Orangtua perlu melakukan pendampingan penuh saat anak menggunakan gawai. Orangtua pun harus memastikan agar anak punya kegiatan lain untuk optimalisasi perkembangan motorik, kognitif, emosi, dan sosial.
KOMPAS/RIZA FATHONI–Anak-anak bercengkerama dengan gawai di kawasan Cideng, Jakarta Pusat, Rabu (18/7/2018). Penggunaan gawai oleh anak-anak memerlukan pengawasan, panduan, dan pembatasan dari orangtua untuk mencegah dampak negatif dari paparan media sosial dan gim daring.
Teknologi dan gawai bukan lagi barang ”tabu” buat anak-anak yang tumbuh dan lahir di era digital. Sebagian dari mereka bahkan mengenal gawai saat belum lancar bicara. Di saat inilah orangtua berperan penting untuk menjaga keseimbangan dunia anak, yakni dunia nyata dan maya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Heni (39), ibu rumah tangga di Jakarta, sebenarnya gemas ketika anak dan keponakannya terus-terusan memegang ponsel pintar. Jika tidak ditegur, mereka akan terus memainkan ponsel dan enggan belajar. Sekali memegang ponsel, anak dan keponakannya bisa menghabiskan waktu lebih dari sejam di depan layar.
”Saya sampai harus menyembunyikan ponsel dari keponakan yang berusia 8 tahun. Saya ingin anak-anak bisa membagi waktu antara bermain dan belajar,” kata Heni di Jakarta, Kamis (27/2/2020).
KOMPAS/KRISTI UTAMI–Anak-anak sedang bermain gawai di Desa Dukuhmalang, Kecamatan Talang, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Senin (10/2/2020). Kebanyakan orang menggantungkan kenyamanan hidupnya kepada gawai dan sambungan internet.
Di sisi lain, Heni paham bahwa anak zaman sekarang perlu ponsel pintar untuk berkomunikasi dan mencari informasi. Itu sebabnya ia mewanti-wanti sang anak untuk menggunakan ponsel seperlunya. Ia kerap memantau tayangan yang ditonton anak, percakapan, dan aplikasi yang tersimpan di ponsel anaknya.
Hal yang sama dilakukan ibu rumah tangga, Sati (43). Ia beberapa kali memantau isi ponsel pintar anaknya yang berusia 14 tahun. Ponsel itu ia berikan saat anaknya mulai duduk di bangku SMP.
”Awalnya saya kasihan karena anak belum dibelikan ponsel. Padahal, teman-temannya sudah mulai pakai ponsel sejak kelas 6 SD. Saya dan saudara-saudara akhirnya patungan buat belikan anak ponsel pintar saat dia masuk SMP,” kata Sati.
KOMPAS/WAWAN PRABOWO–Beberapa anak muda bercengkerama sambil mengutak-atik gawai dan laptop.
Sati menjaga komunikasi dengan anaknya agar ponsel pintar tidak disalahgunakan. Anak Sati bahkan memberi tahu kata sandi untuk membuka ponsel miliknya. Dengan ini, Sati dapat memantau aplikasi-aplikasi yang terpasang di ponsel.
Saya sampai harus menyembunyikan ponsel dari keponakan yang berusia 8 tahun. Saya ingin anak-anak bisa membagi waktu antara bermain dan belajar.
”Sejauh ini ponsel digunakan sewajarnya. Ada saatnya dia main ponsel terus sehingga tidak belajar. Kalau sudah begini, saya harus tegur dia. Untung saja anaknya menurut walau kadang dia kesal dipisahkan dengan ponselnya,” kata Sati.
Peran orangtua
Karyawan swasta Diajeng menerapkan sejumlah peraturan menggunakan gawai kepada kedua anaknya yang masih SD. Gawai hanya boleh digunakan pada hari Jumat sepulang sekolah, Sabtu, dan Minggu. Adapun ia hanya menyediakan satu gawai buat anak-anak agar mereka belajar berbagi.
Kedisiplinan yang diajarkan Diajeng kini membuahkan hasil. Kedua anaknya tidak pernah menyentuh gawai di hari Senin-Kamis, bahkan jika gawai itu tergeletak begitu saja di meja.
”Hingga hari ini, anak-anak tidak pernah pegang gawai kalau bukan di akhir pekan. Mereka bahkan suka lupa pegang ponsel di hari Jumat, Sabtu, dan Minggu,” kata Diajeng.
