Dibutuhkan Komitmen untuk Kendalikan Anak agar Tak Kecanduan
Banyak orangtua terlena dengan perkembangan gawai yang canggih dan kurang memahami teknologi digital. Kecanggihan gawai yang memberikan kemudahan dan cara praktis mengakses informasi, telah membuat banyak orangtua mengesampingkan dampak negatif penggunaan gawai.
“Saat ini komitmen orangtua untuk mengendalikan anak agar tidak kecanduan bermain gawai sangat dibutuhkan,” kata psikolog Vera Itabiliana Hadiwidjojo, Selasa (24/7/2018).
Vera berpendapat, informasi pendidikan, pengetahuan, dan hiburan semuanya bisa didapat dari gawai. Padahal, kata Vera, masih ada media lain seperti buku dan mainan yang secara fisik. Bermain di luar bersama teman-teman juga bisa menambah pengetahuan. Harus ada kegiatan yang bisa dilakukan agar anak tidak hanya berfokus pada gawai.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Masalah lainnya, masih banyak orangtua menganggap enteng dalam membatasi penggunaan gawai pada anak-anak dan pada gilirannya membiarkan anak-anak mereka bermain gawai. Orangtua tidak memberlakukan aturan yang tegas sejak awal tentang pengaturan durasi yang pasti dalam penggunaan gawai untuk anak, apa yang boleh dilihat, dan kapan anak boleh menggunakan gawai.
FRANSISCA NATALIA ANGGRAENI UNTUK KOMPAS–Acara “Moms Media Gathering” di Lalla Restaurant, Jakarta Selatan, Selasa (24/7/2017). Novita Angie (kiri) dan Vera Hadiwidjojo (kanan).
Seperti diwartakan Kompas Senin (23/7/2018), anak yang rentan mengalami kecanduan gawai pada rentang usia 13 tahun–18 tahun. Penggunaan gawai pada anak dan remaja yang lebih dari tiga jam dalam sehari dapat menyebabkan kecanduan. Bahkan kecanduan main gim masukdalam gangguan kesehatan jiwa atau gangguan permainan (gaming disorder).
Penguasaan teknologi dan upaya menanggulangi
Memberikan aturan atau membatasi anak terhadap penggunaan gawai membutuhkan upaya yang ulet. Gawai, termasuk laptop dan televisi diciptakan agar penggunanya betah dan tentu saja berisiko pada sifat adiktif.
Selain itu, koordinasi untuk mendidik anak terkait pembatasan gawai harus sama antara ayah dan ibu. Orangtua bertanggung jawab penuh selama anak itu masih di bawah umur 18 tahun.
Sementara itu, orangtua juga mesti menguasai dan mengenal apa saja aplikasi atau situs yang yang ada di internet. Pastikan semua pihak mengerti untuk dapat mengendalikan bahkan menghentikan teknologi tersebut. “Jika orangtua sendiri tidak menguasai tentang teknologi ya jangan kasih anak sesuatu yang mereka sendiri tidak bisa mengontrolnya,” jelas Vera.
Melarang sepenuhnya penggunaan gawai juga bukan jalan keluar yang tepat. Beberapa sekolah malah memanfaatkan kemajuan teknologi tersebut untuk mendukung proses belajar mengajar seperti pemeberian tugas rumah melalui email, ditambah ada gerakan paperless.
“Sampaikan sejak awal tentang konten-konten yang tidak boleh diakses dan mana yang boleh diakses. Jelaskan akibatnya apa, misalnya, otak orang yang nonton video porno mengecil,” ujarnya.
Sama halnya yang diungkapkan oleh selebritas Novita Angie bahwa ada waktu-waktu yang sudah diatur untuk penggunaan gawai kepada anaknya. Ia tidak melarang anaknya menggunakan gawai, bahkan memperbolehkan membawa gawai saat ke sekolah. “Tapi setelah pulang, aturannya mereka harus memberikan ponselnya ke orangtua,” jelasnya.
Selain itu, Angie juga memberlakukan peraturan bahwa mengisi ulang baterai handphone harus di dalam kamar orangtua. Pada hari Minggu, Novita memberlakukan aturan “hari tanpa gawai” sehingga waktu kumpul keluarga lebih berkualitas.
