CATATAN IPTEK
Seorang siswi sekolah dasar di Kota Takatsuki, Perfektur Osaka, Jepang tewas tertimpa dinding kolam renang sekolahnya yang rontok setelah diguncang pada 18 Juni 2018 lalu. Bocah sembilan tahun ini merupakan satu dari empat korban yang tewas dalam gempa berkekuatan M 6,1 dengan pusat di darat ini. Tiga korban tewas lain berumur 80-an. Satu orang tertimpa rak, dua terkena material yang rontok.Guncangan gempa di Takatsuki ini mencapai skala 6 (Japanese Seismic Intensity Scale/JSIS), merupakan yang terkuat di Osaka bagian utara sejak 1923. Kekuatan gempa ini setara dengan gempa M 5,9 yang melanda Yogyakarta pada 2006 lalu, bahkan guncangannya kemungkinan lebih kuat karena lebih dangkal. Pusat gempa Takatsuki di kedalaman 13 kilometer (km), sedangkan di Yogyakarta 33 km.
?Korban sebanyak empat orang meninggal dunia dan 300-an luka-luka di Takatsuki ini tergolong sangat kecil, dibandingkan gempa Yogyakarta yang menewaskan 6.000 orang dan melukai 30.000 orang. Selain faktor amplifikasi tanah, besar-kecilnya korban gempa terutama disebabkan kualitas konstruksi bangunan.
?Gempa bumi tidak pernah membunuh, namun korban berjatuhan karena tertimpa bangunan. Jadi, sekalipun gempa bumi merupakan peristiwa alam, respon menghadapinya jelas merupakan proses kebudayaan. Proses budaya inilah yang menyebabkan kerentanan terhadap bencana bersifat relatif. Kekuatan gempa yang sama bisa menimbulkan dampak berbeda, tergantung bagaimana kita menyiapkan diri menghadapinya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN–Sekuntum bunga dipersembahkan untuk korban tenggelamnya KM Sinar Bangun di sekitar titik tenggelamnya kapal tersebut di Danau Toba, Sumatera Utara, Senin (2/7/2018). Operasi SAR gabungan pencarian korban KM Sinar Bangun akan selesai pada Selasa 3 Juli 2018 sementara itu 164 korban masih dinyatakan hilang.
?Jepang merupakan negara yang dikenal paling serius dalam menyiapkan diri menghadapi bencana. Setelah gempa Miyagi pada tahun 1978, mereka merevisi standar bangunan tahan gempa. Mereka merevisi lagi peraturannya, terutama terkait bangunan kayu, setelah gempa Kobe pada tahun 1995.
? Penerapan bangunan tahan gempa ini terbukti saat gempa berkekuatan M 9 melanda Sendai pada 2011. Dalam gempa saat itu, konstruksi bangunan di pesisir timur Jepang rata-rata masih berdiri. Kehancuran lebih disebabkan sapuan tsunami.
?Setelah peristiwa itu, Jepang merevisi 17 undang-undang, di antaranya mengenai tata ruang, struktur pelindung tsunami, dan pengembangan wilayah baru yang aman. Perubahan yang kemudian diterapkan adalah memindahkan hunian di pesisir Sendai ke dataran tinggi. Mereka belajar bahwa siklus tsunami raksasa tidak bisa dilawan dengan tanggul sekali pun.
?Salah satu kunci sukses Jepang menjadi bangsa yang kuat dalam menghadapi bencana adalah semangat mereka untuk terus belajar dari setiap kejadian, dan kemudian menjadi dasar bagi perubahan. Untuk belajar dari setiap kejadian, pertama-tama mereka belajar untuk mengakui kesalahan. Itulah yang terlihat dari kejadian gempa di Takatsuki kali ini.
?Tak lama setelah mengetahui kematian siswi di sekolahnya, Walikota Takatsuki, Takeshi Hamada menyampaikan pemintaan maaf kepada keluarga korban, sagaimana disiarkan di stasiun televisi NHK. Tak hanya meminta maaf, Hamada menyatakan bertanggungjawab atas insiden itu. Dia juga berjanji untuk menyelidiki hal ini dan akan mengecek kembali kekuatan dinding bangunan di seluruh sekolah dasar dan sekolah menengah pertama di kotanya.
?Di Jepang, jatuhnya korban karena bencana memang tak semata-mata dianggap sebagai peristiwa alam. Sebelumnya, Pengadilan Tinggi Sendai, pada 26 April 2018 lalu memutuskan agar pemerintah setempat membayar 1,4 miliar yen atau sekitar 12,78 juta dollar AS kepada keluarga 23 siswa sekolah yang meninggal akibat tsunami 2011. Keputusan ini itu diambil karena Pemerintah Provinsi Miyagi dan Pemerintah Kota Ishinomaki dianggap bertanggungjawab karena para guru di sekolah tidak segera mengungsikan siswa setelah gempa ke bukit evakuasi.
?Peristiwa ini patut kita refleksikan dalam serangkaian kejadian bencana di Indonesia. Kita masih menunggu permintaan maaf dan tanggungjawab dari otoritas lokal ataupun nasional terkait tenggelamnya Kapal Motor Sinar Bangun di Danau Toba yang menewaskan 200-an orang, juga pada 18 Juni 2018. Padahal, dalam kasus ini dipicu oleh kelalaian manusia dan tak pantas menimpakan kesalahan pada alam.
?Lebih penting lagi, kita harus belajar dari kesalahan guna perbaikan di masa depan. Tenggelamnya kapal di Danau Toba sudah berulangkali terjadi dengan pola hampir sama: kelebihan muatan dan minimnya perangkat keselamatan. Dibandingkan kejadian sebelumnya, jumlah korban tenggelamnya kapal di Danau Toba kali ini merupakan yang terbanyak.
?Fenomena serupa sebenarnya terjadi dalam setiap kali bencana gempa bumi, longsor atau beragam bencana lainnya. Ratusan atau bahkan ribuan korban tewas, namun selepas itu nyaris tak ada perubahan signifikan. Ketika kemudian kembali terjadi bencana, korban pun kembali berjatuhan…–AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 4 Juli 2018