Alokasi anggaran riset bahan pangan masih rendah. Hal ini berdampak terhadap minimnya inovasi produk jadi makanan ataupun minuman.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman di sela-sela konferensi pers Food Ingredients Asia 2018, Rabu (4/7/2018), di Jakarta, mengungkapkan, tidak semua pemilik industri makanan dan minuman mempunyai alokasi anggaran riset dan pengembangan pangan yang bernilai besar. Hal ini bahkan terjadi pada perusahaan berskala besar. Rata-rata persentase pengeluaran penelitian terhadap total belanja di bawah satu persen.
Dilihat dari sisi pemerintah, dia menyebutkan, alokasi anggaran negara untuk riset dan pengembangan baru sekitar 0,2 persen. Untuk mendukung kebijakan industri generasi keempat, pemerintah melalui Kementerian Perindustrian pernah mencetuskan saran agar alokasinya ditambah menjadi sekitar dua persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Riset bidang pangan yang dikerjakan oleh industri bersifat pengembangan lanjutan. Riset dasar seharusnya dilakukan oleh pihak lain, seperti institusi pendidikan atau lembaga penelitian yang dibiayai oleh negara. Dia mencontohkan pengalaman Taiwan. Di sana, lembaga penelitian didukung penuh negara dan melakukan riset ekstraksi semua jenis kulit buah-buahan. Hasilnya langsung dipakai oleh industri makanan dan minuman jadi.
DOKUMENTASI PT UBM PAMERAN NIAGA INDONESIA, PENYELENGGARA FOOD INGREDIENTS ASIA 2018.–Adhi S Lukman, Ketua Umum Gapmmi (kiri), dan Puspo Edi Giriwono, Executive Secretary, SEAFAST Center Institut Pertanian Bogor di sela-sela konferensi pers Food Ingredients Asia 2018, Rabu (4/7/2018), di Jakarta. Food Ingredients Asia 2018 yang berlangsung 3-5 Oktober 2018 di Jiexpo Kemayoran menampilkan aneka produk bahan baku untuk industri makanan dan minuman jadi.
Masalah utama industri makanan dan minuman Indonesia terletak di hulu dan perantara. Dua bagian ini membutuhkan investasi cukup besar. Adhi mencontohkan, persentase impor untuk garam industri mencapai 70 persen, susu 70 persen, dan pemberi rasa (flavour) berkisar 60-70 persen. Keberadaan penelitian berperan penting untuk mendapatkan teknologi pengolah sumber daya alam lokal dan mengurangi ketergantungan impor bahan.
Untuk menyokong riset dan pengembangan bidang pangan, dia berpendapat, pemerintah bisa memberlakukan kebijakan pengurangan pajak usaha (tax reduction). Cara kerja kebijakan ini ialah bagi perusahaan yang mengeluarkan biaya inovasi atau penelitian, pemerintah mengurangi pungutan pajak.
”Kalau pemerintah jadi menaikkan alokasi anggaran riset dan komitmen menjalankannya, industri akan menyambut positif. Industri pun segera mengikuti dengan menambah dana penelitian mereka,” ujar Adhi.
Lebih jauh, menurut dia, industri makanan dan minuman nasional masih bisa tumbuh berkisar di atas sembilan persen pada 2018. Kunci mempertahankan pencapaian pertumbuhan ini adalah menjaga daya saing meskipun saat ini Indonesia mengalami gejolak peningkatan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
Pada saat bersamaan, Puspo Edi Giriwono, Executive Secretary South East Asian Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center Institut Pertanian Bogor, memandang, Indonesia sebenarnya kaya varian komoditas alam, misalnya rempah-rempah. Ini dapat dikembangkan secara lebih optimal menjadi bahan baku industri makanan dan minuman.
Realitas yang kerap terjadi yaitu komoditas tersebut dibawa ke luar negeri. Lalu, pihak asing melakukan riset dan pengembangan bidang pangan. Hasilnya dibawa kembali ke Indonesia.
”Permasalahan yang mewarnai riset dan pengembangan bidang pangan Indonesia cukup kompleks. Misalnya, budaya meneliti belum masif dan minimnya sumber daya manusia peneliti yang kompeten,” kata Puspo.
Baru beberapa tahun terakhir, dia mengamati, lembaga penelitian milik perguruan tinggi menerima pesanan eksperimen bahan makanan dari industri. Kolaborasi seperti ini perlu terus digalakkan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, sektor industri berkontribusi sekitar 20,16 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2017. Adapun makanan dan minuman menjadi salah satu subsektor yang mengalami pertumbuhan tertinggi.–MEDIANA
Sumber: Kompas, 5 Juli 2018