“Dijelasin aja dengan santai. Setiap rumah punya aturannya masing-masing. Ada yang membebaskan, ada yang diatur, kita gak boleh membandingkan atau menyamakan caranya,” kata Angie.
Pendapat psikolog Vera Itabiliana Hadiwidjojo dan selebritas Novita Angie disampaikan dalam acara “Parents Media Gathering: Kupas Tuntas Tantangan Orangtua Baru di Era Digital”. Acara yang berlangsung di Lalla Restaurant, Jalan Gatot Subroto-Jakarta Selatan menghadirkan juga Director of FMCG, Lazada Indonesia Tiffani Sionader.
Tiffani Sionader menmbahkan, dengan bantuan teknologi, pekerjaan ibu lebih dimudahkan. Proses belanja lebih efektif melalui onlineshop karena mempersingkat waktu dan ibu bisa mendapatkan quality time dengan sang anak. (FRANSISCA NATALIA ANGGRAENI)–ADHI KUSUMAPUTRA
Sumber: Kompas, 24 Juli 2018
———————-
Gawai dan Konten Internet untuk Anak Akan Dibatasi
Fenomena kecanduan gawai pada anak saat ini menjadi perhatian pemerintah. Pembatasan penggunaan gawai pada anak, termasuk membatasi konten dan informasi yang tidak layak bagi anak, merupakan salah satu langkah yang akan ditempuh pemerintah untuk melindungi anak dari adiksi atau kecanduan pada gawai.
Pemerintah tengah menyusun kebijakan pembatasan penggunaan gawai di sekolah. Bentuknya nanti berupa kesepakatan bersama antara Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Kementerian Agama, serta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo).
“Poin penting dari kesepakatan bersama tersebut adalah adanya imbauan untuk satuan pendidikan (sekolah dan madrasah) untuk melarang peserta didik membawa gawai ke sekolah,” ujar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Susana Yembise, Selasa (24/7/2018), ketika dihubungi Kompas di Jakarta.
Menurut Yohana, pembatasan gawai pada anak sangat penting karena ada banyak kasus dampak negatif penggunaan gawai pada anak-anak, seperti kecanduan pornografi, berpengaruh pada kesehatan, kesulitan berkonsentrasi, hingga menurunkan prestasi belajar.
Selain larangan membawa gawai ke sekolah, kesepakatan tersebut juga menyangkut langkah Kemkominfo untuk melakukan integrasi penggunaan internet sehat di satuan pendidikan dengan membuat materi tentang cara penggunaan gawai yang benar seri anak dan orangtua.
SATRIO NUSANTORO–Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara.
Kategorisasi usia
Menteri Kominfo Rudiantara sepakat jika ada kebijakan pembatasan penggunaan gawai di kalangan anak-anak untuk melindungi anak-anak dari kecanduan gawai. “Bagus untuk diterapkan, demi kepentingan yang lebih besar. Kebijakan ini harus terintegrasi bersama Menteri PPPA dan Mendikbud. Setidaknya dari Kominfo sudah melakukan kategorisasi usia bagi pengguna gim daring,” ujarnya.
Kategori usia pengguna gim daring diatur dalam Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Nomor 11 Tahun 2016 tentang Klasifikasi Permainan Interaktif Elektronik. Pada permen ini pengguna gim daring dibagi dalam kelompok usia 3 tahun, 7 tahun, 13 tahun, 18 tahun, dan semua kelompok umur.
Misalnya, konten untuk usia 3 tahun antara lain tidak boleh memperlihatkan tulisan atau gambar yang berhubungan dengan rokok, minuman keras, dan narkoba, kekerasan, tidak menggunakan bahasa kasar atau humor dewasa, dan tidak menampilkan adegan dengan tujuan menimbulkan hasrat seksual. Pada usia ini, gim tidak boleh memiliki fasilitas interaksi dalam jaringan berupa percakapan, multipemain, dan pertukaran data, serta harus didampingi orangtua.
