Tiga pakar diundang Badan Legislasi DPR dalam pembahasan RUU Cipta Kerja bidang lingkungan hidup dan kehutanan, Rabu (10/6/2020). Isi regulasi payung itu dinilai mengganggu masa depan lingkungan dan keadilan masyarakat.
Pembahasan rancangan Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law di Badan Legislasi DPR masih terus berlanjut. Banyak kalangan meminta agar lembaga legislatif itu tidak terburu-buru dan lebih hati-hati. Alasannya, sejumlah pasal dalam perundangan payung itu dianggap menggerus keadilan di masyarakat dan menurunkan kualitas tata kelola lingkungan.
Momentum penyusunan RUU itu dapat dimanfaatkan DPR untuk memberi solusi atas sejumlah masalah di lapangan, seperti penyelesaian 3,4 juta hektar kebun sawit di kawasan hutan serta membentuk sanksi hukum terhadap perusak lingkungan. DPR juga diminta terbuka terhadap masukan para pakar dan masyarakat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam pembahasan RUU Cipta Kerja dari sisi lingkungan hidup dan kehutanan, Rabu (10/6/2020), Badan Legislasi DPR mengundang secara virtual Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Ramdan Andri Gunawan Wibisana, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Asep Warlan Yusuf, dan Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada San Afri Awang. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menolak menghadiri undangan karena menilai substansi RUU Cipta Kerja bermasalah.
Asep Yusuf Warlan yang memiliki keahlian bidang hukum tata negara, mengatakan rumusan ulang RUU Cipta Kerja perlu dilakukan terkait perizinan, analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), dan sanksi. “Kalau tidak dirumuskan ulang atau bahkan dihapus dan diganti, bahaya karena banyak tumpang tindih dan inkonsistensi. Mudah-mudahan ini bukan suatu produk yang terburu-buru, tergesa-gesa,” kata dia.
RUU Cipta Kerja yang diharapkan membuka keran investasi, kata dia, agar jangan menjadikan lingkungan hidup dan kehidupan sosial masyarakat terganggu. “Meski kita bangun investasi, ekonomi, kesejahteraan, mohon lingkungan tidak diabaikan. Karena walau cita-cita kita green economy, toh lingkungan jadi korban karena secara empiris kita menuju ke sana,” kata dia yang juga terlibat dalam penyusunan Undang-undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dalam pembahasan kemarin, ia menyatakan harmonisasi perundangan yang juga menjadi semangat RUU Cipta Kerja bisa membawa manfaat. Upaya harmonisasi yang dilakukan pemerintah sejak tahun 1984, kata dia, belum pernah berhasil. Ia pun menyatakan harmonisasi perundangan dibutuhkan baik sisi investasi/perekonomian dan lingkungan hidup. Harmonisasi regulasi akan mencegah konflik, tumpang tindih, dan kekosongan hukum.
Dari sisi substansi, ia mengkritik RUU Cipta Kerja yang menempatkan persetujuan pemerintah setara dengan perizinan. Hal itu tampak dari izin lingkungan dengan hanya menjadi persetujuan lingkungan.
Ia mengatakan hierarki “izin” di Indonesia berjenjang yang dimulai dari perizinan, persetujuan, rekomendasi, dan terakhir pemberitahuan. “Jadi jangan diturunkan perizinan menjadi sama dengan persetujuan. Tidak boleh mengubah fungsi dan efektivitas izin,” kata dia.
Ramdan Andri Gunawan Wibisana menyatakan agar izin lingkungan dipertahankan. Ketiadaaan izin lingkungan, malahan menambah rumit birokrasi. Ia mencontohkan penghilangan izin lingkungan menjadikan sejumlah izin pengelolaan limbah tak memiliki payung sehingga tiap kegiatan usaha tersebut membutuhkan “izin” tersendiri atau persetujuan terpisah.
Ramdan pun menyoroti pengubahan pengaturan sanksi pidana pada sejumlah pasal (pasal 98, 99, 102, 103, 104, 109, dan 110 UU No 32 tahun 2009). Sanksi pidana dalam pasal tersebut yang berupa penjara dan atau denda, diubah menjadi penjara. Perubahan tersebut membawa konsekuensi penghilangan sanksi bagi korporasi. “Bagaimana mungkin kita memenjarakan korporasi. Mana mungkin lagi menerapkan pasal 98 dan 99 (ketentuan pidana dalam UU 32 tahun 2009) untuk korporasi, jadi fatal ini kekeliruannya,” kata dia.
Di sisi lain, terdapat ketidakkonsistenan karena masih terdapat pasal lain terkait pertanggungjawaban korporasi. Ketidakseragaman atau perbedaan terkait tindak pidana yang bisa dipertanggungjawabkan korporasi, kata dia, menunjukkan kekeliruan dalam memahami sanksi pidana pada umumnya dan pertanggung jawaban korporasi pada khususnya.
Menurut dia, RUU Cipta Kerja berlaku diskriminatif, yaitu sanksi pidana diberikan bagi pelaku yang tidak bisa membayar denda administratif. Menurutnya, hal ini berbahaya bagi penegakan hukum kegiatan usaha yang telah menimbulkan pencemaran, seperti pembuangan limbah. Pelaku kegiatan usaha tersebut tidak bisa langsung dipidana karena harus melalui sanksi administrasi terlebih dulu.
Kehutanan
San Afri Awang mengharapkan penyusunan Omnibus Law ini bisa sekaligus menyediakan dasar hukum bagi sejumlah permasalahan pelik di kehutanan, yaitu fakta 3,4 juta ha kebun sawit di kawasan hutan. Ia yang juga mantan Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan upaya pemerintah selalu mentok meski sejumlah peraturan dari Presiden hingga menteri diterbitkan.
“Pelanggaran-pelanggaran negara dan pengusaha kita atur saja, mau dikasih denda atau apa, itu bisa ditulis (dalam RUU Cipta Kerja). Kalau tidak, maka persoalan sawit dalam kawasan hutan tidak bisa diselesaian,” kata dia.
Ia pun mengkritik RUU Cipta Kerja yang menghapus pasal 27, 28, dan 29 pada UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Pasal tersebut selama ini yang menjadi cantolan bagi pemerintah untuk menggenjot perhutanan sosial yang dalam Nawa Cita Presiden Joko Widodo menargetkan seluas 12, 7 juta ha. San Afri justru mendorong agar perhutanan sosial disebutkan secara gamblang dalam RUU Cipta Kerja agar tetap menjadi “pekerjaan rumah” bagi pemerintah untuk memberi akses kehutanan bagi masyarakat sekitar hutan.
Supratman Andi Agtas, Ketua Badan Legislasi yang memimpin pembahasan mengatakan terus membuka diri pada masukan publik terkait RUU Cipta Kerja. Ia pun sepakat agar RUU ini bisa meningkatkan tata kelola lingkungan dan memberi solusi berbagai permasalahan kehutanan yang berlarut-larut tak dapat diselesaikan.
Oleh ICHWAN SUSANTO
Editor: ILHAM KHOIRI
Sumber: Kompas, 11 Juni 2020