Setelah berjalan sekitar 500 meter ke padang penggembalaan Cidaon, Ujung Kulon, Banten, rombongan dikejutkan dengan temuan jejak kaki badak, Rabu (13/9). Jejak itu selebar sekitar 20 sentimeter, sedalam lebih dari 10 sentimeter.
Tim Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) memperkirakan itu jejak badak jawa (Rhinoceros sondaicus)dewasa yang lewat di area itu pada pagi hari. “Badak memang hewan yang soliter dan sensitif dengan bau. Mereka biasanya keluar pada malam hari atau subuh untuk mandi dan berkubang,” ujar Kepala TNUK Mamat Rahmat di Cidaon.
Harapan untuk melihat langsung satwa langka dan dilindungi itu dari dekat pun kandas. TNUK yang berada di semenanjung Ujung Kulon itu merupakan habitat dari 67 badak jawa. Meski populasi badak jawa meningkat dua tahun terakhir, satwa ini terus terancam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Rahmat mengatakan, pada 2015 ada 63 badak di area konservasi seluas 40.000 hektar di Ujung Kulon. Tahun 2016 ada kelahiran empat badak. Namun, secara sex ratio, jumlah badak ini tidak seimbang. Badak jantan 37 ekor, sedangkan badak betina 30 ekor. Idealnya, rasio badak jantan dan betina adalah 1:4.
“Sebagian badak jantan itu usianya sudah tua dan tidak produktif sehingga saat jantan tua dan betina produktif kawin, kemungkinan untuk terjadi pembuahan kecil,” kata Rahmat.
Badak jawa yang bercula satu ini berbeda dengan badak sumatera yang tinggal di pegunungan dan perbukitan, badak jawa tinggal di dataran rendah. Karena tinggal di dataran rendah, apalagi di Pulau Jawa yang berpenduduk besar, habitat badak jawa kian terancam. Di Jakarta dan Bogor yang dulu menjadi habitat badak jawa, satwa ini justru dianggap hama. Pemerintah kolonial Belanda bahkan mengeluarkan aturan untuk membunuh badak. Badak yang kian tergusur akhirnya bermigrasi ke Ujung Kulon. Area ini dulu dikenal sebagai habitat harimau jawa sehingga manusia tak berani merambah. Situasi ini menguntungkan badak jawa.
Ancaman dari dalam
Meskipun aman dari manusia, badak jawa di Ujung Kulon mendapat ancaman dari dalam. Pertumbuhan pakan badak terancam oleh meledaknya vegetasi tanaman langkap (Arenga obtusifolia), yaitu tanaman sejenis palem-paleman. Tanaman langkap menutupi pucuk-pucuk daun yang disukai badak. Dari 40.000 hektar habitat badak jawa, baru di area seluas 2.500 hektar tanaman langkap dibersihkan karena keterbatasan petugas di Balai TNUK.
Selain pakan terancam, kualitas spesies badak jawa kian turun karena indikasi ada perkawinan sedarah (inbreeding). Sejumlah temuan lembaga swadaya masyarakat dan Balai TNUK, bayi badak mengalami cacat bawaan lahir, seperti telinga terlipat, kerdil, dan ekornya putus. Fenomena inbreeding ini terjadi lantaran sex ratio yang tidak seimbang. Untuk itu, Balai TNUK bekerja sama dengan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman.
Untuk menyelamatkan badak jawa, Balai TNUK berencana memindahkan sebagian hewan itu ke habitat lain. Dengan cara itu, diharapkan badak yang berada di area konservasi adalah badak jantan dan betina produktif saja. Badak tua akan dipindahkan ke area lain atau dimanfaatkan untuk wisata minat khusus. Strategi ini terbukti efektif di India dan Afrika. Badak yang sudah terancam populasinya berhasil diselamatkan dan produktivitasnya pun tinggi.
“Lokasi yang paling memungkinkan untuk pemindahan habitat badak ialah di Suaka Margasatwa Cikepuh seluas 80.000 meter persegi. Target kami sebenarnya pada 2017 bisa memindahkan 18 individu badak, tetapi masih ada banyak kendala. Kami harapkan pada 2019 bisa terealisasi,” ujar Rahmat.
Sejumlah kendala pemindahan habitat badak ke Cikepuh itu antara lain sebagian lokasi masih digunakan untuk latihan militer Angkatan Darat. Selain itu, Balai TNUK juga membutuhkan teknik khusus pemindahan individu badak. Balai TNUK juga membutuhkan standar operasional prosedur untuk mengatur habitat badak di tempat baru.
Koordinator spesies dari World Wildlife Fund (WWF) Indonesia, Ridwan Setiawan, yang berfokus meneliti kotoran badak, mendukung rencana pemindahan habitat badak ke Cikepuh. Pemindahan badak diharapkan dapat mengembangkan populasi binatang langka itu. Pemindahan habitat badak ini akan lebih mudah jika ada komitmen dari pemerintah.
Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi Biro Humas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Heri Hermana menambahkan, badak jawa mengalami sejumlah ancaman, baik dari ketersediaan makanan, letusan Gunung Krakatau, maupun penyebaran penyakit dari hewan ternak. KLHK melalui TNUK terus berupaya mencari solusi untuk menyelamatkan hewan langka itu.
“Badak jawa hanya ada di Ujung Kulon. Kita semua harus menyelamatkan badak jawa ini supaya anak cucu kita juga bisa melihat hewan ini,” ujarnya.DIAN DEWI PURNAMASARI)
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 September 2017, di halaman 14 dengan judul “Ancaman di Depan Mata”.