Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika memprediksi awal musim kemarau didominasi pada bulan Mei dan Juni. Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat menjadi wilayah paling awal mengalami musim kemarau.
Pada bulan Mei, persentase kumulatif wilayah yang memasuki musim kemarau sebesar 58,2 persen. Pada bulan Juni meningkat menjadi 87,1 persen dan pada Juli meningkat menjadi 95,6 persen. Adapun persentase tiap bulan yaitu, bulan April sebesar 17,3 persen, Mei sebesar 35 persen, Juni 28,9 persen.
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO–Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika memprediksi mayoritas wilayah di Indonesia akan mengalami awal musim kemarau pada bulan Mei dan Juni, Rabu (16/5/2018) di Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Hary Tirto Djatmiko mengatakan, wilayah pertama yang memasuki musim kemarau, yaitu Provinsi Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Riau, Sumatera Utara, dan Aceh. “Selanjutnya perlahan menuju ke arah barat dan utara,” kata Hary di Jakarta, Rabu (16/5/2018).
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO–Hary Tirto Djatmiko
Ia mengatakan, Pulau Jawa, sebagian Sulawesi, sebagian Kalimantan, Sumatera, sebagian Papua secara umum mulai kemarau pada bulan Mei. Hary mengatakan, prakiraan perubahan musim di Indonesia tidak dapat disamaratakan karena kondisi alam yang berbeda-beda.
Hary menyoroti wilayah Pulau Papua, sebagian Pulau Kalimantan, sebagian Pulau Sulawesi, dan sebagian Pulau Sumatera yang tidak memiliki kejelasan perbedaan antara musim hujan dan kemarau. Hal tersebut terjadi karena adanya hutan lebat.
Adapun pengaruh perubahan musim tersebut terjadi karena adanya pergerakan semu matahari dan suhu muka laut. Kondisi El Nino dan La Nina juga mempengaruhi perubahan iklim.
Berdasarkan pantau BMKG, pada April lalu kondisi La Nina dalam kategori lemah dan sudah berakhir menuju kondisi normal pada bulan Mei hingga Septermber 2018. BMKG memprediksi Samudera Hindia dalam keadaan normal pada periode April hingga September.
Sirkulasi angin regional didominasi angina Monsun Australia (angin timuran) pada hampir sebagian besar wilayah Indonesia bagian selatan khatulistiwa. Angin timuran membawa massa udara kering dari benua Australia, kondisi ini selaras dengan awal periode musim kemarau di Indonesia.
Awal puasa
Melihat kondisi iklim di Indonesia yang mulai memasuki musim kemarau, Hary menyarankan agar masyarakat yang sedang menunaikan ibadah puasa dapat menyesuaikan kondisi tubuhnya dengan situasi pada kemarau.
Ia mengatakan, pada awal kemarau suhu udara akan menurun dan massa udara basah. Hal tersebut berarti massa udara bercampur antara udara kering dengan uap air, serta memiliki kelembapan yang sangat besar.
Agar tubuh tetap sehat, maka dibutuhkan vitamin yang cukup dan menjaga kesehatan. Hary menyarankan agar masyarakat mengkonsumsi banyak cairan sebab akan terjadi panas terik pada puncak kemarau. Pada situasi tersebut terjadi aliran massa udara dingin dan kering.
Pada awal musim kemarau, panas tidak akan terik dan ada potensi hujan. “Penyebab dari panas terik, yaitu perubahan musim hujan menjadi kemarau,” kata Hary.
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO–Citra satelit cuaca Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Rabu (16/5/2018)
Pertanian
BMKG telah menginformasikan situasi awal musim kemarau di Indonesia kepada kemeterian dan lembaga terkait. Mereka merekomendasikan kepada Kementerian Pertanian dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menyiapkan pola tanam yang tepat.
Hary mengatakan, BMKG telah merekomendasikan kepada KLHK wilayah yang berpotensi memiliki titik panas. Hal tersebut akan berpengaruh pada tingkat ketersediaan air tanah.
Ia menyarankan agar petani mulai menanam tanaman palawija karena tidak membutuhkan banyak air. Secara terpisah, Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian Agung Hendriadi telah mensosialisasikan kepada petani, pola tanam yang cocok di musim kemarau. “Secara teknis irigasi masih tetap seperti biasa,” kata Agung.–PRAYOGI DWI SULISTYO
Sumber: Kompas, 16 Mei 2018