Pada 1918-1919, flu Spanyol menjadi pandemi di seluruh dunia dan diperkirakan menewaskan sampai 100 juta orang. Pandemi flu itu sulit diatasi karena terbatasnya teknologi kesehatan dan kondisi dunia yang sedang kacau.
Wabah Covid-19 membuat banyak orang penasaran tentang sejarah flu yang paling mematikan sepanjang sejarah, yakni flu Spanyol. Pandemi akibat flu Spanyol menewaskan setidaknya 17 juta jiwa. Bahkan, ada perkiraan angka kematian akibat flu Spanyol mencapai 100 juta jiwa sepanjang 1918-1920. Ini wabah flu global bersejarah yang paling parah.
Perkiraan angka kematian tertinggi hingga 100 juta ini didasarkan pada tulisan Niall PAS Johnson dan Juergen Mueller di Bulletin of the History of Medicine, Johns Hopkins University Press, 2002, berjudul ”Updating the accounts: Global mortality of the 1918–1920 ’Spanish’ influenza pandemic”.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Disebut flu Spanyol bukan karena asalnya dari Spanyol walau ditemukan pertama kali di Eropa. Namun, karena Spanyol tergolong paling transparan soal angka kematian dan terpukul paling keras, maka disebutlah flu Spanyol. Bahkan, Raja Spanyol saat itu, Alfonso XIII, disebut terserang flu Spanyol.
Presiden AS Woodrow Wilson juga dikabarkan terserang flu tersebut saat merundingkan Traktat Versailles pada 1919, yang mengakhiri Perang Dunia I (1914-1918).
Saat flu Spanyol merebak, sekitar sepertiga penduduk dunia, atau sekitar 500 juta jiwa, terserang. Mengerikan dan meninggalkan peringatan bahwa flu bukan hal sembarangan. Masalah besar lainnya saat pandemi flu Spanyol mencuat, para dokter baru sekadar paham soal eksistensi virus. Penisilin, semacam antibiotik, pun baru ditemukan pada 1928.
Lalu, bagaimana akhir dari pandemi? ”Pada akhir musim panas 1919, pandemi flu berakhir setelah mereka yang terinfeksi wafat atau yang terserang tercipta kekebalan dengan sendiri,” demikian ditulis di situs The History.
Bagaimana akhir Covid-19?
Hal ini memunculkan pertanyaan bagaimana gerangan akhir wabah Covid-19? Terkait pertanyaan ini, pada 2017 sebuah artikel berjudul ”Can we beat influenza?” dituliskan Wenqing Zhang, Kepala Global Influenza Programme, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Geneva, Swiss, berkolaborasi dengan Robert G Webster, anggota emeritus St Jude Children’s Research Hospital, Memphis, TN, AS.
Tidak ada yang bisa memastikan jawaban atas pertanyaan itu sejauh ini. Ini karena pemahaman lengkap tentang gen-gen belum komplet. Kapan gen-gen virus bisa berkembang menjadi pandemi juga belum bisa diprediksi.
Masalah juga ada pada gen-gen virus ini yang bisa berkembang pada burung dan hewan lainnya. Semua ini berpotensi berkembang hingga mampu menjangkiti manusia. Besar tidaknya dampak virus bergantung pada apakah kita menemukannya lebih cepat sehingga memadai waktu untuk mencegahnya, demikian kata Robert Webster dari Department of Infectious Diseases di St Jude Children’s Research Hospital.
Sistem sudah terbentuk
Berita baiknya, setelah flu Spanyol dan perkembangan ilmu medis, sistem sudah terbentuk dan selalu berjaga-jaga untuk melakukan pencegahan wabah. Tim survei influensa di WHO konstan memonitor perkembangan dan melakukan pendalaman tentang virus di enam laboratorium inti di dunia. Ada juga sebuah laboratorium yang melengkapi dan mendalami perkembangan flu dari unggas dan babi. Tim ini rutin melakukan survei soal virus.
