Aktifnya sesar aktif di Pulau Jawa bisa memicu bencana katastropik mengingat tingginya kepadatan penduduk yang berpotensi terdampak. Kajian terkait sesar Lembang di Jawa Barat sudah cukup rinci sehingga bisa menjadi dasar bagi perubahan tata ruang, namun untuk patahan aktif di kota lain, termasuk Jakarta, masih butuh riset untuk mendetilkannya.
“Kajian terbaru soal gempa di Jawa yang sudah terbit di jurnal internasional berkualitas dan melalui review ketat ini tidak bisa diabaikan. Secara saintifik, terutama yang kajian tentang sesar Lembang, harusnya bisa menjawab keraguan tentang aktif tidaknya sesar di kawasan ini dan sudah harus diikuti dengan mitigasi,” kata Irwan Meilano, ahli geodesi dan gempa bumi Institut Teknologi Bandung (ITB), Senin (7/1/2019).
Kajian ilmiah tentang aktifnya sesar di dekat kota-kota besar di Jawa, termasuk Jakarta, dipublikasikan oleh Endra Gunawan dan Sri Widiyantoro di Journal of Geodynamics. Sedangkan tentang sesar Lembang di Jawa Barat dipublikasikan Mudrik R. Daryono bersama Danny H. Natadwidjaja, Benjamin Sapiie, dan Phil Cummins di jurnal Tectonophysics.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
STASIUN GEOFISIKA BMKG BANJARNEGARA–Peta Gempa
Menurut Irwan, publikasi Mudrik tentang sesar Lembang, yang merupakan bagian dari disertasinya ini, memiliki informasi rinci. Jalur patahannya sudah dipetakan dengan sangat baik dan kekuatan maksimal gempanya juga sudah diketahui. Sedangkan kajian Endra Gunawan berskala regional dan butuh kajian lanjutan untuk merinci lagi keberadaan sesar di tiap segmennya. “Dari data kajian Mudrik, sebenarnya sudah bisa dimulai proses mitigasi di sepanjang sesar Lembang,” kata Irwan.
Mudrik R Darmawan, peneliti geologi dari Pusat Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan, peta jalur patahan Lembang yang dibuatnya berbasiskan peta LIDAR (Light Detection and Ranging) dengan resolusi 90 centimeter.
“Untuk disertasi saat itu ada program kerjasama dengan Australia. Pembelian peta sekitar Rp 700 juta dibiayai mereka. Tanpa itu, saya tidak akan bisa menghasilkan peta detil untuk sesar Lembang,” kata dia.
Menurut Mudrik, bersama sejumlah peneliti lain di Pusat Studi Gempa Bumi Nasional (Pusgen), saat ini berupaya mendetilkan jalur sesar di Jawa, termasuk di sekitar Jakarta, seperti dilakukannya untuk sesar Lembang.
“ Tantangannya terkait keterbatasan anggaran. Untuk mencari jalur patahan ini biasanya memakai peta gratisan dengan resolusi 30 meter. Belakangan ada peta BIG (Badan Informasi Geospasial) dengan resolusi 8,5 meter. Ini sangat membantu untuk identifikasi di daerah lain, tetapi untuk Jakarta masih belum bisa,” kata dia.
Menurut Mudrik, slip rate atau laju pergerakan sesar di Jakarta sangat kecil sehingga deformasi di permukaan pun kecil. “Morfologinya sulit terlihat, karena tertutup vegetasi dan padatnya bangunan. Butuh peta dengan resolusi di bawah 1 meter, minimal seperti LIDAR,” kata dia.
Dukungan Riset
Menurut Mudrik, dukungan pendanaan untuk riset-riset untuk memetakan secara rinci jalur patahan aktif di Indonesia, termasuk di Jawa yang risikonya sangat besar, juga tidaklah mudah. “Tahun lalu, kami coba ajukan dana riset melalui Kemenristek Dikti untuk meneliti sesar aktif di Semarang juga ditolak,” kata dia.
Padahal menurut pemodelan yang dibuat Ngoc Nguyen, Phil R. Cummins, dan tim dari Australian National University tahun 2015, gempa-gempa besar di Jawa bisa menimbulkan dampak sangat besar.
Disebutkan, jika gempa berkekuatan sama yang pernah melanda Jakarta pada tahun 1699 terjadi saat ini, jumlah korban bisa mencapai 100.000 orang. Estimasi ini didasarkan jumlah kepadatan pendudukan dan tingginya risiko kehancuran bangunan.
Seperti disebutkan dalam katalog gempa bumi yang disusun Arthur Wichman (1918) juga menyebutkan, gempa amat kuat dirasakan di Jakarta pada 5 Januari 1699 sekitar pukul 01.30. Selain merobohkan banyak bangunan, gempa itu menyebabkan longsor besar di Gunung Gede Pangrango dan Gunung Salak.
Gempa kuat kembali terjadi di Jakarta pada 22 Januari 1780 dan guncangannya dirasakan hingga tenggara Sumatera dan Jawa Barat. Perhitungan Nguyen (2015), gempa ini diperkirakan berkekuatan M 8,5.Namun, sejauh ini sumber gempanya belum diketahuidengan pasti.
Endra Gunawan mengatakan, untuk menentukan dengan akurat posisi sesar di Jakarta dan di kota-kota lain di Jawa, selain survei geologi juga diperlukan pengukuran yang berkelanjutan dengan sensor seismik dan juga GPS (Global Positioning System). “Tahun lalu, Pusgen sudah berencana memasang GPS dan seismik di Jakarta dan sekitarnya, tetapi masih tertunda,” kata dia.
Menurut Endra, data dari pengukuran dengan GPS dan seismik ini tidak bisa langsung didapatkan. Butuh rentang waktu tahunan untuk bisa mengetahui pergerakan sesar ini.
“Penelitian kami sebelumnya, menggunakan data GPS yang dipasang BIG dengan data tahun 2008 – 2013. Namun, kerapatan alat yang dipasang masih kurang, sehingga belum menghasilkan data rinci,” kata dia.
Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Daryono mengapresiasi kajian-kajian ini dan diharapkan bisa meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap risiko bencana.
“ Kajian ini ranah para akademisi dan lembaga penelitian. Anggaran kita terbatas untuk operasional pemantauan geofisika maupun meteorologi, untuk riset-riset seperti ini sangat terbatas,” kata dia.–AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 8 Januari 2019