Tanpa bantuan negara, pers nasional tinggal menunggu waktu untuk tutup atau melakukan pemutusan hubungan kerja atas para karyawannya. Menyelamatkan pers nasional berarti menyelamatkan ruang publik dan demokrasi.
Kalangan pers nasional mendorong negara segera hadir memberikan solusi untuk menangani krisis yang dialami perusahaan pers nasional. Selain pemberian insentif untuk mendukung daya hidup pers nasional, dibutuhkan solusi jangka panjang untuk melindungi pers nasional dengan menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat dan setara dengan platform digital global.
Hal itu dilakukan dengan memaksimalkan pemungutan pajak pendapatan dari perusahaan platform global yang beroperasi di Indonesia, antara lain Google, Facebook, Youtube, Twitter, Instagram, dan Microsoft. Komponen atau hasil pemungutan pajak pendapatan ini juga layak dialokasikan untuk mengembangkan dan menyelamatkan institusi jurnalisme di Tanah Air.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hal tersebut mengemuka dalam rapat koordinasi pembahasan untuk menyelamatkan industri pers nasional saat krisis pandemi Covid-19 yang diselenggarakan Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenko Polhukam) secara daring, Senin (18/5/2020). Rapat koordinasi ini diikuti perwakilan sejumlah kementerian, Dewan Pers, Asosiasi Perusahaan Media, dan Asosiasi Profesi Media.
Dalam rapat koordinasi tersebut pemerintah yang dikoordinasi Kemenko Polhukam mendengarkan masukan dari kalangan pers nasional terkait usulan agar negara memberikan insentif untuk mendukung daya hidup perusahaan pers yang semakin terpukul oleh krisis akibat pandemi Covid-19.
“Dalam koridor jangka pendek, pemberian insentif jangan sampai salah sasaran. Namun, kebutuhannya lebih dari kebijakan domestik. Selama ini tidak ada perlindungan terhadap media (pers) nasional terkait platform digital global. Keberpihakan pemerintah terhadap media nasional kurang,” kata Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Yadi Hendriana.
Posisi tawar media nasional terhadap platform digital global, kata Yadi, tidak adil sehingga pendapatan media nasional tergerus oleh Google. Karena itu, dalam jangka panjang perlindungan terhadap pers nasional ini sangat penting, dan pemerintah mempunyai kewajiban membuat media nasional semakin kuat.
Pemimpin Redaksi Republika Irfan Junaidi mengatakan, selama ini media nasional harus mengikuti aturan-aturan sehingga kalah bersaing platform digital global yang tidak terbebani aturan dalam memproduksi konten. “Kalau nonton Youtube, banyak konten prank, dan iklan tersedot ke situ, bahkan iklan BUMN,” kata dia.
Kondisi tersebut, kata Ketua Komisi Hubungan Antarlembaga dan Luar Negeri Dewan Pers Agus Sudibyo, tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi menjadi gerakan global. Dia mencontohkan usulan National Union of Journalist (NUJ) dan International Federation of Journalists (IFJ) agar pajak tak terduga sebesar 6 persen dari pendapatan Google menggunakan Pajak Layanan Digital, untuk mendanai rencana pemulihan berita.
Besaran pajak tersebut mencapai 54 miliar dollar AS dari total pendapatan Google yang mencapai 900 miliar dollar AS. “Dengan mempertimbangkan peran media massa, IFJ dan NUJ berpandangan bahwa dana ini layak dikelola serikat pekerja media bersama-sama dengan organisasi perusahaan media untuk memajukan dan menyelamatkan jurnalisme,” kata Agus.
Tinggal menunggu waktu
Dalam rapat koordinasi tersebut pemerintah yang dikoordinasi Kemenko Polhukam mendengarkan masukan dari kalangan pers nasional terkait usulan agar negara memberikan insentif untuk mendukung daya hidup perusahaan pers yang semakin terpukul oleh krisis akibat pandemi Covid-19. Dalam sambutannya, Deputi Bidang Koordinasi Komunikasi, Informasi dan Aparatur Kemenko Polhukam Rus Nurhadi Sutedjo mengakui pentingnya melindungi pers nasional terutama di masa pandemi Covid-19.
Dengan pukulan yang bertubi-tubi, mulai dari disrupsi digital dengan kehadiran platform digital global dan kini krisis akibat pandemi Covid-19, kata Agus, sangat sulit bagi pers nasional untuk bertahan tanpa ada campur tangan negara. “Banyak media tinggal menunggu waktu. Kalau kondisi tidak membaik, hanya tinggal menghitung bulan, banyak media akan tutup atau melakukan PHK (pemutusan hubungan kerja) massal,” kata dia.
Wakil Pemimpin Redaksi TV One Totok Suryanto mengatakan, kondisi pers nasional saat ini sangat berat karena pendapatan iklan menurun drastis. Iklan yang sudah ada pun pembayarannya tidak lancar.
“WFH (Work From Home) dan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) menjadi alasan pengiklan untuk menunda pembayaran. Sementara banyak iklan layanan masyarakat dari pemerintah gratis,” kata dia.
Dengan kondisi seperti itu, harapan Totok dan juga kalangan pers nasional lainnya, pemerintah mengalokasikan dana APBN untuk iklan layanan masyarakat atau iklan sosialisasi ke pers nasional, selain juga sejumlah insentif lainnya yang diusulkan ke negara melalui pemerintah.
“Muncul anggapan media egois, padahal tidak seperti itu. Dibandingkan sektor usaha lainnya, inisiatif (pers nasional) untuk minta insentif ini terlambat. Ketika perusahaan-perusahaan minta insentif, media mendukung sektor-sektor tersebut mendapatkan insentif dari negara. Media siapa yang memikirkan, ternyata belum ada, karena itu siapa lagi kalau bukan media itu sendiri,” kata Agus.
Asisten Deputi Koordinasi Informasi Publik dan Media Massa Kemenko Polhukam Muztahidin DAN Kepala Bidang Media Massa Kemenko Polhukam Beben Nurfadilah mengatakan, usulan pers nasional tersebut akan menjadi bahan rapat internal Kemenko Polhukam. “Ini masukan bagi kami. Ini merupakan rapat awal, nanti ada rapat lanjutan. Ini dilaporkan ke pimpinan,” kata Beben.
Oleh YOVITA ARIKA
Editor: ILHAM KHOIRI
Sumber: Kompas, 18 Mei 2020