Bahasa Indonesia menyerap semakin banyak kosakata asing. Kemajuan teknologi informasi mempercepat penyerapan itu beberapa tahun belakangan. Saat bersamaan, sebagian bahasa daerah kehilangan penutur.
KOMPAS/ERWIN EDHI PRASETYA–Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Dadang Sunendar memberi sambutan dalam pembukaan Festival Literasi di Solo, Jawa Tengah, Selasa (6/11/2018).
Sejak dulu, bahasa Indonesia memang bersifat terbuka. Kosakata dari negara-negara yang pernah menjajah Indonesia, seperti Belanda, Jepang, Portugis, Spanyol, Perancis, dan Inggris, sudah merasuki bahasa kita. Begitu pula bahasa dari negara-negara yang memiliki hubungan budaya erat dengan kita, katakanlah seperti Arab, India, atau China.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kini, di tengah dekapan teknologi digital, proses penyerapan juga berjalan. Sejak sepuluh tahun terakhir, kosakata serapan dari bahasa asing dan istilah bidang ilmu terus bertambah. Jumlahnya mencapai ribuan kata. Internet yang berkembang pesat menjadi pengaruh utama.
Pelaksana Tugas Kepala Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Hurip Danu Ismadi mengatakan hal tersebut seusai menghadiri diskusi ”Gelar Wicara Tunas Bahasa Ibu”, Jumat (21/2/2020), di Jakarta.
Rata-rata 43.000 kosakata bahasa asing dan istilah bidang ilmu dipantau oleh editor di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud. Tim editor memetakan sebelum akhirnya diputuskan masuk menjadi kosakata dan istilah serapan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Keputusan itu berdasarkan beberapa pertimbangan, seperti kekerapan penggunaan di media massa dan masyarakat serta ketersediaan konsep baru yang tidak dimiliki oleh bahasa Indonesia.
Hurip menceritakan, pemutakhiran KBBI dilakukan dua kali selama setahun. Setiap tahun rata-rata ada tambahan 6.000-8.000 kosakata baru. Berdasarkan perkembangan internet, porsi kosakata serapan dari bahasa asing dan istilah bidang ilmu cenderung lebih besar dibandingkan dari bahasa daerah. Itu pun kebanyakan kosakata dari bahasa Jawa yang terserap bahasa Indonesia.
Hingga Oktober 2019, jumlah bahasa daerah yang berhasil teridentifikasi mencapai 718, dialek 778, dan subdialek 43. Total kamus bahasa daerah sebanyak 113 kamus.
Berdasarkan kajian terhadap 90 bahasa daerah yang berpotensi vitalitasnya rendah, terdapat 19 bahasa daerah berstatus rentan, 3 bahasa daerah mengalami kemunduran, dan 25 bahasa daerah terancam punah. Sebanyak 6 bahasa daerah berstatus kritis dan 11 bahasa daerah sudah punah.
Hurip memastikan, ketika ada tambahan kosakata baru, bukan berarti kosakata lama menjadi punah, melainkan mengalami penurunan intensitas pemakaian. Pada masa tertentu, intensitas penggunaan kosakata lama tersebut akan kembali naik.
”Situasinya mirip dengan kamus bahasa Inggris Oxford. KBBI pun harus merekam kosakata lama dan baru,” katanya. Saat ini, KBBI mempunyai sekitar 111.000 kosakata dengan 127.000 makna kata.
Berdasarkan pagu anggaran Kemendikbud tahun 2020, terdapat rencana pengembangan kamus dan istilah 58.000 kosakata dengan perkiraan anggaran sebesar Rp 8,5 miliar. Kemudian, rencana program perlindungan 120 bahasa daerah dengan perkiraan anggaran Rp 10,4 miliar.
”Lingua franca”
Dalam rapat kerja bersama Komisi X DPR, Kamis (20/2/2020), Mendikbud Nadiem Anwar Makarim menyebut harapannya agar bahasa Indonesia bisa menjadi lingua franca atau bahasa pengantar di tingkat internasional. ”Kita harus mempunyai mimpi besar,” ujarnya.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Badan Bahasa Kemendikbud Dadang Sunendar menyampaikan bahwa harapan Mendikbud senada dengan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, proses menjadikan bahasa Indonesia sebagai lingua franca dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan.
”Salah satu sasaran terdekat literasi bahasa Indonesia adalah ASEAN (asosiasi negara-negara Asia Tenggara). Sekitar sepertiga penduduk ASEAN adalah Indonesia. Mayoritas orang yang tinggal di kawasan ini memandang bahasa Indonesia sebagai bahasa yang sangat diperhitungkan,” katanya.
Dadang mengaku telah berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri dan Sekretariat Tetap ASEAN. Selama tiga tahun terakhir, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa telah memiliki program prioritas pengiriman pengajar bahasa Indonesia bagi penutur asing ke negara ASEAN dan 29 negara lainnya. Jumlah pengajar mencapai sekitar 739 orang. Selain itu, badan mencetak buku ajar yang diunggah secara daring ataupun didistribusikan ke sejumlah kedutaan besar.
Menurut dia, bahasa Indonesia telah memenuhi beberapa persyaratan untuk menjadi lingua franca, antara lain jumlah besar penutur, persebarannya tidak di satu negara, dan mudah dipelajari orang asing. Persyaratan lain yang telah terpenuhi adalah kestabilan kondisi ekonomi, politik, dan sosial.
”Akan tetapi, sebagian warga belum bangga dengan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia hanya dianggap sebagai alat komunikasi, bukan jati diri bangsa yang utuh,” kata Dadang menjelaskan salah satu kendala menjadikan bahasa Indonesia sebagai lingua franca.
Oleh MEDIANA
Editor ILHAM KHOIRI
Sumber: Kompas, 22 Februari 2020