Untuk akses media sosial, Kemkominfo juga membatasi usia penggunanya, antara lain usia 13 tahun (Facebook, Twitter, dan Instagram), 16 tahun (WhatsApp), dan 18 tahun (YouTube). Penggunaan YouTube di bawah usia 18 tahun harus didampingi orangtua.
Peta jalan perlindungan
Pemerintah juga menyusun peta jalan perlindungan anak di internet. Tujuannya, kata Sekretaris Direktorat Jenderal Aplikasi dan Informatika Kemkominfo Mariam Fatima Barata, antara lain untuk mengidentifikasi risiko dan titik-titik rentan bagi anak dan remaja di dunia maya, membangun kesadaran literasi digital melalui berbagai media, mengembangkan perangkat praktis untuk mengurangi risiko internet, serta membagikan pengetahuan dan pengalaman agar perlindungan bisa diimplementasikan secara konkret.
Peta jalan perlindungan ini juga bertujuan untuk meningkatkan pengawasan dan memudahkan pelaporan ketika terjadi indikasi atau peristiwa kejahatan siber pada anak dan remaja. “Peta jalan perlindungan ini masih perlu pembahasan dan pengembangan lebih lanjut,” katanya.
Mariam juga mengakui langkah pemblokiran konten-konten negatif yang selama ini dilakukan Kemkominfo tak menyelesaikan masalah bahaya yang terkait penggunaan internet dalam gawai.
Di Kemendikbud, informasi dan panduan tentang penggunaan gawai pada anak disampaikan pada laman sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id. Kemdikbud juga mendorong penguatan pendidikan keluarga melalui sekolah. Caranya, dengan memberikan bimbingan teknis kepada sekolah agar bisa mendorong orangtua berperan aktif melindungi anak-anak dalam penggunaan gawai. Orangtua diundang dalam pertemuan dengan materi-materi terkait penggunaan gawai pada anak.
“Para orangtua harus punya bekal untuk memahami soal internet agar memahami dampak positif dan negatif,” ujar Direktur Pembinaan Pendidikan Keluarga, Kemdikbud, Sukiman.
KOMPAS/RIZA FATHONI (RZF)–Aplikasi kontrol gawai memudahkan orangtua menyeleksi aplikasi dan gim tertentu yang aman bagi anak-anak.
Buku panduan
Terkait hal tersebut, berdasarkan Kajian Dampak Penggunaan Media Sosial Bagi Anak Dan Remaja yang dilakukan Pusat Kajian Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia tahun 2017, pemerintah dalam hal ini KPPA perlu menyusun buku panduan bermedia sosial bagi anak untuk anak-anak, orangtua, dan sekolah. Agar mendapatkan model yang implementatif, buku panduan ini harus mengacu pada mengenai praktik dan dampak bermedia sosial pada anak.
Kajian tersebut juga menunjukkan bahwa orangtua, pemerintah, industri, organisasi pendidikan, perangkat hukum dan keamanan, anak dan remaja, tidak dapat menyebutkan secara sistematis mekanisme perlindungan yang ideal bagi anak dan remaja ketika mengakses media sosial. Bahkan, pihak tersebut kurang menganggap perlu usaha preventif media sosial untuk melindungi anak dan remaja.
Kebanyakan menyebutkan Kemenkominfo merupakan pihak yang paling kompeten untuk menciptakan mekanisme perlindungan, karena diangggap sebagai lembaga yang memiliki otoritas pengawasan konten dan mekanisme akses pada media sosial.
Data studi tersebut juga menunjukkan bahwa fokus pada mekanisme formal perlindungan dan pendampingan korban tidak menjadi perhatian. Orang tua dan guru masih disebut sebagai pihak yang bertanggung jawab pada perlidungan dan pendampingan anak dan remaja. Padahal, jika terjadi korban karena aktivitasnya di media sosial, masyarakat membutuhkan sistem formal yang lebih komprehensif, yang melibatkan aparat keamanan, aparat hukum, institusi kesehatan, dan institusi sosial.(Deonisia Arlinta//Laraswati Ariadne Anwar/Ester Lince Napitulu)–SONYA HELLEN SINOMBOR
Sumber: Kompas, 25 Juli 2018
————————
Literasi Digital Harus Lebih Masif dan Luas
KOMPAS/LUCKY PRANSISKA (UKI)–Anak-anak menonton video melalui kanal youtube di perangkat tablet, Sabtu (21/2).
