Media-media sosial baru berbasis internet seperti Facebook, Youtube, Google, Netflix dan sebagainya kini mengusai begitu banyak pendapatan. Sisi gelapnya, media-media baru ini tidak memiliki kontrol yang baik terhadap konten.
Dahulu, platform-platform baru seperti ini tidak mau memasuki wilayah konten. Tapi, belakangan, mereka turut memasuki wilayah konten pula sehingga pada akhirnya menjadi penyedia konten sekaligus penyelenggara platform.
“Terjadi perang asimetris di sini antara penyedia konten dengan penyedia platform. Dalam hal ini, penyedia konten menderita karena hubungan yang asimetris (tidak setara atau tidak sepadan) itu,” kata Pemimpin Redaksi The Jakarta Post sekaligus mantan Anggota Dewan Pers, Nezar Patria dalam sesi 2 Konferensi Nasional “Tantangan Jurnalisme di Era Digital” dalam rangka 25 tahun HUT Aliansi Jurnalis Independen di Jakarta, Selasa (6/8/2019).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN–Pemimpin Redaksi Harian Kompas Ninuk Mardiana Pambudy memaparkan presentasi dalam sesi 2 Konferensi Nasional “Tantangan Jurnalisme di Era Digital” dalam rangka 25 tahun HUT Aliansi Jurnalis Independen di Jakarta, Selasa (6/8/2019). Tampil juga sebagai pembicara pada sesi 2 ini, pemenang call paper Rana Akbari Fitriawan dan The Jakarta Post sekaligus mantan Anggota Dewan Pers, Nezar Patria dengan moderator Mawa Krena dari AJI Indonesia.
Tampil juga sebagai pembicara pada sesi 2 ini, pemenang call paper Rana Akbari Fitriawan dan Pemimpin Redaksi Harian Kompas Ninuk Mardiana Pambudy dengan moderator Mawa Krena dari AJI Indonesia.
Di tengah keterjepitan, media mencari jalan dan bisnis model baru. Di satu tempat, kadang cara-cara tertentu berhasil, tetapi di tempat lain tidak. Karena itu, posisi kesetaraan antara media konvensional dan media baru berbasis internet perlu dibangun.
Beberapa media kini mulai serius mendulang pendapatan baru lewat skema berlangganan. Mereka ingin mengulangi sukses The New York Times yang jumlah pelanggan berbayarnya di platform daring telah mencapai 4 juta pelanggan, jauh di atas pelanggan cetaknya.
Jika The New York Times masih memberikan sekitar lima konten gratis setiap bulannya kepada pelanggan, The Financial Times bahkan sama sekali tidak memberikan konten gratis dan total menerapkan langganan berbayar. “Pola ini banyak ditiru media-media meski jika diterapkan tingkat kesuksesannya tidak sama. South China Morning Post, misalnya, pada awalnya memakai sistem ini tapi kemudian langsung mencabutnya begitu Jack Ma masuk ke sana. Jack Ma mengubah strategi South China Morning Post yang awalnya berbayar dan terbatas menjadi membuka ekspose besar-besaran,” kata Nezar.
Banyak media yang kini masih mencari bentuk dan terus-menerus mengubah diri. Agar bisa tetap berjalan, arah ke depan media mesti menyesuaikan diri dengan target audiens yang akan dituju. Masing-masing media tentu memiliki kekhasan cara dan audiens.
KOMPAS/ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN–Nezar Patria
Berita Bertutur
Jika mau berbicara tentang konten jurnalisme yang tetap menarik ke depan, metode pemberitaan bertutur sepertinya tetap akan berjaya. Media-media besar seperti The New York Times misalnya, sekarang tidak lagi mengangkat berita-berita pendek dan singkat tetapi mulai mengangkat isu-isu yang tidak “pasaran” atau umum.
“Liputan dokumenter KBR 68H tentang seorang anak pelaku bom di Surabaya menarik sekali. Ini kisah anak yang berhasil lolos dari bom bunuh diri tetapi ditolak masyarakat. Ia dirawat pemerintah dan saat akan dikembalikan ke kampung halaman, warga setempat sulit menerima anak itu. Kisah ini tidak banyak diangkat oleh media. Konten-konten seperti ini akan bertahan panjang ke depan, sementara berita-berita bombastis mungkin hanya akan bertahan dua tiga kali lalu berhenti,” ujarnya.
Ninuk mengungkapkan, di tengah tajamnya penurunan tiras koran, media-media cetak seperti Kompas mulai bertansformasi ke arah digital. “Kami baru menuju format digital baru tahun 2017 menjadi kompas.id. Kompas yang mempunya ciri sendiri, mempunyai nilai-nilai yang diwariskan para pendiri dengan kedalaman dan tradisi verifikasi. Apabila Kompas meresponsnya dengan cara baru yang bukan (bergaya) kompas, itu merusak citra Kompas,” ujarnya.
Keputusannya, Kompas pada akhirnya masuk dalam era transformasi secara bertahap. Cetak tetap dilayani, sementara versi digitalnya juga dikembangkan dalam bentuk kompas.id. “Menurut hasil survei kami, anak-anak muda ternyata masih mau membaca media cetak. Ini agak mengejutkan. Mereka bahkan sempat marah ketika halaman Kompas menjadi menipis,” ungkapnya.
Terkait keberadaan media-media baru berbasis internet, menurut jurnalis senior Bambang Harymurti, media dan jurnalis Indonesia mesti bersatu dan kompak dalam membangun nilai tawar di hadapan platform-platform media baru. Mesti ada hubungan kolaborasi yang setara antara penyedia konten yaitu media dengan penyedia platform seperti Google, Facebook, Youtube, dan sebagainya.
Jurnalisme robot
Tantangan media ke depan memang semakin tidak mudah. Menurut Rana, di Jepang kini bahkan sudah ditemukan perangkat robot yang bisa mewawancarai manusia, bisa mengonversi rekaman menjadi tulisan dan kemudian menyebarkan ke medianya. Keberadaan robot ini luar biasa karena akan menghemat pengeluaran sebab tak perlu menggaji setiap bulan seperti halnya jurnalis.
“AJI mungkin bisa mulai menginisiasi memikirkan kembali konsep-konsep tentang Undang-Undang Pers yang perlu diperbarui karena sekarang petanya telah berubah. Ini persoalan yang perlu dibicarakan lagi bersama. Dengan perubahan digital ini apa yang perlu kita lakukan bersama?,” kata dia.
Pengajar Universitas Multimedia Nusantara sekaligus pengamat media Ignatius Haryanto mengingatkan, robot memang memiliki kecanggihan tertentu. Namun demikian, robot tidak memiliki dan tidak mengenal etika seperti halnya jurnalis profesional.
“Ada pula kecenderungan kebosanan terhadap sistem langganan. Ketika orang ditanya kalau ingin mengeluarkan uang pada bidang tertentu, orang akan memilih video, musik, dan baru informasi. Orang mau membayar untuk informasi tetapi tidak perlu banyak-banyak, cukup satu atau dua saja. Jika lebih, mereka akan bosan. Kita merespons ini dengan gagap dan sporadis. Yang perlu kita sadari bersama, tingkat literasi membaca Indonesia amat rendah,” ujarnya.–ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Sumber: Kompas, 7 Agustus 2019