Tingginya bea masuk alat-alat penelitian, baik yang diperoleh lewat pembelian maupun hibah, membuat banyak penelitian terhambat. Padahal, penggunaan alat penelitian dapat memberi manfaat besar bagi bangsa.
”Bea masuk alat penelitian sebaiknya tidak disamakan dengan bea masuk barang impor lain karena tujuannya bukan untuk komersial,” kata Direktur Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia (DRPM UI) Bachtiar Alam, Senin (18/4) di Jakarta.
Direktur Riset dan Kajian Strategis Institut Pertanian Bogor Iskandar Z Siregar mengatakan, bea masuk alat penelitian berkisar 20-30 persen dari harga alat. Untuk mendapat pembebasan bea masuk, saat perjanjian hibah sebaiknya disertai dengan keterangan pembebasan bea masuk.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, mekanisme ini biasanya berlaku jika alat yang dihibahkan memiliki nilai nominal besar serta proses perjanjian hibah disiapkan lama. Kenyataannya, banyak peneliti mendapat bantuan alat penelitian secara spontan setelah mereka mengikuti penelitian di luar negeri. Banyak peneliti perorangan yang tidak mampu membayar bea masuk alat penelitian hingga akhirnya memutuskan tidak mengambilnya peralatan itu.
Iskandar berharap Kementerian Riset dan Teknologi, Kementerian Pendidikan Nasional, dan Kementerian Keuangan meringankan bea masuk alat-alat penelitian hibah dari luar negeri.
Insentif ini diharapkan mendorong kemajuan pendidikan dan penelitian di Indonesia, serta mendorong perkembangan inovasi nasional. Jika bea masuk mahal, banyak perusahaan akan memilih membeli hasil riset negara lain.
Peneliti bioteknologi molekuler yang juga Kepala Subdirektorat Riset dan Laboratorium Multidisiplin DRPM UI Endang Winiati Bachtiar mengatakan, peneliti hanya boleh membeli bahan penelitian. Adapun alat menjadi tanggung jawab perguruan tinggi. Peneliti umumnya membeli bahan melalui agen agar tak berurusan dengan bea cukai. Namun, harga bahan jadi 2-4 kali lipat dan waktunya lama. (MZW)
Sumber: Kompas, 19 April 2011