Berita akan masuknya perguruan tinggi asing menghiasi banyak media massa pada Selasa (30/1/2018). Menristek dan Dikti menyatakan rencana beroperasinya beberapa perguruan tinggi asing di Indonesia.
Hampir semua media massa cetak maupun daring memberitakan rencana masuknya perguruan tinggi (PT) asing itu ke Indonesia. Berita ini tentu saja memancing banyak perhatian karena pendidikan menyangkut hajat hidup orang banyak. Bagaimana kita harus menyikapinya?
Konsekuensi
Awalnya adalah keikutsertaan Indonesia dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Salah satu aspek yang dicakup oleh WTO adalah perdagangan jasa yang diatur dalam General Agreement on Trade in Services (GATS). GATS sebagai salah satu lampiran dari Perjanjian Pembentukan WTO meletakkan aturan-aturan dasar bagi perdagangan internasional di bidang jasa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selain itu juga ada Schedule of Specific Commitments yang berisi daftar komitmen dan jadwal Indonesia. Sifatnya spesifik dan menjelaskan sektor dan transaksi di bidang jasa mana saja yang terbuka bagi pihak asing serta kondisi-kondisi khusus yang disyaratkannya. Sebagai anggota WTO, Indonesia tentu saja tidak dapat menghindar dari berbagai perjanjian liberalisasi perdagangan, termasuk perdagangan jasa pendidikan.
Komitmen Indonesia untuk membuka jasa pendidikan tinggi terbatas sudah disampaikan pada 2005 dalam Conditional Initial Offer Indonesia untuk Subsektor Pendidikan Tinggi pada GATS. Juga Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal, di mana pendidikan tinggi, khususnya jasa pendidikan tinggi program gelar swasta dan jasa pendidikan tinggi non-gelar swasta, dimasukkan ke dalam daftar bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan. Jadi, ini bukan kebijakan mendadak yang diambil pemerintah saat ini.
Maka, sebagai konsekuensinya, Indonesia tidak bisa mundur lagi. Beberapa negara, terutama Australia, sangat berminat membuka perguruan tinggi di Indonesia. Untuk itu, pemerintah menetapkan beberapa syarat.
Pertama harus di bidang sains, teknologi, rekayasa, dan matematika. Lokasi yang diizinkan untuk membuka universitas asing terbatas, harus ada partner lokal, investasi modal maksimum 67 persen, PT harus sudah terakreditasi di negaranya, dan tidak boleh lebih buruk mutunya daripada PT domestik.
Masyarakat memang banyak terkejut dengan pembukaan pintu masuk PT asing ini. Mereka berpikir bahwa ini akan berbahaya bagi masa kita karena di sanalah ditanamkan nilai-nilai kebangsaan, nasionalisme, dan religiusitas. Namun, tidak jarang juga yang berpendapat bahwa inilah saat yang bagus agar dunia pendidikan tinggi kita bangkit meningkatkan mutu menghadapi pesaing asing. Persaingan dari dalam sendiri dirasa masih kurang memberikan efek pembangkit yang besar.
Sudah pasti PT swasta akan keberatan dengan kehadiran PT asing ini, seperti disampaikan Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi). Mereka akan mendapatkan pesaing berat. PT asing tentu akan datang dengan modal yang lebih baik dari sisi jumlah dana dan mutu SDM.
PTS dan PTN dalam negeri yang masih minim mutunya akan menghadapi tantangan berat. Jika alasannya PT belum siap, maka PT itu tetap merasa tidak akan pernah siap jika saja pembukaan pintu masuk PT asing diundur lagi, karena rencana ini sebetulnya sudah berlangsung sejak 2005 ketika era pemerintahan SBY. Banyak PT yang kurang serius menyiapkan diri untuk berkompetisi global.
Impak
Apakah ini akan membawa pengaruh besar terhadap PT kita? Kita perlu melihat kategori PT kita. PT bisa dikelompokkan paling tidak ke dalam tiga kelas. Kelas pertama, PTS besar dan menengah yang sungguh-sungguh berusaha menciptakan layanan pendidikan tinggi yang berkualitas. Mereka komersial tentu, tetapi kualitas tidak dilupakan. Ini bisa dilihat dari kualifikasi para dosennya, kinerja penelitian, dan publikasi. PT jenis ini ada banyak di Jawa dan sedikit di luar Jawa di kota besar. Mereka mengusahakan mutunya dengan merekrut dosen yang baik, menyeleksi mahasiswa dengan serius, dan menjaga kualitas pendidikan dan Tridarmanya.
Kelas kedua adalah PTS kecil yang merangkak perlahan dengan susah payah untuk memenuhi kriteria minimal agar bisa mendapatkan akreditasi. Mereka kesulitan merekrut dosen yang memenuhi kualifikasi pendidikan maupun bidang yang sesuai, jumlah mahasiswa rata-rata kecil. PTS jenis ini banyak terdapat di luar Jawa dan kota kecil di Jawa.
