Pemerintah diminta mengatur persentase kontaminan yang diperbolehkan dalam impor material bahan baku daur ulang. Persentase ini diperlukan sebagai acuan bersama bagi aparat ataupun importir dan eksportir dalam menjaga kualitas material.
Material dalam kondisi bersih 100 persen dinilai tak mungkin karena di negara asalnya yang telah menerapkan pemilahan sekalipun, bahan daur ulang plastik dan kertas tak bebas dari pengotor. Penerapan persentase yang semakin ketat itu pun diminta berdasarkan tahapan waktu tertentu dengan menyesuaikan kemampuan industri.
AFP/ LUCAS BARIOULET–Deretan ban berjalan membawa sampah warga di pusat penyortiran Syctom, saat fasilitas pemilahan sampah di Paris Perancis itu diresmikan 6 Juni 2019. Fasilitas ini mempunyai kapasitas 45.000 ton dan dapat mendaur ulang sampah dari 900.000 penduduk Paris dan kota-kota tetangga.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Industri jelas rugi kalau yang diimpor banyak sampahnya,” kata Liana Bratasida, Direktur Eksekutif Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI), Rabu (12/6/2019), di Jakarta.
Ia mengatakan, impor bahan baku daur ulang terpaksa dilakukan karena pasokan dalam negeri belum memenuhi kebutuhan industri daur ulang kertas. Padahal, potensi aneka jenis sampah kertas—termasuk karton dan kardus—dari dalam negeri sangat besar.
Hanya saja, sampah tersebut menjadi tak bernilai karena terlalu kotor atau bercampur dengan sampah dapur/basah. ”Pemilahan dan pengumpulan sampah harus dibenahi. Bikin sanksi yang baik dan dijalankan,” kata Liana.
Menurut dia, di Indonesia terdapat 88 perusahaan pulp dan kertas yang 70 di antaranya bergabung ke APKI. Dari jumlah tersebut, 50 perusahaan menggunakan bahan baku kertas bekas. Adapun 20-25 perusahaan, yang sebagian berkategori perusahaan kecil menengah, menggunakan 100 persen kertas bekas.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA–Berbagai jenis sampah plastik dipisahkan sesuai jenis dan warnanya sebelum dicacah dan dibersihkan di Desa Kalirejo, Kecamatan Ungaran Timur, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, 23 April 2019.
Karena itu, ia mengharapkan revisi Peraturan Menteri Perdagangan atau Permendag Nomor 31 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non-bahan Berbahaya dan Beracun tidak diperlakukan secara tiba-tiba. Ia meminta industri dilibatkan dalam pembahasan persentase dan penerapan batas waktu menuju impor material daur ulang yang bersih. Industri membutuhkan masa peralihan untuk mempersiapkan teknologi dan perencanaan bisnis.
Dihubungi di Tokyo, Jepang, dalam rangka pertemuan pejabat senior G-20, Dirjen Pengelolaan Sampah dan Limbah Bahan Beracun Berbahaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rosa Vivien Ratnawati mengatakan belum ada pengaturan persentase kontaminan, tetapi pihaknya mengkaji hal tersebut.
Dalam jawaban tertulis, Syarif Hidayat, Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar-lembaga Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, menyatakan, dalam rapat revisi Permendag No 31/2016 bersama kementerian lain, pihaknya menyampaikan pendapat untuk melarang impor limbah non B3 berupa plastik.
”Selain itu, importasi limbah non-B3 wajib dipisah (homogen) dan tidak mengandung polutan. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai juga meminta memperjelas kriteria barang yang bukan berasal dari landfill atau tidak berupa sampah,” ungkapnya.
Yuyun Ismawati, pendiri Yayasan Balifokus/Nexus3, juga mendukung persentase kontaminan ditegaskan pemerintah dalam peraturan. Ia menyebut angka toleransi kontaminan untuk China saat ini mencapai 0,5 persen dan Australia 2 persen. Ia meminta peran Bea dan Cukai diperkuat di lapangan.–ICHWAN SUSANTO
Editor A TOMY TRINUGROHO
Sumber: Kompas, 13 Juni 2019