BPBD Diminta Melanjutkan Latihan Evakuasi Mandiri
Temuan terbaru tentang sejarah dan potensi keberulangan gempa besar di beberapa kota besar di Indonesia, terutama di Jakarta dan Pulau Bali, menuntut antisipasi serius. Selain diperlukan revisi peta gempa Indonesia, penerapan standar bangunan tahan gempa tidak bisa diabaikan lagi.
“Temuan tentang potensi gempa besar di Jakarta harus disikapi serius. Para pengembang mesti memperhitungkan aturan sipil tentang standar bangunan yang aman gempa bumi. Sedimen tanah di Jakarta dan sekitarnya sangat tebal sehingga bisa memicu amplifikasi tinggi jika ada gempa besar,” kata Daryono, Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Kamis (22/10) di Jakarta.
Daryono juga menyarankan pentingnya penguatan bangunan tua ataupun bangunan yang telanjur dibangun tetapi belum menaati aturan standar bangunan tahan gempa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Perlu juga pemetaan rinci mikrozonasi seismik. Ini perlu dilakukan karena tingkat kerusakan bangunan tak hanya akibat besarnya magnitude atau jarak dari pusat gempa, tetapi kondisi tanah setempat sangat menentukan,” ucapnya.
Ahli konstruksi bangunan tahan gempa dari Universitas Islam Indonesia, Sarwidi, mengkhawatirkan rumah rakyat yang dibangun tanpa arsitek atau standar bangunan tahan gempa.
“Untuk bangunan teknis, mungkin sebagian sudah mengikuti standar bangunan tahan gempa. Masalahnya, hampir 90 persen bangunan di Indonesia dibangun sendiri atau nonteknis, tak ada yang pantau mutunya,” ujarnya.
Sarwidi mengatakan, meski sudah ada standar bangunan tahan gempa, tak menutup kemungkinan bangunan yang ada menyimpang dari standar. Sebagaimana terjadi dalam sejumlah gempa, banyak bangunan publik dan bangunan pemerintah justru ambruk. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi menyeluruh dan disesuaikan dengan peta kegempaan terbaru.
Sebelumnya diberitakan, temuan sejarah gempa besar yang menghancurkan Jakarta pada 1699. Hal itu kemudian dimodelkan ahli gempa Phil R Cummins dari Australian National University. Magnitudo gempa pada tahun itu bisa mencapai lebih dari magnitudo 8 (Kompas, 21/10).
Sementara penelitian ahli gempa dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Irwan Meilano, dan timnya berdasarkan pergerakan global positioning system (GPS) menemukan, Bali berpotensi dilanda gempa besar dari zona pergerakan di sebelah utara. Catatan Arthur Wichman tentang gempa dan tsunami yang melanda Bali utara pada 1815 menguatkan riset itu (Kompas, 22/10).
Bukti kuat
Daryono menyatakan, berdasarkan kajian yang dilakukannya, kegempaan lokal daerah Bali menunjukkan ada struktur sesar naik di utara Pulau Bali. Hal itu berdasarkan fakta, mayoritas kedalaman hiposenter di Laut Bali lebih dangkal dibandingkan hiposenter di daratan Pulau Bali. “Sejarah panjang kegempaan di Bali mencatat, di Pulau Bali setidaknya terjadi empat kali gempa bumi kuat dan merusak yang menimbulkan korban jiwa, yakni gempa bumi Bali tahun 1815, 1917, 1976, dan 1979,” ujarnya.
Struktur geologi sesar naik belakang busur Pulau Bali hingga Pulau Wetar, lanjut Daryono, merupakan generator gempa bumi yang memiliki potensi besar bisa memicu terjadinya tsunami. Selain karakteristik hiposenter gempa buminya dangkal, mekanisme sumbernya berupa penyesaran naik.
“Salah satu syarat penting terbentuknya tsunami adalah terganggunya kolom air laut akibat terjadi penyesaran naik di dasar laut. Ini terbukti saat tsunami Flores pada 12 Desember 1992, yang menelan korban sekitar 2.100 orang,” katanya.
Hasil studi paleotsunami yang dilakukan BMKG tahun 2011 hingga 2014 di pesisir utara Bali kian menguatkan jejak tsunami di Bali pada masa lalu. Hal itu didukung dengan survei stratigrafi (perlapisan) di lapangan dan analisis laboratorium.
Berdasarkan sampel sedimen di lokasi pengambilan sampel daerah Lokasegara dan Tamansari, berjarak lebih kurang 34 meter dari pantai, memperlihatkan, setidaknya ada 10 stratigrafi lapisan, dan dua di antaranya diduga kuat sebagai lapisan tsunami deposit.
Mengantisipasi hal itu, tahun ini BMKG sudah membangun tiga sirene tsunami, 2 unit di selatan (Tabanan dan Serangan) dan 1 unit di utara (Buleleng).
“Kami juga pernah latihan evakuasi mandiri. Harapannya, Badan Penanggulangan Bencana Daerah melanjutkannya,” kata Daryono. (AIK)
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Oktober 2015, di halaman 13 dengan judul “Antisipasi Gempa di Kota-kota Besar”.