Ahli virus, imunologi, klinikus, dan epidemiologi Indonesia wajib memantau proses uji klinis fase 3. Akses terhadap data hasil uji klinis itu kunci penting untuk advokasi keputusan nasional yang bertanggung jawab.
Salah satu calon vaksin Covid-19 diujicobakan di Indonesia. Dalam dua bulan, data hasil uji coba dapat diperoleh. Jikalau uji coba itu menunjukkan potensi yang baik dan keamanan tinggi, Presiden dapat mengambil keputusan penting, yakni vaksin segera diproduksi dan tersedia mulai Oktober 2020.
Vaksin Covid-19 adalah intervensi farmasetikal yang ditunggu dunia untuk menghentikan pandemi Covid-19. Strategi non-farmasetikal seperti pembatasan sosial tak dapat diterapkan dalam waktu lama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Begitu dilonggarkan, kasus meledak lagi seperti terjadi di banyak negara. Pembatasan sosial sampai penutupan kota atau daerah harus diberlakukan kembali. Belum lagi kekhawatiran sejumlah negara bahwa gelombang kedua pandemi dapat saja terjadi setiap saat. Dampaknya pada perekonomian dan hajat hidup penduduk dunia akan sulit dibayangkan.
Kilat dan bervariasi
Oleh karena itu, riset vaksin Covid-19 dikebut dengan kecepatan luar biasa. Jika para ahli dan industri vaksin biasanya perlu 5-10 tahun hingga suatu vaksin dipasarkan, puluhan calon vaksin sudah memasuki fase uji klinis tahap 2-3 dalam waktu enam bulan sejak agen penyebab pandemi Covid-19 diungkapkan di China, akhir Desember 2019.
Jika fase 3 berlangsung 6-7 bulan, penulis berkeyakinan vaksin sudah siap dipasarkan pertengahan 2021. Ibarat menu makanan, ragam calon vaksin yang sedang diujicobakan bervariasi. Ragamnya berupa vaksin inaktif, vaksin berbasis DNA atau RNA, vaksin vektor adenovirus, dan vaksin sub-unit.
Vaksin inaktif mengandung virus Covid-19 yang dimatikan atau diinaktifkan dengan bahan tertentu. Adapun vaksin DNA mengandung DNA plasmid yang membawa gen penyandi protein Covid-19. Vaksin mRNA membawa mRNA yang menyandi protein Covid-19.
Vaksin vektor adenovirus adalah adenovirus yang tak lengkap di mana beberapa gennya disisipi gen Covid-19 dan saat disuntikkan pada orang, tidak mampu memproduksi virus adenovirus baru. Sel yang terinfeksi hanya bisa memproduksi protein virus Covid-19 saja. Vaksin sub-unit berisi hanya protein-protein virus Covid-19.
Semua jenis vaksin itu mempunyai kelebihan dan kekurangan. Jenis vaksin inaktif sudah umum dipasarkan untuk vaksin orang. Karena berisi virus utuh, walaupun diinaktifkan, respons imun dapat menyerupai respons alami. Vaksin ini memiliki beberapa kelemahan. Vaksin jenis ini perlu bahan penguat atau adjuvant. Bahan ini bisa memicu reaksi alergi.
Selain itu, vaksin jenis ini memerlukan pemberian ulang untuk memicu respons imun yang kuat dan lama. Kekebalan orang yang divaksin tertunda 1-2 bulan. Kekurangan paling dominan adalah skala produksi besar memerlukan infrastruktur mahal. Produksinya juga akan terbatas dalam beberapa juta dosis dalam satu bulan.
Vaksin berbasis gen (DNA atau RNA) dapat disiapkan dengan cepat. Respons imun yang kuat bahkan dapat dihasilkan cukup dengan pemberian tunggal vaksin mRNA. Akan tetapi, cara pemberian vaksin ragam ini masih sulit. Vaksin DNA bahkan perlu senjata khusus bertenaga listrik dalam pemberiannya yang disebut gene gun.
Kelemahan lain adalah ragam vaksin berbasis gen belum ada dipasarkan untuk orang. Di samping itu, vaksin yang menunjukkan kinerja baik pada uji praklinis pada hewan coba bisa saja gagal pada orang.
Vaksin adenovirus juga dapat disiapkan dengan cepat. Karena dalam bentuk virus adenovirus tidak komplet, pemberian mudah, tak perlu bahan penguat, bahkan dapat diberikan dengan tetes mulut atau semprotan hidung. Respons imun yang kuat dan bertahan lama dapat dihasilkan dengan pemberian tunggal, seperti vaksin mRNA. Kekurangannya, vaksin jenis ini belum dipasarkan untuk orang. Di samping itu, jika orang bersangkutan punya antibodi terhadap adenovirus, respons vaksin jadi kurang baik.