”Survei kita mungkin sudah sangat bagus. Akan tetapi, tidak mungkin semua burung dan babi di seluruh dunia bisa kita amati, itu tak mungkin. Adalah sebuah keberuntungan saja jika bisa kita mencegah itu sejak dini,” kata Webster.
Oleh sebab itu juga dikatakan, datangnya pandemi flu mirip bencana gempa, badai, dan tsunami. Itu semua bisa terjadi kapan saja dan satu bencana bisa lebih parah dari lainnya sebagaimana dikatakan Michael Osterholm, Direktur Center for Infectious Disease Research and Policy di University of Minnesota. ”Konyol jika kita menganggap flu seperti flu Spanyol tidak akan terjadi.”
Virus bisa dikatakan hampir pasti akan menyerang, kata Gerardo Chowell, profesor di epidemologi dan biostatistik di Georgia State University.
REPRO BUKU “PANDEMI INFLUENZA 1918 DI HINDIA BELANDA”—Anak balita yang dirawat di Rumah Sakit Zending di Mojowarno, Jawa Timur, awal abad ke-20. Anak balita banyak yang menjadi korban keganasan flu Spanyol di Hindia Belanda tahun 1918-1919.
Kecepatan dan kolaborasi
Akan tetapi, Wenqing dan Webster menuliskan, ”Pengetahuan medis dan teknologi sudah jauh lebih berkembang, demikian juga kemampuan memprediksi pandemi.” Namun ditambahkan juga, pencegahan wabah juga sangat bergantung pada kecepatan penyebaran informasi soal dua hal, virus dan gen-gen.
Untuk itu, Wenqing dan Webster mengingatkan tentang perlunya kolaborasi global, salah satu inti penting dalam penghentian pandemi. Kolaborasi ini merupakan hal mendasar. Sebab ada kalanya berbagi informasi tentang virus, soal siapa menemukan lebih dulu, juga terkait dengan bisnis besar. Tidak ada jaminan soal ketulusan berbagi informasi jika itu menyangkut bisnis terkait virus.
Lagi sikap saling serang terkait Covid-19, bukan mengutamakan kolaborasi, juga terjadi sekarang ini, terutama antara AS dan China. Hal juga mencuat seperti diberitakan di situs CNBC.
Namun, sejak ilmu medis berkembang pasca-flu Spanyol, fakta menunjukkan sejak 1918 tidak ada lagi virus mematikan selevel flu Spanyol. Flu Asia pada 1957 diikuti flu Hong Kong pada 1968 dan flu burung pada 2009 walau mematikan, levelnya sangat jauh di bawah korban flu Spanyol.
Fakta lain, flu Spanyol merebak setelah perang, saat situasi dunia kacau balau, dan kapasitas soal kemampuan medis rendah. Sekarang situasi sangat jauh dari keadaan 1918.
Hal lain yang menjadi intisari adalah menjaga kesehatan. Ini saran umum yang merebak sekarang dengan wabah Covid-19. Wabah Covid-19 lebih mudah menyerang orang-orang yang memiliki penyakit dan sedang dalam kondisi tidak prima. Mengonsumsi makanan bergizi, saran lain yang juga mencuat. Hal ini lebih dimungkinkan sekarang secara global ketimbang 1918.
Di samping heboh yang ada, berita dari China menunjukkan sangat banyak juga mereka yang terserang Covid-19 telah pulih. Dari sekitar 119.000 orang yang terserang secara global, 64.000 orang sudah pulih. Presiden Xi Jingping sudah turun ke lapangan, ke Wuhai, sebuah sinyal wabah relatif mereda.
Walau dikatakan bukan sebuah jaminan, mereka yang tinggal di daerah dengan temperatur tinggi kemungkinan bisa lebih rileks soal wabah Covid-19. Ini karena suhu tinggi lebih sulit terjangkiti Covid-19.
Oleh Simon Saragih, wartawan senior Kompas
Sumber: Kompas, 12 Maret 2020