Dampak Buruk Investasi Rokok Belum Dihitung
Pemerintah dinilai belum konsisten menjalankan Nawacita selama 2015. Hal itu ditandai dengan kurangnya keberpihakan pemerintah dalam melindungi warga dari dampak buruk rokok. Bahkan, industri rokok dijadikan mitra kerja dalam pengambilan kebijakan.
Ketua Bidang Khusus Pengendalian Tembakau Pengurus Pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Widyastuti Soerojo memaparkan hal itu dalam acara Kaleidoskop Pengendalian Konsumsi Rokok: Quo Vadis FCTC? di Jakarta, Senin (21/12).
Empat dari sembilan butir Nawacita yang diusung pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla terkait dengan pengendalian konsumsi rokok. Empat hal itu ialah kehadiran negara melindungi bangsa dan memberi rasa aman, membangun tata kelola pemerintahan bersih, meningkatkan mutu hidup manusia Indonesia lewat program Indonesia Pintar dan Indonesia Sehat, serta memacu produktivitas rakyat dan daya saing pasar internasional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Harapan besar muncul saat Jokowi-Kalla terpilih jadi Presiden dan Wakil Presiden. Harapannya, pasangan ini bisa menghentikan Rancangan Undang-Undang Pertembakauan dan mengaksesi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC),” ujarnya.
Namun, sejumlah kebijakan dinilai tidak sesuai harapan. Pada 19 November 2014, misalnya, Menteri Perindustrian mengunjungi pabrik rokok Djarum di Kudus. Kunjungan itu bukan untuk mengendalikan produksi, melainkan sebaliknya.
Kemudian, pada 1 September 2015, Kementerian Perindustrian menerbitkan peta jalan produksi industri hasil tembakau (IHT) 2015-2020. Hal itu diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 63 Tahun 2015.
Salah satu sasaran peta jalan IHT ialah pertumbuhan produksi rokok terkendali secara regresi di kisaran 5-7,4 persen per tahun. Dengan perhitungan itu, pada 2020, produksi rokok Indonesia mencapai 524,2 miliar batang.
Amanat konstitusi
Wakil Ketua Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Abdillah Ahsan menyatakan, pengendalian dan pengawasan peredaran rokok telah menjadi amanat konstitusi, yakni Undang-Undang No 39/2007 tentang Cukai. Peta jalan IHT seharusnya berorientasi pada pengendalian, bukan peningkatan produksi.
“Masalahnya, Kementerian Perindustrian punya peta jalan IHT, sedangkan Kementerian Kesehatan punya peta jalan penurunan prevalensi perokok. Di negara lain, pejabat pemerintah malu kalau membela industri dan menjerumuskan rakyatnya,” kata Abdillah.
National Professional Officer Inisiatif Bebas Tembakau Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Indonesia Dina Kania menyampaikan, prinsip utama pengendalian tembakau ialah industri rokok bukan pemangku kepentingan.
Inkonsistensi pemerintah dalam melindungi masyarakat juga terlihat ketika pada Januari 2015 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta lewat Peraturan Gubernur DKI Jakarta No 1/2015 melarang reklame rokok di luar ruang. Peraturan itu ditentang Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan serta Direktorat Produk Hukum Daerah Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri.
Padahal, iklan menjadi media penghubung antara industri rokok dan remaja. Jika remaja makin kerap terpapar iklan rokok, hal itu akan membentuk persepsi bahwa rokok ialah produk normal dan merokok menjadi aktivitas yang terkesan positif.
Widyastuti menambahkan, bukti lain pemerintah tidak melindungi masyarakat dari industri rokok adalah masuknya pasal kretek dalam Rancangan Undang-Undang Kebudayaan, masuknya Rancangan Undang-Undang Pertembakauan dalam Program Legislasi Nasional 2016, dan rencana investasi Philip Morris senilai 1,9 miliar dollar AS.
Sementara itu, mantan Menteri Lingkungan Hidup yang juga pemikir kebangsaan, Emil Salim, mengatakan, bagi Presiden, investasi penting agar pembangunan berjalan. Namun, Presiden dinilai kurang mempertimbangkan dampak buruk investasi rokok bagi bangsa. Seharusnya investasi dari industri rokok, seperti Philip Morris, tidak disetujui. “Tak ada rem dari menterinya untuk mengingatkan,” ujarnya. (ADH)
———————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Desember 2015, di halaman 13 dengan judul “Arah Kebijakan Belum Konsisten”.