Kurangnya pemahaman anak menggunakan gawai secara benar dan minimnya kecakapan literasi digital orangtua menyebabkan anak mudah terpapar konten negatif lewat internet.
Banyak masyarakat yang belum memahami bagaimana memanfaatkan gawai yang terhubung dengan jaringan internet secara benar. Upaya untuk melakukan advokasi masyarakat tentang cara pemanfaatan gawai secara benar harus lebih masif dan menjangkau masyarakat luas.
Adiyat Yori Rambe, pegiat Sudah Dong, organisasi yang mengajak masyarakat melawan perundungan dalam jaringan, mengatakan, pendidikan yang efektif adalah dengan mendatangi sekolah-sekolah untuk bertemu langsung dengan anak-anak. Sudah Dong bekerja sama dengan perusahaan media sosial Facebook melakukan hal itu di lima kota, yaitu Banjarmasin, Makassar, Bandung, Banda Aceh, dan Surabaya.
“Salah satu alasan anak senang bermain gawai, terutama media sosial adalah karena anonimitas. Pengguna media sosial bisa membuat akun palsu dan mengekspresikan semua yang ada di pikiran mereka tanpa memedulikan norma sosial,” kata Yori di Jakarta, Selasa (24/7/2018).
Salah satu alasan anak senang bermain gawai, terutama media sosial adalah karena anonimitas.
Anonimitas itu membuat anak merasa kebal sehingga mudah melontarkan kata-kata kasar kepada orang lain yang tidak mereka suka. Padahal, berdasarkan pengalaman Sudah Dong bertemu anak-anak yang melakukan perundungan, mereka mengaku tidak akan berani mengungkapkan pikiran negatif tersebut ketika berhadapan dengan orang lain.
“Hal pertama yang diintervensi bukan cara anak menggunakan gawai dan media sosial, tetapi pemahaman mereka tentang norma-norma sosial yang benar. Apapun mediumnya, baik komunikasi langsung dan tidak langsung, anak bisa mengekspresikannya secara positif,” kata Yori.
Kurangnya kesadaran anak tersebut diperparah dengan minimnya kesadaran orangtua bahwa anak mudah terpapar konten negatif lewat internet. Orangtua tidak mendampingi saat anak mengakses internet. Bahkan, banyak orangtua memberikan gawai dengan akses internet ke anaknya agar tak mengganggu kesibukannya.
“Kondisi ini menunjukkan kecakapan literasi digital orangtua masih minim sehingga rentan mengakibatkan penyalahgunaan internet oleh anak,” kata Ketua Umum Gerakan Nasional Literasi Digital Dedy Permadi di Jakarta, Senin (23/7).
Kecakapan literasi digital orangtua masih minim sehingga rentan mengakibatkan penyalahgunaan internet oleh anak.
Untuk itu, literasi digital mendesak untuk lebih masif digaungkan ke masyarakat luas, terutama kepada orangtua agar lebih bijak dan cakap menggunakan internet. Pemerintah pun diharapkan menyediakan akses internet yang aman bagi anak dan remaja sehingga mereka dapat bertisipasi secara positif di tengah masyarakat global.
Dedy menyatakan, untuk memastikan anak dan remaja memperoleh keuntungan yang maksimal dari internet, berbagai pihak perlu bekerja sama untuk mengurangi risiko internet. Salah satu bentuk kerja sama yang sudah berlangsung adalah melalui gerakan siber kreasi. Gerakan nasional ini melibatkan kementerian dan lembaga-lembaga terkait ini untuk memastikan keamanan berinternet pada anak dan remaja.
Gerakan yang dimulai tujuh bulan lalu ini sudah menjangkau 140 kota, dan 90.000 orang di Indonesia dilatih untuk berliterasi digital. “Kami berikan pemahaman untuk bisa cakap berliterasi digital. Cakap literasi digital tidak sekadar terampil secara teknis mengakses internet, tetapi juga mampu memfilter beragam informasi dan hiburan di internet. Pendampingan orangtua menjadi penting dalam hal ini,” katanya.