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA–Siswa SD Negeri 185 Cihaurgeulis bermain kentungan dalam kampanye ”Asyik Tanpa Gawai (Astaga)” di halaman parkir barat Gedung Sate, Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (24/9/2019). Kampanye permainan tradisional perlu digencarkan untuk mengurangi penggunaan gawai pada anak.
Menurut dia, perilaku dan kedisiplinan bisa dibentuk dengan pola asuh yang tepat. Orangtua pun ia nilai perlu memberi contoh melalui tindakan nyata, bukan hanya sekadar omongan.
Pengawasan anak saat memainkan gawai juga diterapkan sopir ojek daring Ilham (25). Kedua anaknya yang berusia 3 tahun dan 4 tahun hanya boleh menonton video di ponsel pintar selama sekitar 10 menit.
Tayangan yang dikonsumsi anak-anaknya pun terbatas, yakni video anak-anak yang berisi lagu, tarian, dan animasi. Ia juga berusaha agar anak-anaknya tidak terbiasa memainkan ponsel pintar. Tujuannya untuk menjaga kesehatan mata sang anak.
”Kadang saya ajak anak untuk keliling naik sepeda motor supaya tidak main ponsel terus. Saya juga ajak mereka main. Pernah juga saya kasih buku gambar daripada ponsel,” kata Ilham.
Minimal 3 tahun
Psikolog anak dan keluarga Kasandra Putranto menyarankan agar anak-anak dikenalkan dengan gawai ketika usianya di atas 3 tahun. Adapun waktu mengamati layar (screen time) yang diberikan kepada anak maksimal dua jam per hari. Setelah anak menginjak usia 8 tahun ke atas, durasi screen time dapat ditambah perlahan.
Awalnya saya kasihan karena anak belum dibelikan ponsel. Padahal, teman-temannya sudah mulai pakai ponsel sejak kelas 6 SD. Saya dan saudara-saudara akhirnya patungan buat belikan anak ponsel pintar saat dia masuk SMP.
”Dalam waktu 24 jam, anak balita masih perlu sekitar 15 jam untuk tidur. Sisa sembilan jam yang ada digunakan untuk bergerak, makan, dan melakukan hal-hal lain. Itu sebabnya screen time tidak boleh lebih dari dua jam,” kata Kasandra.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI–Sejumlah orangtua menjemput anaknya setelah jam sekolah usai di Jakarta, Kamis (27/2/2020).
Orangtua perlu melakukan pendampingan penuh saat anak menggunakan gawai. Orangtua pun harus memastikan agar anak punya kegiatan lain untuk optimalisasi perkembangan motorik, kognitif, emosi, dan sosial.
Menurut penelitian oleh Common Sense Media pada 2013, jumlah anak berusia 0-8 tahun di Amerika Serikat yang menggunakan gawai meningkat. Pada 2011, persentase anak yang menggunakan gawai sebesar 38 persen. Jumlahnya meningkat menjadi 72 persen pada 2013.
KOMPAS/LASTI KURNIA–Saat orangtua dan anak mendiskusikan berbagai hal dalam kehidupan, termasuk mendiskusikan konten yang dibaca sang anak dari gawai mereka, Jumat (3/5/2019), di Jakarta.
Tingkat kepemilikan gawai sejak dini juga tergolong tinggi. Ada 41 persen anak yang memiliki gawai sendiri pada 2011. Pada 2013, jumlahnya naik jadi 63 persen. Kepemilikan gawai sejak dini berisiko memperbesar peluang kecanduan gawai pada anak.
Penggunaan gawai yang berlebihan akan berdampak pada buruknya kesehatan mental. Beberapa di antaranya stres, depresi, cemas, kualitas tidur yang buruk, hingga mengganggu aktivitas sehari-hari (Kompas, 2/12/2019).
Sejumlah kasus kecanduan gawai dan internet pada anak di bawah umur pernah terjadi di Indonesia. Pada 2016, tiga siswa SMP di Sleman, DI Yogyakarta, nekat mencuri untuk biaya bermain gim daring. Pada 2017, seorang anak di Aceh mengemis agar bisa ke warnet. Pada 2018, dua pelajar di Bondowoso kecanduan gawai hingga menderita gangguan jiwa.
”Mengatasi anak yang kecanduan gawai akan sulit sekali. Perlu asesmen untuk bisa menentukan intervensi yang tepat,” kata Kasandra.
Oleh SEKAR GANDHAWANGI
Editor: KHAERUDIN KHAERUDIN
Sumber: Kompas, 28 Februari 2020