Kepatuhan Aturan Kawasan Tanpa Rokok Rendah
Asap rokok terbukti memperburuk kualitas udara dalam ruangan, bahkan menjadikannya lebih buruk dari mutu udara di luar ruangan. Karena itu, kepatuhan terhadap kebijakan terkait kawasan tanpa rokok di sejumlah daerah perlu ditingkatkan.
Demikian hasil riset Inisiatif Pengendalian Tembakau (Bali Tobacco Control Initiative/ BTCI) terhadap 13 daerah di Indonesia yang dipaparkan pada diskusi “Pengendalian Tembakau untuk Mewujudkan Kota Sehat”, Rabu (16/12) di Kuta, Bali.
Pemantauan mutu udara itu dilakukan dengan mengukur particulate matter (PM) 2,5 mikrogram per meter kubik (mkg/m3) memakai alat ukur mutu udara di 1.440 lokasi kawasan tanpa rokok (KTR) di 13 daerah, yakni Denpasar, Jakarta, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Mataram, Medan, Pontianak, Jember, Solo, dan Makassar. Pengukuran dilakukan 15 menit di luar ruangan, 30 menit dalam ruangan, dan 15 menit kemudian di luar ruang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Koordinator Pemantauan Kualitas Udara dari BTCI Ketut Hari Mulyawan memaparkan, hasil pemantauan itu adalah mutu udara dalam ruang bisa lebih buruk daripada kualitas udara di luar ruang. Itu terjadi jika ada orang merokok dalam ruangan.
Dengan mengacu pada standar polusi udara 25 mkg/m3 oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), konsentrasi PM 2,5 mkg/m3 di dalam ruang yang ada orang merokok 84 mkg/m3. Padahal, konsentrasi PM 2,5 mkg/m3 di luar ruang saja 54 mkg/m3. “Tingkat kepatuhan KTR rendah ada di pasar, restoran, dan hotel. Ini sejalan dengan mutu udaranya,” ujar Hari.
Di ruangan udara terbuka pun, asap rokok membuat mutu udara buruk. Konsentrasi PM 2,5 mkg/m3 pada ruang udara terbuka di mana ada orang merokok 74 mkg/m3, jauh di atas standar polusi udara WHO yang sebesar 25 mkg/m3. “Kadang kita lihat di ruang beratap tetapi dinding atau jendela terbuka, ada orang merokok. Asap rokok itu perburuk mutu udara di situ,” ucapnya.
Ruang khusus
Selain itu, konsentrasi PM 2,5 mkg/m3 di ruang tertutup yang ada ruang khusus merokok 92 mkg/m3. Jadi, pemisahan perokok di ruang khusus tak menjamin mutu udara bagus di ruang yang berdampingan dengan ruang khusus merokok.
Hasil pemantauan mutu udara itu menunjukkan, tingkat kepatuhan pada regulasi KTR rendah. Masih ditemui orang merokok, asbak, puntung rokok, tercium asap rokok di kawasan yang seharusnya bebas dari asap rokok. Misalnya, di Bali, kepatuhan terhadap KTR baru 60 persen dari target 80 persen. Selain itu, asap rokok bisa membuat mutu udara dalam ruang lebih buruk daripada mutu udara luar ruang.
Hari mengakui, kualitas udara buruk tak hanya akibat asap rokok. Namun, buruknya mutu udara di dalam ruang, terutama karena asap rokok. Asap rokok dalam ruang menyebabkan jumlah perokok pasif saat ini lebih dari 97 juta orang.
Koordinator Smoke Free Jakarta (SFJ) Bernadette Fellarika Nusarrivera menyebutkan, khusus Jakarta, hasil pemantauan mutu udara yang dipaparkan BTCI sejalan dengan hasil pemantauan mutu udara SFJ pada 2013 di 88 lokasi. Hasil BTCI juga sejalan dengan hasil pemantauan kepatuhan KTR di Jakarta.
Menurut hasil pengawasan SFJ bersama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, rata-rata kepatuhan KTR di Jakarta 45 persen. Jakarta Barat jadi daerah dengan kepatuhan tertinggi dan Jakarta Timur adalah daerah dengan kepatuhan terendah. Mal, restoran, dan hotel menjadi lokasi dengan kepatuhan rendah.
Selain itu, hasil pemantauan saat bulan puasa dengan di luar bulan puasa berbeda signifikan. Di lokasi pemantauan, kandungan PM 2,5 mkg/m3 di udara 227,2 mkg/m3 di luar bulan puasa, dan saat bulan puasa 84,4 mkg/m3.
