Jika berhasil disahkan, Australia akan mewajibkan Facebook dan Google membayar perusahaan media untuk setiap konten berita yang ditampilkan. Siapa yang untung, siapa yang rugi?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
REUTERS FILES. REUTERS/FILE PHOTOS— foto logo Facebook, Google, dan Twitter terlihat dalam sebuah kombinasi foto Reuters.
Sudah menjadi hal umum diketahui bahwa media konvensional terdisrupsi dengan keberadaan media sosial dan platform digital. Iklan yang menjadi penghasilan perusahaan media kini lebih banyak dikuasai oleh Google maupun Facebook.
Namun, bagaimana jika sebuah negara menyusun peraturan yang akan mewajibkan platform digital untuk membayar perusahaan media untuk setiap berita yang dibagikan di platform ataupun ditampilkan di laman mesin pencari?
Facebook menyatakan akan berencana melarang para penggunanya—baik pengguna biasa ataupun perusahaan media—untuk membagikan berita jika peraturan tersebut disahkan.
”Dengan berat hati, kami akan melarang perusahaan media dan pengguna di Australia untuk membagikan berita lokal maupun internasional di Facebook dan Instagram,” kata Managing Director Facebook Australia dan Selandia Baru Will Easton, Selasa (1/2/2020).
Ini adalah tanggapan terbaru Facebook mengenai rancangan undang-undang yang sedang disusun di Australia sejak April lalu.
Draf yang disusun oleh Komisi Konsumen dan Persaingan Usaha Australia (ACCC) tersebut akan mewajibkan platform digital untuk membagikan sebagian penghasilannya dari berita yang dibagikan atau muncul di platform tersebut dan membagikan data yang dihasilkan dari aktivitas pengguna platform digital yang membaca berita tersebut.
Artinya, platform digital, baik Facebook maupun Google, akan diwajibkan untuk membayar untuk setiap konten berita yang muncul di platform masing-masing.
Google pada pertengahan Agustus juga telah menyampaikan pernyataannya mengenai RUU ini. Managing Director Google Australia Mel Silva mengatakan bahwa Google harus membayar berita yang muncul di laman hasil pencarian Google.
”(Google) telah membayar industri media jutaan dollar dan mengirim miliaran klik ke situs mereka tiap tahun. Namun, kini sebuah peraturan akan mengancam layanan gratis yang Anda, warga Australia, nikmati, seperti Google Search dan Youtube,” kata Silva pada 17 Agustus.
Ketimpangan
Ketua ACCC Rodney Sims mengatakan hal itu diperlukan karena saat ini sedang terjadi ketimpangan kekuasaan antara industri media dan perusahaan platform digital, di mana sebetulnya platform tersebut membutuhkan konten yang dibuat oleh perusahaan media.
”Bayangkan bagaimana hasilnya kalau Google Search tidak mengagregasi konten berita? Saya kira penggunaan Google Search akan menciut,” kata Sims kepada surat kabar Financial Times.
Sebuah studi yang dilakukan oleh News Media Alliance, wadah dari 2.000 media AS termasuk New York Times; menyebut bahwa sekitar 40 pencarian terkini yang dilakukan pengguna di Google Search adalah untuk pencarian berita.
Untuk itu, Sims berharap regulasi yang saat ini disusun dapat membangun ekosistem yang lebih mencerminkan pentingnya posisi perusahaan media terhadap model bisnis Facebook dan Google.
”Saat ini ada ketimpangan posisi tawar yang timpang antara perusahaan media dan platform digital. Kami ingin sebuah mekanisme yang dapat memperhatikan ketimpangan ini dan berujung pada pembayaran yang sepadan terhadap konten yang dihasilkan perusahaan media,” kata Sims.
Tantangan berat
Apa yang sedang diupayakan oleh Pemerintah Australia bukanlah hal yang baru. Anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo, mengatakan, pada 2013, Pemerintah Jerman juga bahkan telah berhasil mengesahkan regulasi yang disebut sebagai ancillary copyright for press publishers atau hak cipta tambahan untuk penerbit pers.
Namun kata Agus, akhirnya regulasi ini dianggap tidak efektif karena sejumlah media memilih untuk kembali bekerja sama dengan Google setelah mereka kehilangan traffic masuk.
”Setelah Google menghentikan agregasi berita, sejumlah media itu balik arah dan malah kerja sama dengan Google lagi. Akhirnya regulasi ini ambyar,” tutur Agus.
Hubungan antara platform digital dan perusahaan media memang kompleks, menurut Agus. Bisa disebut sebagai frenemy (gabungan friend dan enemy, kawan dan lawan) atau coopetition (gabungan antara cooperation atau kerja sama dengan competition atau kompetisi).
Menanggapi ancaman Facebook yang akan menghilangkan konten berita dari platformnya, Agus mengatakan ini hal yang membahayakan untuk masyarakat. Artinya, tidak ada konten yang dapat menjadi pembanding untuk konten berita abal dan kabar bohong.
”Facebook menjamin enggak, bahwa setiap konten yang beredar di platformnya itu adalah kabar yang sesuai dengan kode etik? Konten yang tidak memecah belah masyarakat?” ujarnya.
Mengingat industri media Indonesia yang juga terdisrupsi dengan adanya platform digital ini, apakah memungkinkan regulasi yang sama diperkenalkan di Indonesia?
Menurut Agus, kondisi di Indonesia juga akan menantang. Berdasarkan catatannya, platform mesin pencari menjadi jalan utama pembaca untuk masuk ke laman media, 60-70 persen. ”Di Indonesia kondisinya adalah pembaca itu indirect access. Mereka ke search engine dulu baru masuk ke kanalnya,” katanya.
Berkaca pada pengalaman Jerman, Agus mengatakan, soliditas industri media Indonesia harus kuat; baik dari perusahaan besar maupun media yang kecil jika ingin meniru apa yang dilakukan oleh Jerman dan Australia.
”Tanpa agregasi dari Google atau distribusi lewat Facebook, traffic akan berkurang. Perlu puasa dulu mungkin untuk bisa mendapatkan masa depan yang lebih baik,” pungkas Agus.
Oleh SATRIO PANGARSO WISANGGENI
Editor: KHAERUDIN KHAERUDIN
Sumber: Kompas, 2 September 2020