Satu lagi tokoh pendidikan negeri ini berpulang keharibaan-Nya. Senin (4/3) malam, bekas Rektor Institut Pertanian Bogor Profesor Andi Hakim Nasution meninggal dunia di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto Jakarta. Pendidik yang juga gigih memperjuangkan jalur penelusuran minat dan kemampuan di IPB itu wafat akibat kanker prostat. Sebelum dikebumikan di Pemakaman Blender Bogor, almarhum sempat disemayamkan di Kampus Baranangsiang IPB, kemarin.
Segenap Civitas Akademika IPB hadir dalam prosesi penghormatan terakhir terhadap almarhum. Prosesi penghormatan terakhir juga dihadiri Menteri Pendidikan Nasional Malik Fajar dan bekas Menteri Negara Urusan Pangan A.M. Saefuddin. Dalam pidato atas nama pemerintah, Mendiknas mengatakan, laki-laki kelahiran Jakarta, 30 Maret 1932 itu layak disebut sebagai tokoh pendidik dan tokoh ilmuwan sejati yang banyak memajukan dunia pendidikan nasional. Maklum, selama hidupnya, Pak Andi–biasa almarhum dipanggil–memang dikenal sangat gigih mengembangan ilmu matematika dan biologi.
Pujian buat suami Amini Soekadi itu juga datang dari Rektor IPB Aman Wirakartakusuma. Aman memuji kegigihan almarhum dalam memperjuangkan IPB–saat Andi menjadi Rektor IPB selama dua periode: 1978-1987–sebagai kampus teknologi dan sains yang humanis. “Saya ingat bagaimana Pak Andi mempertahankan Kampus IPB Baranangsiang agar tidak di-ruilslag menjadi pusat perbelanjaan,” kata Aman mengenang kegigihan bapak tiga anak–Marlina Dumasari, Andini Nauli, serta Nizwar Hidayat–dan tiga cucu itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Memang, selama hidupnya Pak Andi lebih banyak menghabiskan waktu di dunia pendidikan Indonesia. Terutama yang menyangkut ilmu matematika dan pengetahuan alam. Buktinya, mantan Guru Besar Statistika IPB itu telah menerbitkan beberapa buku panduan matematika dan IPA, baik untuk tingkat sekolah dasar, menengah pertama, menengah atas, hingga perguruan tinggi. Bahkan, hingga kini, buku-buku buatan sarjana lulusan Fakultas Pertanian IPB (1958) itu masih menjadi panduan sebagian besar guru matematika di Tanah Air.
Buat mahasiswa yang pernah diajarnya, Pak Andi masuk dalam jajaran dosen killer dan mahal senyum. Mereka yang pernah dibawahinya, tahu bagaimana disiplin atasan yang satu ini dalam pekerjaan. Tapi, buat teman-teman sejawatnya, lelaki sederhana ini kerap diandalkan dalam saat-saat sulit. Menanggapi itu, beberapa waktu silam Pak Andi pernah berujar, “Itu memang taktik saya dalam mengajar. Saya ceritakan banyolan yang bukan banyolan biasa. Sengaja saya mendidik mereka untuk berpikir. Setelah beberapa saat baru mereka tertawa, tapi saya diam saja,” kata ahli statistika eksperimental lulusan School of Physical Sciences and Applied Mathematics, North Carolina State University di Raleigh, negara bagian North Carolina, Amerika Serikat pada 1964 itu.
Namun, untuk orang yang mengenalnya lebih jauh akan menemui sosok Andi yang penuh welas asih. Satu sikap welas asih itu di antaranya adalah keinginannya menolong anak-anak dari berbagai daerah terpencil di Indonesia untuk mendapatkan kesempatan belajar di perguruan tinggi, sekaligus memperoleh calon mahasiswa tangguh buat IPB. Hasilnya, pada 1975 lahir Program Perintis II di IPB. Bukan cuma itu, terobosan lain yang dilakukan pria bertinggi 176 centimeter itu adalah merintis kehadiran Program Pascasarjana IPB dan membidani kelahiran Fakultas MIPA IPB.
Bukti lain kesederhanaan Andi dapat dilihat dari kepasrahannya saat menerima jabatan Dekan FMIPA IPB. Bahkan, dia menilai jabatan dekan tak lebih rendah dari pada rektor. “Keliru kalau ada yang menganggap ini lebih rendah. Yang menetapkan eselon adalah peraturan pegawai negeri. Oleh karena itu orang kalau sudah jadi rektor tidak mau jadi guru besar biasa di perguruan tinggi? Tidak juga kan. Memang saya dididik untuk mengajar kok,” ujar anak pertama dari Nasution senior itu kalem.
Pada lain kesempatan, Andi berpendapat, sistem pelajaran yang baik untuk Indonesia adalah di mana setiap orang di Tanah Air mendapat kesempatan sama buat pendidikan. Karena itu, ia sangat takut dengan apa yang dinamakan seleksi. Sebab, menurut Andi, di mana pun juga yang menjadi ahli pikir itu sudah terseleksi, walaupun tidak sekolah dia sudah terseleksi. “Saya kira orang-orang begini bisa otodidak, seperti Perdana Menteri Inggris John Major,” kata penulis buku Strategi Belajar untuk Mahasiswa.
Dia pun mengkhawatirkan program pendidikan dasar yang sembilan tahun. Karena semua orang harus bisa lulus dari situ. Seharusnya, tambah Andi, persyaratan itu harus direndahkan. Jadi dalam program ini harus ditinjau lagi siapa yang boleh meneruskan, siapa yang tidak. Sedangkan untuk tidak mempunyai kemampuan, kita harus bisa membuat mereka mendapat pencarian dan nilai tambah sehingga mereka juga dapat masuk dalam proses produksi nasional. Di samping itu, ia juga tak setuju bila pendidikan SD di pedesaan membuat orang hanya bisa menjadi petani lagi. “Untuk itu pemerintah daerah harus menghilangkan sikap primordial suku yang hanya ingin menonjolkan kedaerahannya,” ungkap Andi, serius.(ICH/AAI/Tim Liputan 6 SCTV)
Sumber: Liputan6.com, 06/03/2002 21:28