Sesaat sesudah Matahari terbenam, tengoklah langit selatan. Jika langit bersih dan suasana sekitar cukup gelap, Anda akan menemukan sekumpulan bintang berderet membentuk formasi kalajengking, lengkap dengan capit di depan kepala dan ekor melingkar. Itulah rasi yang dalam astronomi disebut Scorpius atau dalam astrologi disebut Scorpio.
Bentuknya yang mirip dengan namanya membuat rasi Scorpius mudah dikenali. Tidak semua rasi yang penamaannya didasarkan mitologi Yunani atau Romawi mudah diidentifikasi, karena bentuk susunan bintangnya sulit dibayangkan sesuai namanya. Selain itu, Scorpius punya dua bintang yang masuk dalam 25 bintang terterang di langit malam, yaitu Antares atau Alfa Scorpii di bagian kepala dan Shaula atau Lamda Scorpii di ekor.
Selepas Maghrib, Kamis (17/9), Scorpius masih cukup tinggi di atas horizon. Rasi kalajengking itu baru tenggelam sekitar pukul 10 malam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Scorpius ada di langit malam antara Juni-November. Jika diamati pada waktu sama di awal malam, Scorpius akan terlihat di langit timur atau baru terbit bulan Juni, berada di zenit atau di atas kepala antara Agustus-September, dan terlihat di arah barat atau hampir tenggelam antara Oktober-November.
Salah satu versi dalam mitologi Yunani dan Romawi menyebut kalajengking dikirim dewi pemburu Artemis dan ibunya Leto untuk membunuh sang pemburu Orion yang berniat membinasakan semua hewan di Bumi. Dalam pertempuran, kalajengking menang. Zeus, raja para dewa, lalu menempatkan kalajengking di langit agar abadi.
Masyarakat Jawa mengenal Scorpius dalam beberapa nama, di antaranya Klapa Doyong, Banyak Angrem, Kala Sungsang, atau Sangkal Putung. Di beberapa daerah, disebut Ketonggeng, sejenis kalajengking hitam, tanpa sengat dan mengeluarkan bau menyengat jika terancam.
“Penyebutan satu obyek, termasuk benda langit, dengan beberapa nama berbeda, umum di Jawa,” kata peneliti etnoastronomi di Planetarium dan Observatorium Jakarta yang juga pembina Himpunan Astronomi Amatir Jakarta, Widya Sawitar.
Beda penyebutan untuk obyek yang sama itu bukan tanpa makna atau tujuan. Klapa Doyong yang berarti pohon kelapa yang tumbuh miring digunakan untuk menyebut Scorpius saat baru terbit. Pada posisi itu, ekor dan tubuh kalajengking yang miring dipersepsikan sebagai batang pohon kelapa yang condong, sedangkan kepala dan capitnya jadi daun pohon kelapa.
Nama Banyak Angrem yang berarti angsa mengeram digunakan untuk menyebut Scorpius saat berada di atas kepala. Sebagian bintang di kepala dan capit kalajengking digambarkan sebagai kepala angsa, sedangkan badan hingga ekornya dipandang sebagai leher dan tubuh angsa yang berkeluk.
Meski demikian, para ahli belum sepakat Banyak Angrem merujuk pada Scorpius. Ahli astronomi yang juga anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Bambang Hidayat, menyebut sejumlah literatur menunjuk Banyak Angrem pada Kantung arang atau Coalsack, yaitu nebula gelap di kiri bawah rasi Layang-layang, Gubuk penceng atau Crux.
“Wujud dan citra Coalsack yang kompak menyerupai sesuatu yang mengeram,” katanya.
Sementara itu, lanjut Widya, penyebutan Kala Sungsang dan Sangkal Putung merujuk pada Scorpius saat akan tenggelam di ufuk barat. Saat itu, kepala kalajengking di bawah dan ekornya masih menjulang ke atas. Jika Kala Sungsang berarti kalajengking dengan ekor di atas, Sangkal Putung adalah gagang golok terputus dari bilahnya.
Budaya pertanian
Apa pun nama yang digunakan, penyebutan Scorpius dalam masyarakat Jawa terkait erat dengan budaya pertanian mereka. Rasi Jawa lain yang namanya terkait pertanian, antara lain Gubuk Penceng atau gubuk miring, Wulanjar Ngirim (bintang Alfa Centauri dan Beta Centauri) yang melambangkan binar mata janda tanpa anak pembawa bekal ke sawah, serta Waluku (rasi Orion) yang menunjukkan bajak sawah.
Dalam kalander pertanian Jawa atau pranatamangsa, kemunculan Banyak Angrem merupakan penanda mangsa kalima atau musim kelima yang dinamai Manggala. N Daldjoeni dalam “Penanggalan Pertanian Jawa Pranatamangsa”, 1983, menyebut musim kelima berlangsung 13 Oktober-8 November.
Musim kelima ditandai mulai datangnya hujan, daun muda tumbuh, dan munculnya hama tikus dan ulat pohon jati. Musim kelima masuk dalam masa labuh atau transisi dari musim kemarau ke musim hujan. Dalam kondisi cuaca normal, hujan di Jawa memang mulai turun di akhir Oktober.
Pada rentang 13 Oktober-8 November itu, di awal malam, Scorpius berada pada ketinggian 30-40 derajat di atas horizon. Saat bersamaan, Kantung Arang sudah tenggelam dan tidak terlihat di langit malam. Jika rentang waktu musim kelima itu diundur hingga ke era sebelum Masehi dengan menggunakan peranti lunak Stellarium, Kantung Arang tetap tak terlihat.
Kondisi itu menguatkan dugaan Banyak Angrem adalah Scorpius. Itu sejalan dengan sistem peneraan langit masyarakat Jawa yang masih sederhana, yaitu apa yang tampak dijadikan tanda. Namun, posisi Scorpius yang hampir tenggelam membuat ia seharusnya dinamai Kala Sungsang atau Sangkal Putung.
Meski belum bisa dipastikan apakah Banyak Angrem mengacu pada Scorpius atau Kantung Arang, nama Banyak Angrem banyak digunakan masyarakat Jawa, seperti untuk nama tombak pusaka yang disimpan di museum atau nama tempat.
Berdasar mitologi, Widya mengatakan, keberadaan Banyak Angrem tak bisa dipisahkan dari legenda Dewi Basundari atau Sinta yang bertemu Dewa Wrahaspati. Basundari merupakan simbol Bumi, sedangkan Wrahaspati mengacu Lintang Wrahaspati atau Jupiter.
Dari pertemuan itu, Basundari menyatu dengan Wrahaspati. Titik temu Basundari-Wrahaspati itu dalam astronomi modern disebut sebagai ekuinoks, yaitu titik temu antara ekuator langit dan ekliptika atau jalur edar semu Matahari.
Saat ini, titik ekuinoks atau titik temu Basundari-Wrahaspati berada di arah rasi Pisces. Namun, titik pertemuan itu dulunya ada di Banyak Angrem atau Scorpius. Perubahan posisi titik ekuinoks itu terjadi akibat gerak presesi atau perubahan sumbu rotasi putar Bumi.
Dari perhitungan presesi Bumi, titik ekuinoks di Scorpius itu terjadi lebih dari 18.000 tahun sebelum Masehi. Karena itu, Widya yakin, “Sejak ribuan tahun lalu, nenek moyang masyarakat Jawa telah mengenal sistem perbintangan,” katanya.–M ZAID WAHYUDI
—————————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 September 2015, di halaman 14 dengan judul “Kalajengking Penghias Langit Malam”.