Kemunculan pola-pola lingkaran geometris di ladang pertanian atau crop circle selalu dikaitkan dengan kehadiran alien di tempat itu dengan mengendarai UFO. Dugaan tersebut didasarkan keyakinan bahwa manusia tak mampu membuat pola serumit itu dalam waktu singkat dengan hasil nyaris sempurna.
Keyakinan itu juga muncul terhadap pembangunan piramida di Mesir, Piramida Maya, hingga Candi Borobudur. Mereka yang percaya adanya kehidupan cerdas di luar Bumi yakin bangunan-bangunan kuno dengan ketelitian geometris tinggi itu terwujud berkat bantuan UFO dan alien.
Lalu, apakah UFO dan alien memang nyata adanya?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sesuai namanya, UFO atau unidentified flying object adalah obyek terbang yang tak dikenali. Bentuknya bermacam-macam, seperti titik cahaya yang diam sejenak dan menghilang cepat atau piring terbang. Padahal, UFO bisa jadi berupa pesawat terbang, pesawat militer rahasia, satelit mata-mata, atau meteor.
UFO juga selalu dikaitkan dengan alien, sang makhluk luar angkasa yang dalam film-film fiksi ilmiah digambarkan sebagai sosok makhluk kecil, berkepala gundul, telinga lebar, dan berwarna hijau. Ia digambarkan memiliki kekuatan super, termasuk mengubah dirinya sama persis dengan makhluk Bumi.
Dari asal katanya, alien berarti asing. Kata alien umum disandangkan pada hal apa pun yang dianggap asing, mulai dari makhluk aneh atau planet tak dikenal.
Meskipun ada laporan, foto, dan video yang menunjukkan keberadaan UFO dan alien, hingga kini tidak ada bukti ilmiah apa pun yang bisa menjelaskan fenomena itu. Karena itu, UFOlogi dikelompokkan sebagai pseudosains atau ilmu semu yang belum bisa dibuktikan dengan metode ilmiah dan tidak terukur.
Makhluk luar angkasa
Harapan akan adanya makhluk hidup lain di luar Bumi sebenarnya tidaklah berlebihan. Bumi, tempat tinggal manusia, hanyalah salah satu planet yang mengitari Matahari.
Matahari hanyalah satu bintang ukuran sedang di antara ratusan miliar bintang di Galaksi Bimasakti. Sementara Bimasakti adalah galaksi spiral raksasa anggota Local Group bersama puluhan galaksi lainnya. Local Group ini hanyalah satu kelompok kecil dari Superkluster Galaksi Virgo.
Bumi dan Matahari tidak memiliki kedudukan istimewa dibandingkan benda-benda langit lainnya. Dalam struktur skala besar alam semesta, keberadaan mereka dapat diabaikan karena tertutup oleh banyaknya superkluster galaksi.
Tepi alam semesta yang bisa dijangkau informasinya oleh manusia saat ini hanya sekitar 13 miliar tahun cahaya atau 1,23 x 10 kilometer.
Dengan banyaknya galaksi dan bintang serta ukuran alam semesta yang sangat luas, apakah memang ruang sebesar itu hanya dihuni manusia Bumi sendiri?
Mantan Kepala Observatorium Bosscha Taufiq Hidayat, pekan lalu, mengatakan, pandangan astronom tentang keberadaan makhluk luar angkasa terbagi dalam dua kelompok. Kelompok optimis yakin adanya makhluk berinteligensia tinggi di bagian lain semesta. Sementara kelompok pesimis percaya kehidupan cerdas hanya ada di Bumi.
”Para astronom sampai saat ini sepakat kehidupan di luar Bumi memang ada. Namun, kehidupan itu hanya berupa makhluk bersel tunggal, seperti mikroba, bukan kehidupan cerdas seperti manusia,” katanya.
Kemajuan penelitian astrobiologi membuktikan adanya jasad renik yang bisa bertahan hidup dalam kondisi Bumi serba ekstrem, mulai dari lingkungan dengan suhu tinggi, tanpa sinar Matahari, tak butuh oksigen, atau hidup dari zat-zat yang sangat beracun, seperti arsenik.
Karena itu, jasad renik tersebut diyakini juga mampu hidup dalam kondisi serba ekstrem di eksoplanet, satelit planet, hingga asteroid yang bertebaran di luar angkasa.
Pencarian
Walau demikian, upaya pencarian kehidupan cerdas di luar Bumi tetap dilakukan. Sejak 1959, sejumlah teori dan instrumen pengamatan dibangun untuk membuktikan adanya makhluk hidup di luar Bumi.
Salah satu pelopor utama pencarian kehidupan cerdas adalah astronom Frank Drake. Dengan persamaan Drake yang dikemukakannya, ia mencoba menghitung jumlah peradaban di seluruh alam semesta.
Untuk mendukung teorinya, ia mengamati dua bintang seukuran Matahari dengan teleskop radio berdiameter 25 meter di Green Bank, Virginia Barat, Amerika Serikat, pada 1960. Pengamatan selama empat bulan itu tidak memperoleh sinyal radio apa pun yang kemungkinan dipancarkan makhluk cerdas lain.
Govert Schilling dan Alan M MacRobert dalam The Chance of Finding Aliens di majalah Sky & Telescope, Desember 1998, menyebut kegagalan pencarian makhluk luar angkasa selama hampir setengah abad saat itu dinilai kelompok pesimis bukan karena kesalahan teori, tetapi karena hasil pengamatan memang tidak menunjukkan adanya kehidupan cerdas lain.
Jika kehidupan cerdas itu memang ada, dalam usia alam semesta yang lebih 13 miliar tahun tersebut seharusnya gelombang yang dipancarkan mereka sudah sampai ke Bumi.
Kelompok yang optimis menilai tidak diperolehnya informasi kehidupan cerdas lain karena karakter mereka yang memang tidak ingin menunjukkan diri, terjadinya evolusi biologis dan budaya, atau mereka tidak tertarik dengan kehidupan Bumi. Bisa juga karena teknologi mereka lebih rendah dibandingkan dengan teknologi manusia Bumi.
Kegagalan itu tak mematahkan semangat. Institut Pencarian Inteligensia Ekstragalaksi (Search for Extra Terrestrial Intelligence/SETI) pada 2007 mengoperasikan Sistem Teleskop Radio Allen.
Sebanyak 42 dari 350 piringan teleskop radio sudah difungsikan pada Mei 2009 untuk mencari sinyal-sinyal makhluk cerdas di luar Bumi. Gabungan teleskop radio yang masing-masing berdiameter 6,1 meter itu dinilai lebih efisien dibandingkan dengan membangun teleskop radio piringan tunggal yang berdiameter hingga ratusan meter.
Alan M MacRobert dalam The Allen Telescope Array: SETI’s Next Big Step di majalah Sky & Telescope, Maret 2010, menyebutkan, teleskop ini akan menyisir 100.000 hingga hampir sejuta bintang satu per satu.
Dengan melibatkan berbagai ahli dari berbagi bidang, mulai astronomi, mikrobiologi, hingga ahli komputer, mereka berharap akan memperoleh tanda-tanda kehidupan dari tetangga penduduk Bumi.
M Zaid Wahyudi
Sumber: Kompas, 31Januari 2011