Lingkungan yang berubah membuat bakteri Bumi yang ada di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) berevolusi. Namun, evolusinya tidak sebahaya seperti dugaan manusia. Sebelumnya, manusia mengkhawatirkan bakteri itu akan berubah menjadi superbug alias bakteri berbahaya yang resisten terhadap antibiotik.
Spekulasi perubahan bakteri menjadi superbug itu dilandasi oleh radiasi di luar angkasa yang jauh lebih besar dibanding Bumi, kecilnya gaya berat akibat kecilnya gaya gravitasi, hingga kecilnya ventilasi atau aliran udara. Kondisi itu akan membahayakan bagi manusia yang melakukan perjalanan di luar angkasa.
NASA–Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) mengorbit Bumi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun studi yang dilakukan profesor perancangan biologi dari Universitas Northwestern, Evanston, Illinois, Amerika Serikat Erica Hartmann menunjukkan evolusi bakteri di luar angkasa sepertinya tidak berbahaya bagi manusia.
“Kondisi di luar angkasa memang keras dan penuh tekanan,” katanya seperti dikutip Livescience, Selasa (8/1/2019). Namun, itu tidak mengubah bakteri menjadi lebih berisiko atau lebih meningkatkan keparahan terhadap penyakit.
Dalam studi yang dipublikasikan di jurnal mSystems, Selasa (8/1/2019) itu, Hartmann menganalisis asam deoksiribonukleat (DNA) dua jenis bakteri yang dikirim ke ISS, yaitu Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus. Bakteri itu diambil dari lingkungan ISS dan diduga bisa sampai ke sana karena menempel pada kulit atau ada dalam tubuh antariksawan yang pergi ke ISS.
WIKIPEDIA–Staphylococcus aureus
Tidak berbahaya
Kedua bakteri itu pada dasarnya tidak berbahaya alias hanya menjadikan manusia sebagai inangnya. Staphylococcus aureus biasa ditemukan pada kulit atau saluran pernapasan atas manusia dan akan menimbulkan infeksi jika tubuh inangnya melemah akibat adanya penyakit, perubahan hormon, atau obat yang memengaruhi imunitas manusia.
Sementara bakteri Bacillus cereus biasa ditemukan pada sistem pencernaan manusia atau tanah. Belakangan diketahui, bakteri ini memicu sejumlah keracunan makanan.
Di Bumi, bakteri-bakteri itu biasa jatuh dari tubuh manusia ke tempat baru yang dianggap cocok untuk mendukungnya berkembang. Di tempat baru itu, mereka pun berevolusi, menyesuaikan diri dengan tempat barunya, termasuk permukaan tempat yang berupa benda mati.
Perubahan bakteri itulah yang dikhawatirkan para peneliti bisa membahayakan bagi antariksawan selama di ISS. Terlebih, antariksawan dan bakteri-bakteri itu berbagai tempat yang sempit, hanya sekitar seperempat ISS, dan berlangsung hingga berbulan-bulan.
Menyesuaikan diri
Namun, studi membuktikan perubahan diri bakteri itu lebih untuk menyesuaikan diri dengan situasi di luar angkasa. Perubahan itu tidak menghasilkan kelainan yang membuat bakteri menghasilkan penyakit menular yang sulit diobati.
Hasil studi itu tentu menggembirakan bagi manusia, khususnya antariksawan yang tinggal selama berbulan-bulan di ISS. Belum lagi, jika perjalanan manusia menuju Mars dimulai yang diperkirakan membutuhkan waktu 30 bulan untuk berangkat, tinggal dan pulang dari Mars agar misi menjadi efektif.
Badan antariksa untuk mengirimkan antariksawan ke luar angkasa, seperti Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional AS NASA atau Badan Antariksa Rusia Roscosmos, sebenarnya telah memiliki prosedur karantina yang ketat untuk meminimalkan peluang penyebaran penyakit menular di wahana atau ISS. Prosedur itulah yang membuat selama ini penularan penyakit menular di luar angkasa sangat jarang.
Namun dengan tantangan makin panjangnya waktu misi membuat kemungkinan terjadinya penularan penyakit di luar angkasa tetap mengkhawatirkan. Meski demikian, hasil studi yang menunjukkan tidak adanya peningkatan risiko yang berarti akibat perubahan lingkungan bakteri itu, tentu jadi kabar menggembirakan.
Oleh M ZAID WAHYUDI
Sumber: Kompas, 10 Januari 2019