Gempa yang mengguncang Samudra Hindia pada 2 Maret 2016 memberi pelajaran keberadaan ancaman bencana yang sebelumnya tidak diperhitungkan. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika tidak punya model tsunami untuk gempa di zona itu.
“Gempa terjadi di lokasi yang tidak lazim, di intraplate (lengan) Lempeng Indo-Australia yang jauh dari zona subduksi. Zona ini sebelumnya tak pernah diperkirakan bisa memicu gempa besar berpotensi tsunami,” kata Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono, Jumat (11/3), di Jakarta.
Selama ini, BMKG lebih fokus menyiapkan pemodelan tsunami yang dipicu gempa dari zona subduksi di Palung Sunda, meliputi selatan Sumatera, selatan Jawa, dan selatan NTT. “Jika gempa besar di zona subduksi ini, pemodelan kami siap. Ada 4.500 skenario tsunami,” katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sesuai standar operasi, lima menit setelah gempa, 2 Maret lalu, BMKG mendiseminasikan info gempa kepada para pihak meski hanya data gempa dan potensi tsunami. “Gelombang gempa baru tiba tiga menit ke sensor kami. Kekuatan gempa peringatan pertama kami M 8,3, ini didapat dari 8 sensor. Angka dikoreksi jadi M 7,8 setelah data masuk dari 18 sensor. Kami terus belajar dan mengevaluasi sistem peringatan dini,” kata Daryono.
Untuk mengevaluasi kinerja peringatan dini tsunami Indonesia (InaTEWS) dan respons publik disepakati akan dilakukan kaji cepat. Keputusan itu diambil setelah pertemuan para pegiat bidang kebencanaan di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di Jakarta, Selasa (8/3). Kaji cepat akan difokuskan di wilayah Sumatera Barat.
Selain BNPB, kaji cepat melibatkan perwakilan BMKG, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Kementerian Kelautan dan Perikanan, sejumlah LSM, serta kalangan media massa. Kaji cepat diharapkan selesai dua bulan dan bisa memberikan rekomendasi demi perbaikan sistem peringatan dini dan mitigasi bencana tsunami.
Irina Rafliana dari LIPI mengatakan, kaji cepat juga dilakukan setelah gempa di Samudra Hindia pada 2012. Saat itu, ditemukan banyak kelemahan sistem peringatan dini.
Sistem peringatan
InaTEWS dibangun merespons banyaknya korban tsunami Aceh 2004. Sesuai prosedur operasi InaTEWS, begitu gempa, BMKG mengidentifikasi lokasi dan kekuatan gempa. Jika gempa berpotensi tsunami, peringatan segera dikirim ke sejumlah instansi, seperti BNPB, badan penanggulangan bencana daerah, polisi, militer, dan media massa, kurang dari lima menit.
Informasi juga akan dikirim ke operator sirene tsunami di sejumlah pesisir. Berikutnya, peringatan itu divalidasi sensor di lautan (buoy) dan pantai (tide gauge), apakah tsunami benar terjadi atau tidak.
Selain mengkaji rantai peringatan dini BMKG, yang juga perlu dievaluasi adalah respons publik. Daryono mengatakan, 10 menit kemudian, BMKG mengeluarkan peringatan dini kedua memutakhirkan parameter gempa, estimasi waktu tiba tsunami di beberapa daerah. Beberapa daerah dinyatakan Waspada dan Siaga.
Dengan peringatan itu, sirene tsunami yang dipasang di daerah- daerah seharusnya dibunyikan. Faktanya, tak semua sirene dibunyikan. “Banyak kepala daerah, terutama yang baru, belum paham tugasnya terkait bencana,” kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho. “Dalam kaji cepat nanti, kami harap bisa tahu permasalahannya di mana dan apa yang harus diperbaiki.” (AIK)
————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Maret 2016, di halaman 13 dengan judul “Ancaman Baru dari Samudra Hindia”.