Asap hasil pembakaran bahan biologis atau biomassa memicu munculnya penyakit paru obstruktif kronis. Penyakit ini menjadi penyebab kematian keempat di seluruh dunia.
Asap rokok menjadi penyebab utama pemicu penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Pemicu lainnya adalah asap pabrik, polusi kendaraan, asap hasil memasak makanan, dan debu bahan kimia hasil industri.
“Karena sering menghirup asap terutama asap rokok, otot pembuluh nadi menebal akibatnya saluran pernapasan menyempit. Gejalanya mirip asma, tetapi sebenarnya berbeda,” ujar Ketua Divisi Asma PPOK di Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Faisal Yunus, di sela-sela sosialisasi PPOK di Jakarta, Minggu (10/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Karena sering menghirup asap terutama asap rokok, otot pembuluh nadi menebal akibatnya saluran pernapasan menyempit.”
Faisal mengatakan, banyak masyarakat belum memiliki pemahaman dan kesadaran terhadap bahaya penyakit ini. Padahal, di Indonesia, diperkirakan terdapat 4,8 juta penderita PPOK dengan prevalensi lebih tinggi pada laki-laki (Kompas, 17/11).
Menurut Faisal, ada beberapa perbedaan antara PPOK dengan asma. PPOK cenderung muncul pada orang berusia 40 tahun ke atas dan gejalanya bersifat progresif. Penderita PPOK akan mengalami sesak napas, mudah letih, dan batuk berdahak dalam jangka waktu lama. Penderita meninggal dunia setelah sekian lama tersiksa akibat mengalami sesak napas.
“Pembuluh darah pada penderita asma bisa dilebarkan dengan obat, hal itu tidak terjadi pada PPOK,” katanya.
Deteksi dini
Untuk mencegah itu, pemeriksaan spirometri guna mendeteksi PPOK sedari dini diperlukan. Apabila gejala PPOK diketahui sejak awal, pencegahan dapat dilakukan.
Langkah berikutnya adalah berusaha menjauhi rokok, menggunakan masker di tempat dengan kualitas udara buruk, berolahraga secara rutin, dan tidak menggunakan bahan bakar biomassa di dalam ruangan yang ventilasinya buruk.
“Jahui rokok, gunakan masker di tempat dengan kualitas udara buruk, berolahraga secara rutin, dan tidak menggunakan bahan bakar biomassa di dalam ruangan yang ventilasinya buruk.”
Dalam kegiatan sosialisasi PPOK pada Minggu juga dilakukan pemeriksaan spirometri terhadap 278 orang. Hasilnya, kata Sekretaris Panitia Hari PPOK Sedunia 2017, Triya Damayanti, yang memiliki gejala PPOK sebanyak enam persen, rata-rata berusia di atas 35 tahun. Pemeriksaan spirometri itu belum spesifik dan masih bersifat awal.
“Angka ini cukup signifikan karena biasanya PPOK secara epidemiologi terjadi pada di atas 40 tahun, tetapi ternyata banyak yang punya gejala PPOK,” katanya. (DD10)
Sumber: Kompas, 12 Desember 2017