Penggunaan bahasa Inggris yang mendominasi ruang-ruang publik menunjukkan bahwa tidak ada kepercayaan diri dari masyarakat Indonesia terhadap bahasanya.
Setelah satu dekade Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan disahkan, bahasa Indonesia tetap nomor dua di ruang-ruang publik. Pemakaian bahasa Inggris masih mendominasi sebagai penunjuk arah, bahkan slogan reklame.
”Tidak ada kesadaran masyarakat bahwa bahasa Indonesia merupakan hasil kesepakatan dan perjuangan para pendiri bangsa ketika memutuskan untuk mendirikan negara Indonesia,” kata Profesor Riset Bahasa Indonesia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Dendy Sugono dalam diskusi ”Satu Dekade UU 24/2009 dan Lanskap Bahasa dan Kesastraan Kini” di Jakarta, Senin (21/10/2019).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR–Kiri ke kanan: Moderator Gadis Anindhita, anggota DPR periode 2014-2019 Popong Otje Djunjunan, Ketua Ombudsman RI Amzulian Rifai, Profesor Riset Bahasa Indonesia LIPI Dendy Sugono, dan Kepala Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra Gufran Ali Ibrahim mendiskusikan pengutamaan bahasa Indonesia di ruang publik, Selasa (21/10/2019), di Jakarta.
Dendy yang menjabat sebagai Kepala Pusat Bahasa untuk Badan Bahasa dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan periode 2001-2009 ini termasuk salah satu orang yang membidani UU tersebut.
Dia mengatakan, pada Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928, para tokoh pendiri bangsa berkomitmen kepada gagasan Indonesia, salah satunya melalui pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu berbagai perbedaan.
”Pengetahuan ini sudah dilupakan. Seolah tidak ada kepercayaan diri dari bangsa Indonesia sendiri terhadap bahasanya,” tuturnya.
Padahal, selain di Indonesia, bahasa Indonesia juga berpotensi menjadi bahasa internasional dengan penutur potensial dari Asia Tenggara, Suriname, dan keturunan kelkmoom etnis Melayu di Afrika Selatan. Bahkan, bahasa Indonesia sudah diajarkan di 70 negara, mulai dari Australia, Rusia, Jepang, hingga Korea Selatan.
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR–Charlie Barnes asal Australia saat lomba pidato dalam bahasa Indonesia di Jakarta, Kamis (15/8/2019).
Ruang publik
Di ruang-ruang publik di wilayah kota-kota besar, seperti Jakarta dan Bandung, tampak bahasa Inggris lebih mendominasi. Nama-nama gedung, kompleks perumahan, dan toko memakai bahasa Inggris. Slogan reklame hingga penunjuk arah di pusat-pusat perbelanjaan umumnya memakai bahasa Inggris. Hal tersebut termasuk metode cara penamaan lantai, seperti ground, upper ground, dan lower ground, walaupun ada padanan dalam bahasa Indonesia.
”UU 24/2009 sama sekali tidak anti-bahasa asing, tetapi mewajibkan semua pihak, baik pemerintah maupun swasta, untuk mengutamakan bahasa Indonesia,” kata Kepala Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra Badan Bahasa dan Perbukuan Gufran Ali Ibrahim. Justru, prinsipnya ialah mengutamakan bahasa Indonesia, melestarikan bahasa daerah, dan menguasai bahasa asing.
Ia mencontohkan, di bandara sudah diterapkan dengan benar, yaitu menulis petunjuk dengan bahasa Indonesia, baru di bawahnya ditulis dengan bahasa Inggris dan bahasa-bahasa asing lainnya. Di Bandara Adisucipto, Yogyakarta, misalnya, pengumuman penerbangan diberikan dalam bahasa Indonesia disusul dengan bahasa Jawa kromo dan bahasa Inggris.
Agar masyarakat memiliki kecintaan terhadap bahasa nasional, diperlukan kemampuan berbahasa yang baik. Cara mengasahnya tidak hanya melalui pemelajaran tata bahasa, tetapi juga kesastraan. Membaca novel, cerita pendek, syair, serta berbagai karya sastra memberikan wawasan kosakata dan nuansa kebahasaan yang luas.
”Sampah bahasa di masyarakat yang pertama adalah pemakaian bahasa gado-gado di ruang publik. Bahasa ini buruk dari kaidah bahasa Indonesia maupun bahasa asing yang dicampur-campur itu,” ujar Gufran.
Sampah kedua adalah bahasa di media sosial yang didominasi nuansa ketus, menunjukkan pemikiran yang tidak mengedepankan nalar dan diskusi, melainkan bersikeras pada pendapat masing-masing. Bahkan, lanjut Gufran, dalam acara debat di televisi pun logika berbahasa Indonesia tidak ada karena sejatinya bahasa adalah medium berdialog, bukan sekadar mengekspresikan kemarahan. Secara subliminal, hal ini mengakibatkan antipati masyarakat terhadap bahasanya sendiri.
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR–Contoh penggunaan bahasa Inggris sebagai medium penunjuk arah di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta, Senin (21/10/2019).
Dalam diskusi itu dibahas bahwa UU 24/2009 tidak memiliki sanksi terkait ketidaktertiban pemakaian bahasa Indonesia di ruang publik. Dibutuhkan peraturan turunan yang memiliki pasal-pasal penindakan hukum, mulai dari ringan hingga berat. Ketua Ombudsman RI Amzulian Rifai mengatakan, penindakan bisa diberikan berjenjang, pertama-tama kepada dinas yang memberi izin pemakaian papan reklame berbahasa asing.–LARASWATI ARIADNE ANWAR
Editor YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 22 Oktober 2019