”Untunglah di tengah zaman yang membuat orang mudah digelincirkan oleh kemudahan teknologi masih banyak orang—penulis, seniman, dan ilmuwan—yang masih suka melakukan pekerjaan orisinal.” (Sarah Wilensky, mahasiswa senior di Universitas Indiana, seperti dikutip Trip Gabriel, ”International Herald Tribune”, 3/8/2010)
Ada momen menarik ketika berlangsung wawancara kandidat untuk Eisenhower Fellowship 2011 di Jakarta, Selasa (3/8). Ketua Panitia Seleksi, yang juga mantan Menteri Koordinator Perekonomian, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti kepada salah seorang kandidat yang berlatar belakang teknologi- informasi-komunikasi (TIK) menyampaikan, dengan berbagai prospek yang ada pada TIK, satu hal masih menyisakan misteri, mengapa di Indonesia TIK tidak mampu mengubah perilaku buruk yang ada, seperti tindak korupsi. Padahal, di negara-negara maju, TIK banyak melahirkan keterbukaan dan transparansi yang selanjutnya menggentarkan siapa pun yang masih ingin terus bertindak buruk di hadapan publik. Prof Dorodjatun condong menyimpulkan, di negeri ini TIK tidak punya peran mendobrak.
Pada sisi lain, tidak sedikit orangtua dan pendidik yang berbangga, TIK berhasil memperlihatkan diri sebagai equalizer atau perata antara yang masih kekurangan akses dan yang sudah kelebihan akses terhadap TIK. Kebanggaan juga datang dari orangtua atau guru di kota kecil yang anak dan muridnya mampu mendapatkan informasi—misalnya untuk mengerjakan PR atau tugas lain—dengan mengakses internet.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tetapi, rupanya kebanggaan di atas baru merupakan satu sisi yang tampil menonjol pada era internet sekarang ini karena itu belum mengungkapkan bagaimana informasi tadi diperoleh dan diperlakukan.
Masih segar dalam ingatan, sejumlah kasus penyontekan atau plagiarisme terungkap di media massa, dan cara terungkapnya tidak kurang dan tidak lebih juga melalui teknologi digital internet. Di lingkungan akademik, di sekolah dan universitas, sebenarnya mekanisme dibuat lebih ketat. Pemanfaatan materi yang dilindungi hak kekayaan intelektual harus disertai persetujuan tertulis pemegang hak, proses yang tidak jarang lalu membuat penyelesaian pekerjaan jadi lebih lama.
Lebih jauh lagi, di internet juga banyak dipasang program/perangkat lunak yang bisa melacak aksi plagiarisme. Misalnya, dengan program WriteCheck (yang didukung oleh Turnitim), pemeriksa bisa mengecek, di bagian mana satu karya yang diajukan mahasiswa (atau peserta lomba karya tulis) tampak tidak orisinal. Dengan program semacam itu pula, mahasiswa bisa diperingatkan agar jangan sampai terperangkap dalam tindakan plagiarisme.
Namun, sungguh mengejutkan, di tengah upaya sungguh-sungguh untuk mencegah meluasnya plagiarisme, masih saja praktik ini terjadi. Sebagian bahkan disebut dilakukan tanpa sadar oleh pelaku.
Laporan dari AS
Dalam laporannya di harian International Herald Tribune, Selasa (3/8), Trip Gabriel mengangkat praktik copy-and-paste di kalangan mahasiswa AS. Mahasiswa yang sering melakukan hal itu disebutkan merasa tidak perlu menyebutkan sumber yang ia kutip dalam tugas kuliahnya karena halaman yang ia kutip tak mencantumkan informasi tentang penulis.
Ada juga mahasiswa lain yang sampai harus dimarahi karena mengopi dari Wikipedia untuk tugas membuat karya tulis tentang Depresi Besar. Ia berkilah, entri yang ia ambil tidak bernama dan ditulis secara kolektif, dan oleh karena itu, ia berpandangan tidak perlu dikredit karena—pada dasarnya—itu merupakan pengetahuan umum.
Pada masa lalu para guru dan dosen pembimbing, bukan hanya di universitas Amerika, melainkan juga di Indonesia, mengingatkan mahasiswa agar memberi kredit pada sumber yang ia kutip, mengikuti tata cara pengutipan, guna menghindari plagiarisme.
Konsep hak kekayaan intelektual, hak cipta, dan orisinalitas di era internet kini cenderung tidak diakui. Tersedianya fasilitas copy dan paste di internet memang telah memudahkan pekerjaan. Tetapi, yang lebih jauh adalah internet juga telah meredefinisi bagaimana mahasiswa—yang hidup pada era berbagi file musik, Wikipedia, dan pencantolan web—memahami konsep menghasilkan karya (authorship) dan singularitas setiap teks atau gambar (image).
Pengamatan Teresa Fishman, Direktur Pusat Integritas Akademik di Clemson University, South Carolina, menyebutkan bahwa kini ada generasi mahasiswa yang tumbuh dengan informasi yang tampaknya terhampar di jagat siber dan kelihatannya tanpa pengarang. Ia, seperti dikutip Gabriel, menambahkan, banyak yang menganut pandangan bahwa informasi itu ada di sana untuk dimanfaatkan.
Berdasarkan survei, apabila pada awal dasawarsa ini persentase yang menganggap mengopi dari web merupakan ”penyontekan serius” adalah 34 persen, kini angka tersebut sudah menurun jadi 29 persen. Pada zaman online, ”Semua bisa jadi milik Anda, dengan mudah,” ujar Sarah Brookover, mahasiswa senior di Rutgers University. Ia membandingkan itu dengan zaman perpustakaan yang penuh dengan rak buku. Dengan menyusuri rak-rak buku, dan mencari buku yang diperlukan, mahasiswa bisa lebih menyadari bahwa apa yang ada di buku tadi ”bukan miliknya”.
Etika dan etos kerja
Datangnya teknologi digital dan era internet dengan segala kemudahannya ditengarai telah melonggarkan definisi orisinalitas karya. Kalaupun memang zaman yang berubah memungkinkan lahirnya redefinisi tentang orisinalitas, ada hal lain yang masih berat untuk ditoleransi kemerosotannya, yakni soal etos kerja. Melonggarkan aturan tentang plagiarisme hanya akan menciptakan insan-insan malas, yang hanya akan puas dengan karya yang sudah terbit sebelumnya.
Peradaban juga akan ikut dirugikan karena plagiarisme—ditandai dengan aktivitas mencomot, meramu, dan menjodoh-jodohkan— tak akan menghasilkan kreativitas. Meskipun diakui dunia tak kekurangan insan kreatif sebagaimana dikutip pada awal tulisan ini, pelajaran tentang etika dan etos bekerja perlu setiap kali diulang.
Para guru, dosen, penulis, wartawan, yang banyak terlibat dalam pekerjaan tulis-menulis—yang tetap dianggap sebagai salah satu aktivitas kreatif yang penting bagi peradaban—bisa ikut menjawab pertanyaan aktual dewasa ini, ”Apakah copy-and-paste merupakan musuh berpikir?”, dan memikirkan jawabannya sebagaimana dilakukan oleh Jamie McKenzie, redaktur From Now On, sebuah jurnal teknologi pendidikan. [NINOK LEKSONO]
Sumber: Kompas, Rabu, 4 Agustus 2010 | 03:45 WIB