Produk vaksin berbasis protein sub-unit sudah ada yang dipasarkan dan sudah terbukti berkhasiat. Contohnya vaksin hepatitis B. Pengembangannya juga cepat. Hanya saja, vaksin jenis ini perlu vaksin ulangan seperti pemberian vaksin inaktif. Kekebalan yang bersangkutan tertunda 1-2 bulan. Produksi vaksin sub-unit dalam jumlah besar (scale-up) juga masih sering menemui kendala.
Menunggu vaksin lokal
Calon vaksin inaktif asal China ramai diberitakan sudah tiba di Indonesia. Uji klinis fase 3 segera dilakukan di Indonesia, Bangladesh, dan Brasil. Vaksin berbasis adenovirus asal Korea Selatan secara samar-samar diberitakan akan dicoba di Indonesia juga. Namun, pemberitaannya belum seramai calon vaksin asal China.
Dalam fase pandemi, semakin banyak calon vaksin, semakin baik. Untuk mengurangi penularan antarorang, proporsi penduduk yang kebal virus Covid-19 mesti minimal 50 persen dari jumlah populasi. Idealnya bahkan 70 persen.
Dengan asumsi beberapa persen orang yang divaksin tak memberikan respons sama sekali, proporsi penduduk yang divaksin mesti sekitar 80 persen. Jika dibandingkan jumlah penduduk Indonesia, itu sama dengan 215 juta orang. Jika pemberian vaksin mesti diulang, kebutuhan nasional bisa mencapai 430 juta dosis. Ini jumlah yang besar.
Volume itu sebaiknya dapat dicapai dalam waktu maksimum enam bulan atau bahkan kurang. Lebih cepat lebih baik. Menunggu lebih lama hanya akan menekan ekonomi lebih besar. Produksi permulaan dapat segera diberikan kepada kelompok penduduk rentan dan tenaga kesehatan.
Dengan memperhatikan perkembangan virus Covid-19 di dunia, penulis prediksi kebutuhan vaksin tampaknya akan panjang. Vaksin made-in Indonesia harus segera diupayakan. Jika Indonesia bisa, ini akan jadi keunggulan bangsa dan dapat menekan pemborosan devisa. Informasi yang tersedia di laman Ristek/BRIN menjelaskan, upaya pengembangan vaksin dengan berbagai platform tengah dilakukan di Indonesia.
Vaksin terbaik produksi dalam negeri pasti akan tersedia. Pada hemat penulis, saat ini vaksin buatan peneliti dalam negeri belum siap karena para ahli Indonesia terlambat memulai. Namun, untuk sementara, kerja sama dengan pihak luar negeri dalam uji klinis fase 3 mesti digenjot.
Jika bisa, calon vaksinnya akan baik jika lebih dari satu. Semakin banyak semakin baik. Jika menggunakan platform yang berbeda, produksi besar-besaran dapat disiapkan bersamaan. Kebutuhan nasional segera dapat dipenuhi.
Penulis punya catatan untuk calon vaksin inaktif asal China. Uji praklinis pada mencit, tikus, dan kera memang sudah dipublikasikan di majalah ilmiah Science (3/7/2020), dengan hasil cukup menjanjikan. Data hasil uji klinis fase 1 dan 2 dari vaksin itu belum tersedia. Penulis berharap datanya segera tersedia sebelum uji klinis dimulai di Indonesia. Dengan data itu, edukasi publik yang berbasis data dapat dilakukan.
Jikalau uji klinis fase 3 itu dijalankan, ahli virus, imunologi, klinikus, dan epidemiologi Indonesia wajib memantau prosesnya. Jika datanya dapat dikumpulkan dalam waktu 1-2 bulan dan menunjukkan khasiat serta keamanan yang baik, Presiden dapat diadvokasi untuk mempertimbangkan pemberlakuan calon vaksin itu sebagai vaksin pandemi yang bisa diaplikasikan segera, paling cepat Oktober tahun ini.
Akses terhadap data hasil uji klinis itu kunci penting untuk advokasi keputusan nasional yang berani dan bertanggung jawab. Ini harapan dan upaya bersama.
GN Mahardika, Guru Besar Virologi Universitas Udayana, Bali.
Sumber: Kompas, 14 Agustus 2020