Adapun PTS kelas ketiga adalah PT yang tidak peduli terhadap kualitas pendidikan. Mereka semata-mata mencari uang. PT jenis ini bisa dinamakan PT abal-abal. Banyak beroperasi dengan berbagai modus. Ada di Jawa dan luar Jawa.
Pangsa pasar untuk ketiga jenis PT juga berbeda-beda. Kelas pertama dan kedua tentu saja adalah mereka yang benar-benar ingin mendapatkan pendidikan yang baik. Tidak sekadar cepat lulus dengan ijazah di tangan. Tentu ada juga sedikit yang sekadar butuh ijazah.
Untuk yang jenis ketiga biasanya diburu oleh mereka yang sekadar memerlukan ijazah untuk kenaikan pangkat di tempat kerjanya. Atau para politikus yang butuh syarat pendidikan tinggi untuk memenuhi syarat jadi anggota DPR, DPRD, atau maju dalam pilkada. Para pejabat pemerintah diam-diam juga banyak yang menikmati jasa PT abal-abal.
Ancaman dan peluang
Yang paling merasa terancam dengan kedatangan PT asing adalah PTN dan kemungkinan PTS jenis pertama. Orang-orang yang punya uang rela membayar jasa pendidikan mahal asal bisa mendapatkan kompetensi yang dibutuhkan memasuki dunia kerja. PTS yang benar-benar mengusahakan mutulah yang nanti akan paling terancam. Mereka harus bersaing dalam hal kualitas pendidikan dan layanan kepada mahasiswanya.
Jika PT asing itu datang, gaya manajemen yang melayani dan efisien sudah terbayang di depan mata. Belum lagi jika proses belajar mengajarnya juga ditata rapi, pasti akan sangat diminati mahasiswa kita. PTN pun harus siap menghadapi ini. Jika dirasa PT tidak bisa bersaing dengan PT asing, bisa berkolaborasi seperti disyaratkan oleh aturan Menristek dan Dikti bahwa mereka harus punya partner lokal. Dengan berkolaborasi akan banyak keuntungan nonfinansial yang bisa dipetik.
Ada harapan lain yang lebih optimistis dengan kedatangan PT asing ini. Yang pertama, sebagai sarana berkompetisi secara sehat bagi PT kita. PT yang bagus tentu melihat saingan dari PT asing sebagai pemicu untuk meningkatkan kualitas pendidikan serta layanan kepada dosen, staf karyawan, dan mahasiswa.
PT asing akan menjadi salah satu alternatif dosen PTN/PTS untuk berkarier lebih baik. Ini tentu membuka lowongan kerja bagi dosen dan staf karyawan. Dosen-dosen yang bagus akan punya nilai tawar lebih baik dengan datangnya PT asing ini. Jika PT asing ini juga diberi kewajiban Tridarma, pemerintah bisa memetik keuntungan berupa membaiknya iklim penelitian dan tingkat publikasi kita.
PTS dan PTN badan hukum terutama harus siap kemungkinan ditinggalkan dosen-dosen andalannya jika tak bisa menawarkan imbalan yang lebih baik. Ini akan menjadi tantangan berat. Kualitas sebuah PT jelas sangat dipengaruhi SDM-nya. Jika SDM yang bagus pindah ke tempat lain, jelas itu ancaman yang berbahaya. Ini harus diantisipasi para pengelola PT.
Kemungkinan lain
Masuknya PT asing diharapkan akan menyegarkan sistem pendidikan nasional dalam menanamkan nilai-nilai non-akademis. Di sini ada kemungkinan PT asing menghasilkan lulusan yang justru lebih baik dari sisi kepribadian, seperti disiplin, tepat waktu, taat aturan, dan juga yang lebih antikorupsi.
Pendidikan nasional puluhan tahun menghasilkan generasi korup. Siapa tahu PT asing justru sebagai jalan keluarnya. Gaya manajemen dan kultur organisasi yang terbuka dan efisien barangkali bisa membawa perubahan besar bagi para dosen, karyawan, dan lulusannya.
PT asing bisa diharapkan juga untuk memberantas gerakan radikal yang biasa masuk lewat pendidikan tinggi. Selama ini disinyalir kelompok radikal masuk ke kampus-kampus untuk menyebarkan ajaran radikal kepada para mahasiswa, termasuk dosen. Dengan masuknya PT asing, mungkin justru akan memangkas pergerakan kelompok ini dalam menyebarkan pahamnya. Perguruan tinggi asing yang semata-mata komersial dan berorientasi akademis bisa mengurangi penyusupan ajaran radikal.
Budi Santosa, Lab Quantitative Modelling and Industrial Policy Analysis, Teknik Industri ITS
Sumber: Kompas, 6 Februari 2018