal ini diharapkan dapat memantau keberadaan virus-virus yang berpotensi ditularkan ke manusia maupun hewan ternak dari satwa liar sehingga dapat dicegah kejadian perpindahan dari satwa liar ke manusia atau hewan ternak.
Guru Besar Departemen Biologi IPB University Sri Budiarti mengatakan, virus korona galur baru di Wuhan ini sebagai virus yang sebelumnya ada di hewan, tetapi kemudian menginfeksi manusia. Secara umum pasien korona virus ini meninggal karena adanya komplikasi pneumonial dan pembengkakan pada paru-paru. Respons inflamasi pada saluran pernapasan menjadikan bronkus paru-paru penderita dipenuhi dengan lendir sehingga menjadikan paru-paru bengkak dan penderita sulit bernapas.
Pencegahan infeksi korona virus secara umum dapat dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya menghindari kontak dengan pasien yang terjangkit. Selain itu, kita sebaiknya menghindari kontak dengan binatang liar, termasuk mengonsumsi daging yang belum matang, secara rutin mencuci tangan dengan sabun ketika masak atau melakukan aktivitas lainnya, membiasakan hidup bersih dengan mandi secara rutin dan teratur, menutup mulut dengan tisu atau sapu tangan ketika bersin dan batuk, serta menggunakan masker untuk menghindari bersin dan batuk-batuk dari penderita.
Oleh AHMAD ARIF
Editor YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 1 Februari 2020