Anak-anak muda hari ini punya peran penting dalam menentukan masa depan bangsa Indonesia. Mereka bisa membuat model kemakmuran yang inklusif di masa depan. Anak muda akan memberi masukan untuk menghadapi tantangan.
Anak muda Indonesia menjadi tumpuan bangsa untuk menghadapi berbagai tantangan akibat pandemi Covid-19 di masa depan. Untuk itu, penting memberi mereka tempat dan peluang untuk bersuara, berkarya, dan menawarkan solusi.
Badan Pusat Statistik mencatat, sebanyak 4 dari 10 penduduk Indonesia adalah anak berusia di bawah 18 tahun. Proporsi ini diperkirakan berlanjut hingga 2025. Sementara itu, Unicef mencatat ada 66 juta anak muda berusia 10-24 tahun atau 25 persen dari jumlah penduduk Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Kepala Divisi Komunikasi dan Advokasi Unicef Indonesia Thierry Delvigne-Jean, anak muda sudah menghadapi sejumlah tantangan sebelum pandemi, seperti perubahan iklim, model pendidikan dan pekerjaan, dan teknologi. Tantangan tersebut kini semakin berat dan dampaknya luas.
”Di sisi lain, pandemi menjadi kesempatan untuk memikirkan kembali cara bekerja kita selama ini ada. Ini peluang untuk membuat dunia yang lebih baik dan menata ulang jalan ke depan,” kata Delvigne-Jean dalam seminar virtual berjudul Karya Anak Muda: Kontribusi di Masa Pandemi, Selasa (28/7/2020).
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI—Seminar virtual berjudul Karya Anak Muda: Kontribusi di Masa Pandemi dilakukan pada Selasa (28/7/2020). Seminar ini diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen dan Unicef.
Berdasar hasil survei Save the Children di Indonesia, anak-anak akan mengalami tujuh risiko akibat pandemi. Survei ini dilakukan secara daring pada 10-27 April 2020. Survei melibatkan 11.989 orangtua/publik, 4.698 guru, lalu diikuti survei lanjutan pada 883 responden lainnya. Ada pula wawancara mendalam terhadap 417 responden yang mencakup kepala desa, kader kesehatan, guru, dan orangtua di kota dan desa.
Ketujuh risiko itu adalah, pertama, kesejahteraan anak berkurang karena pendapatan orangtua hilang (30 persen) atau menurun (70 persen). Kedua, anak kesulitan mengakses layanan kesehatan dasar. Ketiga, anak kesulitan mengakses layanan pendidikan berkualitas. Keempat, dukungan anak dengan disabilitas terbatas.
Kelima, banyak anak kehilangan orangtua karena 60 persen kasus Covid-19 menimpa orang usia produktif dan memiliki anak. Keenam, kerentanan anak terhadap kekerasan. Ketujuh, bertambahnya kesengsaraan korban bencana alam karena 60-70 persen korban bencana di Indonesia adalah anak-anak, perempuan, dan orang lanjut usia.
”Anak muda punya peran penting dalam hal ini. Mereka bisa membuat model kemakmuran yang inklusif di masa depan. Anak muda akan memberi masukan untuk menghadapi tantangan (akibat pandemi) dan memberi peluang baru. Mereka akan membantu kita semua mencari, merancang, dan menerakan solusi,” kata Delvigne-Jean.
Ia mendorong semua anak muda untuk terus melakukan perubahan baik di lingkungan terdekatnya. Aksi itu diharap menginspirasi sesama anak muda. Perubahan itu pun diharap mendorong orang dewasa untuk membuka mata terhadap ide dan kemungkinan baru.
Butuh wadah
Perwakilan Unicef Indonesia dan aktivis muda, Vania Santoso, mengatakan, antusiasme pemuda untuk membuat perubahan cukup besar. Namun, pemuda butuh wadah untuk bersuara. Mereka juga butuh kesempatan untuk berkarya secara nyata.
Lebih lanjut, wadah itu tidak boleh hanya menampung suara anak muda. Pendapat mereka pun perlu didengar oleh publik dan pemerintah. Mereka berharap bisa memberi perspektif baru untuk para pembuat kebijakan.
”Saya percaya bahwa anak muda adalah mitra yang setara, bukan sekadar topik bahasan,” kata Vania.
Pendiri OMG Consulting Yoris Sebastian meyakini bahwa anak muda paling tahu perubahan yang dibutuhkan untuk masa depan. Ia yakin krisis bisa dilalui karena masih ada banyak peluang. Ia mendorong anak muda untuk sensitif melihat peluang itu di sekitar mereka.
Mulai dari yang kecil
Aksi anak muda untuk membuat perubahan dilakukan oleh siswi MTs Negeri 1 Lombok Barat, Baiq Niki Ayuningtia. Ia merupakan salah satu edukator tentang pentingnya tablet tambah darah (TTD) bagi teman-temannya agar terhindar dari anemia.
Data Riset Dasar Kesehatan 2018 menyatakan, prevalensi anemia pada penduduk 15-24 tahun sebesar 32 persen. Kebanyakan diderita oleh remaja putri.
”Tugas kami adalah mengatur jadwal pengambilan TTD, membagikan TTD dan memastikan itu diminum, lalu memantau dan mengevaluasi kerja kami. Kami juga memberi edukasi hal lain, seperti aktivitas fisik yang bisa dilakukan di rumah dan makanan sehat. Ini dilakukan melalui siaran radio, media sosial, dan Whatsapp,” tutur Baiq.
Baiq meyakini bahwa anak muda bisa membuat perubahan. Ia berpendapat, anak muda harus aktif, saling memotivasi, kreatif, inovatif, dan semangat belajar untuk menjadi lebih baik.
Oleh SEKAR GANDHAWANGI
Editor: KHAERUDIN KHAERUDIN
Sumber: Kompas, 28 Juli 2020