Sebanyak 23 juta pekerjaan di Indonesia bakal digantikan proses automasi pada tahun 2030. Meski demikian, 27-46 juta lapangan pekerjaan baru bisa diciptakan dalam kurun yang sama. Peluang hanya dapat dioptimalkan jika tenaga kerja di Indonesia memiliki keterampilan baru.
Peluang dan tantangan dari automasi, atau mengotomatiskan pekerjaan oleh bantuan mesin, ini didapatkan dari riset global oleh McKinsey & Company yang menganalisis dampak teknologi terhadap ekonomi, bisnis, dan masyarakat. Hasil riset yang terfokus pada implikasi penerapan automasi di Indonesia ini dirilis di Jakarta, Rabu (25/9/2019).
FRANSISKUS WISNU W DANY UNTUK KOMPAS–Kendaraan penanam tebu, salah satu inovasi yang ditampilkan di Balai Besar Mekanisasi Pertanian, Serpong, Tangerang, Jumat (28/9/2018). Sekitar 23 juta pekerjaan akan hilang pada 2030 menyusul terjadinya automasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Presiden Direktur PT McKinsey Indonesia Phillia Wibowo mengatakan, automasi bakal mengubah struktur dan lapangan pekerjaan di Indonesia. Sebanyak 23 juta pekerjaan diperkirakan akan hilang pada tahun 2030. ”Analisis kami terhadap sekitar 2.000 aktivitas di 800 jenis pekerjaan menunjukkan ada beberapa jenis aktivitas yang lebih rentan diganti automasi,” katanya.
Termasuk yang paling rentan di antaranya pekerjaan yang mengandalkan aktivitas fisik berulang serta pengumpulan dan pemrosesan data. Sementara pekerjaan yang paling sulit diautomasi antara lain manajerial, yang membutuhkan keahlian spesifik, dan interaksi dengan para pihak.
”Sekitar 16 persen aktivitas pekerjaan di Indonesia bisa diautomasi pada 2030, ini setara dengan 23 juta pekerja. Pada prinsipnya semua pekerjaan bisa diautomasi, bahkan sebagian tugas CEO juga bisa diautomasi, namun skalanya beda-beda,” kata Philia.
Di sisi lain, ada peluang pekerjaan baru yang muncul di era automasi. Akan ada 27 juta pekerjaan tambahan dari automasi ini, 9 juta pekerjaan tambahan jika ada peningkatan di bidang infrastruktur dan konstruksi properti atau real estate, dan 10 juta jenis pekerjaan yang belum pernah ada sebelumnya. Itu berarti secara keseluruhan Indonesia bisa mendapat keuntungan bersih pekerjaan 4-23 juta pekerjaan tahun 2030.
Menurut Phillia, peluang ini muncul karena Indonesia saat ini masih merupakan negara yang bertumbuh. Kebutuhan tenaga kerja di sektor konstruksi dan manufaktur akan terus meningkat, seperti halnya sektor akomodasi dan makanan, pendidikan, kesehatan, serta perdagangan ritel dan grosir. ”Beberapa negara maju justru akan mengalami minus peluang kerjanya akibat automasi,” ungkapnya.
Butuh transisi
Laporan itu juga menyebutkan, Indonesia mendapat keuntungan karena sukses memanfaatkan revolusi digital. Misalnya, perusahaan-perusahaan seperti Go-Jek dan Grab bertumbuh dan menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat yang tak memiliki pekerjaan dan yang bekerja tidak sesuai dengan keterampilan.
Pemasaran daring juga merupakan salah satu contoh bagaimana teknologi baru dapat menciptakan lapangan kerja. Pada tahun 2022 diperkirakan pemasaran daring dapat secara langsung maupun tidak langsung mendukung hingga 26 juta pekerjaan yang setara dengan pekerjaan purnawaktu.
Meski demikian, era automasi juga menuntut keterampilan baru. ”Tantangan terbesarnya adalah transisi untuk mempersiapkan tenaga kerja kita agar bisa beradaptasi dengan perubahan ke depan,” kata Phillia.
Vivek Lath, Associate Partner McKinsey&Company, mengatakan, bukan hanya keterampilan penguasaan teknologi, tetapi juga kemampuan sosial, emosional, dan kognitif. Misalnya, kreativitas dan kemampuan pemecahan masalah yang kompleks.
”Kebutuhan pendidikan untuk menghadapi era automasi bukan hanya hard skill, tetapi terutama soft skill, seperti kretivitas tinggi. Selain itu, yang paling penting juga dibutuhkan meta skill, yaitu perubahan pola pikir. Banyak situasi yang tidak terbayangkan sebelumnya, butuh kemauan untuk terus belajar dan cepat beradaptasi terhadap ketidakpastian dan perubahanh,” ujarnya.
Oleh karena itu, semua pemangku kepentingan termasuk pembuat kebijakan, institusi akademik, lembaga swadaya masyarakat, dan pelaku bisnis harus melakukan persiapan untuk menghadapi perubahan substansial dalam dunia kerja di masa mendatang. Indonesia membutuhkan strategi proaktif untuk menerapkan Artificial Intelligence (AI) dan otomasi agar mampu bersaing di pasar global dan ASEAN.
Sejak saat ini, lanjut Vivek, setiap perusahaan harus mulai mempersiapkan rencana dan transisi ke masa depan melalui program pembelajaran jangka panjang, baik bagi orang-orang yang segera terdampak maupun mereka yang baru akan terdampak di masa depan. ”Pemerintah juga perlu memikirkan untuk memberikan insentif kepada perusahaan untuk mendidik kembali karyawannya agar siap menghadapi perubahan,” ungkapnya.
Oleh AHMAD ARIF
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 26 September 2019