Kepala Subdirektorat Pengendalian Penyakit Kronik dan Degeneratif Kementerian Kesehatan Theresia Sandra menyatakan, hasil riset mutu udara oleh BTCI bisa dipakai sebagai alat advokasi bagi pemerintah daerah, pengelola lokasi yang masuk KTR, dan pemerintah pusat. Harapannya, kepatuhan KTR meningkat.
Bagi pemerintah pusat, hasil pemantauan itu jadi dasar kajian dalam membuat kebijakan KTR di kemudian hari. (ADH)
————————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Desember 2015, di halaman 13 dengan judul “Asap Rokok Perburuk Udara”.
——–
Perda KTR Terus Didorong
Pemerintah terus mendorong pemerintah daerah untuk membuat peraturan daerah tentang kawasan tanpa rokok (KTR). KTR diyakini menjadi instrumen yang dapat meningkatkan kualitas udara dan menurunkan prevalensi perokok, terutama remaja dan anak-anak.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI–Peserta menempelkan cap telapak tangan sebagai dukungan dalam kampanye “Komitmen Tidak Merokok” dalam rangkaian Hari Kesehatan Nasional di kawasan Monas, Jakarta, beberapa waktu lalu. Sosialisasi yang berkesinambungan mengenai bahaya rokok, terutama di lingkungan sekolah, merupakan salah satu upaya menekan jumlah perokok pemula.
Kepala Subdirektorat Pengendalian Penyakit Kronik dan Degeneratif Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Theresia Sandra mengatakan, Kemenkes terus mendorong daerah untuk memiliki regulasi KTR. Sejauh ini sudah ada 195 daerah yang memiliki regulasi KTR yang berupa peraturan daerah (perda), peraturan bupati, dan peraturan wali kota. Dari 195 regulasi KTR tersebut yang berupa perda baru sekitar 60 regulasi.
“Semula regulasi KTR yang bukan perda, yakni peraturan bupati atau peraturan wali kota, kami terima karena kami melihat yang terpenting ada upaya dari pemerintah setempat. Akan tetapi, kami tetap mendorong daerah untuk membuat regulasi KTR dalam bentuk perda,” tutur Sandra seusai pembukaan acara Tobacco Control for Healthy City, di Kuta, Bali, Rabu (16/12).
Menurut Sandra, selain kepatuhan KTR yang ditandai dengan adanya regulasi tentang KTR, Kemenkes juga menilai kepatuhan KTR di sejumlah daerah. Satu yang saat ini menjadi fokus penilaian ialah kepatuhan KTR di lembaga pendidikan. Seperti diketahui lembaga pendidikan menjadi salah satu lokasi yang diatur dalam KTR.
Menurut Sandra, regulasi KTR tidak hanya berlaku bagi siswa, tetapi juga tenaga pengajar dan orang yang berada di lingkungan sekolah. Dengan demikian diharapkan prevalensi merokok remaja menurun.
Dalam sambutannya pada acara tersebut, Technical Officer Tobacco Free Initiatives Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Indonesia, Farukh Qureshi, menyampaikan, isu pengendalian tembakau tidak hanya terkait kesehatan, tetapi banyak aspek, dari sosial, ekonomi, politik, hingga hukum.
Oleh karena itu, diperlukan dukungan yang lebih banyak lagi dari berbagai pihak juga advokasi yang komprehensif untuk menekan prevalensi merokok di Indonesia. “Advokasi pengendalian tembakau pada aspek sosial politik butuh perjuangan,” ujar Farukh.
Menurut Kepala Dinas Kesehatan Bali Ketut Suarjaya, persoalan rokok memang sangat terkait dengan banyak aspek. Perokok yang sudah kecanduan akan cenderung membelanjakan uang lebih banyak untuk rokok daripada untuk hal lain. Bahkan, merokok juga seolah menjadi bagian dari budaya sebab dalam beberapa acara budaya kerap disajikan rokok.
Kepala Dinas Kabupaten Klungkung Ni Made Adi Swapatni menambahkan, pada kegiatan adat biasanya banyak orang merokok, seperti di saat Ngaben.
Meski demikian, di salah satu wilayah adat di Kecamatan Nusa Penida, Klungkung, majelis agama setempat telah membuat kesepakatan bahwa tidak diperkenankan merokok pada acara adat atau pertemuan masyarakat. Mereka yang melanggar didenda empat kilogram beras. Kesepakatan ini ditegakkan oleh pecalang setempat.
Menurut Swapatni, contoh bagus di Desa Pakraman tersebut menurut rencana direplikasi ke desa lain di Klungkung. Saat ini, sosialisasi hal itu dilakukan oleh Bupati Klungkung ke daerah lain.
ADHITYA RAMADHAN
Sumber: Kompas Siang | 16 Desember 2015