Cakap literasi digital tidak sekadar terampil secara teknis mengakses internet, tetapi juga mampu memfilter beragam informasi dan hiburan di internet.
Dedy menuturkan, melindungi anak di internet bisa dilakukan melalui berbagai cara. Misalnya, mengarahkan anak untuk lebih baik menggunakan “Kiddle” sebagai mesin pencari laman web dari pada Google. Dalam Kiddle, konten yang disajikan dipastikan sudah aman dan layak diterima anak.
Selain itu, ketika mengakses media sosial dan mengunduh permainan di gawai perlu dipastikan sudah sesuai dengan umur anak. Misalnya, Facebook dan Instagram yang baru bisa diakses untuk anak usia 13 tahun. Beberapa fitur pengaman juga bisa digunakan untuk memfilter konten-konten yang tidak layak diterima anak.
“Orangtua bisa mengakses laman web siberkreasi.id ataupun literasidigital.id untuk memperoleh berbagai informasi terkait cara bijak dan cakap berinternet. Selain itu, bagi komunitas dan sekolah yang ingin mendapatkan pengajaran atau arahan literasi digital secara gratis dapat mengajukan permohonan ke kami lewat email info@siberkreasi.id,” ujar Dedy.
Berinternet yang aman dan sehat
Secara terpisah, Ryan Rahardjo, Analis Senior untuk Kebijakan Publik dan Kerja Sama dengan Pemerintah dari Google Indonesia, mengatakan, Google telah menerbitkan tata cara penggunaan internet yang aman dan sehat. Tips-tips tersebut diunggah ke laman Googleblog.com.
“Di dalamnya mencakup cara melindungi privasi dan cara mengaktifkan fitur peramban (web browser) ramah anak,” tuturnya dalam surat elektronik yang diterima Kompas pada Selasa (24/7/2018).
Google juga bekerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta lembaga swadaya masyarakat End Child Prostitution Indonesia untuk mengembangkan modul literasi digital yang bisa diakses oleh orangtua, guru, dan anak. Materi-materinya mendidik orangtua mengenai tahap pengenalan gawai beserta pemanfaatannya dalam kehidupan anak, menggunakan gawai untuk memgoptimalkan pembelajaran di sekolah, dan mengajari anak supaya memahami risiko pemakaian gawai dan media sosial secara tidak bertanggung jawab.
“Khusus untuk media sosial Youtube, ada program yang menghimpun dan mengadvokasi para pengguna untuk menjadi pencipta konten yang bermutu,” papar Ryan. Program bernama Creators for Change tersebut diadakan di Indonesia, Australia, Malaysia, Filipina, dan Thailand. Prinsipnya, daripada menjadi penonton, anak-anak muda diajak menjadi pembuat konten untuk melawan persebaran berita palsu dan ideologi radikal.
Batas umur
Sementara itu, Kepala Bidang Kebijakan Publik Facebook Indonesia Ruben Hattari menyatakan perusahaannya menyaratkan batas umur termuda untuk membuka akun Facebook adalah 13 tahun. “Kalau ada laporan terkait satu akun, kami akan langsung memeriksa dan menganalisa profil terlapor. Apabila profil mengindikasikan pemilik akun belum berumur 13 tahun, akun akan diblokir Facebook hingga pemilik bisa membuktikan bahwa umur dia di atas 13 tahun,” tuturnya.
Ruben mengatakan, Facebook juga sudah memiliki berbagai portal untuk orangtua dan remaja tentang cara menggunakan media sosial untuk hal-hal positif. Di Indonesia, Facebook bekerja sama dengan Yayasan Cinta Anak Bangsa dan Sudah Dong untuk program bernama Think Before You Share.
“Intinya, setiap orang harus menyadari jenis-jenis hal yang boleh dan tidak boleh disebarluaskan ke publik,” ujarnya. Selain itu, Facebook juga mengimbau para pengguna untuk memanfaatkan layanan pengaduan apabila menemukan konten yang tidak layak.–LARASWATI ARIADNE ANWAR/DIONISIA ARLINTA
Sumber: Kompas, 25 Juli 2018