Penambahan kasus baru harian yang kembali memecahkan rekor tertinggi dengan daerah sebaran meluas. Karena itu, butuh kebijakan yang padu untuk mengatasi wabah ini agar korban jiwa tidak terus terjadi.
Ancaman Covid-19 di Indonesia membesar. Itu ditandai dengan penambahan kasus baru harian yang kembali memecahkan rekor tertinggi dan meluasnya daerah sebaran. Dibutuhkan kebijakan yang padu untuk mengatasi wabah ini agar korban jiwa tidak terus terjadi.
”Kasus positif Covid-19 yang kita konfirmasi sebanyak 1.241 orang sehingga totalnya menjadi 34.316,” kata juru bicara pemerintah untuk Covid-19 Achmad Yurianto, di Jakarta, Rabu (10/6/2020).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Temuan kasus tersebut diambil dari hasil uji pemeriksaan spesimen sebanyak 446.918 yang dilakukan secara molekuler di 204 laboratorium di Indonesia. Sementara jumlah kasus yang diperiksa sebanyak 287.476 orang.
Dengan data ini, jumlah orang yang diperiksa seperti dilaporkan per hari ini sebanyak 5.825, rata-rata kasus positif (positivity rate) mencapai 21,29 persen. Angka ini tergolong sangat tinggi, yang menunjukkan masih kurangnya jumlah dan jangkauan tes sehingga bisa diduga banyak kasus belum ditemukan. Sebagian besar tes ini juga dilakukan di Jakarta, yaitu mencapai 2.098 orang atau 36 persen dari total tes yang dilakukan di Indonesia.
Sesuai dengan pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), salah satu kriteria epidemiologi menuju normal baru adalah jika rata-rata kasus positif kurang dari 5 persen selama dua minggu berturut-turut dengan catatan tesnya 1 per 1.000 penduduk per minggu.
”Peningkatan kasus Covid-19 harian ini bisa dilihat dari dua sisi, adanya peningkatan tes. Ini sisi baiknya walaupun jumlah tes kita masih di bawah standar dan lebih rendah dibandingkan dengan negara lain,” kata Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Ede S Darmawan.
Di sisi lain, menurut Ede, peningkatan kasus harian ini juga menunjukkan bahwa peredaran kasus Covid-19 di Indonesia masih tinggi. ”Dengan kondisi ini, seharusnya justru tidak membuat kita lengah dengan melonggarkan pembatasan sosial,” katanya.
Sekalipun pemerintah masih mengajak masyarakat agar menjaga protokol kesehatan, kebijakan yang dikeluarkan cenderung belum mendukung itu. Salah satunya terkait pembukaan kantor secara serentak dengan tidak mempertimbangkan kapasitas transportasi publik. Itu mengakibatkan para penumpang sulit menjaga jarak sosial seperti terjadi Stasiun Juanda, Jakarta, pada Senin (8/6/2020).
Situasi saat ini seperti mengulang kejadian pengabaian risiko sejak Januari hingga Maret lalu. ”Kita sudah empat bulan menghadapi wabah ini, tetapi masih terjadi tarik ulur. Pelaksanaan PSBB sudah lumayan walaupun tidak sepenuhnya menghilangkan penularan. Namun, belum selesai diterapkan, sekarang diajak normal baru sebelum kita menyiapkan norma baru,” katanya.
Dengan situasi saat ini, menurut Ede, kita harus siap-siap menuai peningkatan banyak kasus baru, terutama di daerah-daerah. ”Apalagi penerbangan dan transportasi umum lain juga dibuka lagi dengan syarat yang diperlonggar,” katanya.
Epidemiolog dan peneliti serologi dari Laporcovid-19.org, Henry Surendra, mengatakan, kebijakan yang dikeluarkan Menteri Perhubungan bisa meningkatkan risiko penyebaran Covid-19. Salah satunya, kebijakan melonggarkan aturan bagi penumpang pesawat dan melonggarkan aturan pembatasan jumlah penumpang di kendaraan umum dan pribadi.
Jika sebelumnya penumpang pesawat harus melengkapi diri dengan tes dengan PCR atau reaksi rantai polimerase, kini untuk penerbangan domestik cukup menunjukkan bukti negatif berdasarkan test cepat (rapid test) berbasis antibodi.
”Rapid test yang didasarkan pada antibodi tidak tepat untuk diagnosis. Munculnya antibodi bisa ada jeda hari dari nol sampai 7 hari sehingga keberadaan virus pada seseorang bisa dideteksi PCR, tetapi tidak bisa dideteksi rapid test. WHO juga sudah memperingatkan soal ini,” tuturnya.
Bahkan, tes PCR saja bisa negatif palsu. ”Berkisar 10-30 persen bisa negatif palsu. Makanya tes ini harus diulang. Belum lagi jika ada masalah dalam pengambilan ataupun analisisnya. Contohnya ada kasus beberapa penumpang lolos naik pesawat dari Jakarta, tetapi saat mendarat di Padang saat dites lagi positif bisa jadi virusnya lebih banyak atau tes lebih baik,” kata Henry.
Transportasi bisa mempercepat penyebaran kasus Covid-19 di banyak daerah di Indonesia. Oleh karena itu, sebaiknya syarat untuk penerbangan justru diperketat sampai kasusnya benar-benar bisa dikendailan. ”Negara lain juga begitu. Contohnya, Selandia Baru harus menunggu tanpa ada kasus sama sekali selama 14 hari baru membuka penerbangan,” ungkapnya.
Oleh AHMAD ARIF
Editor: EVY RACHMAWAT
Sumber: Kompas, 11 Juni 2020